Site icon Prokalteng

Terjebak Lockdown, Malah Temukan Tulisan Langka Soekarno

terjebak-lockdown-malah-temukan-tulisan-langka-soekarno

Sudah tujuh bulan Al Chaidar terjebak lockdown
di Belanda. Namun, dia justru menemukan berbagai tulisan sejarah Indonesia yang
hilang.

 

ILHAM WANCOKO, Jakarta

 

KALI pertama menjejakkan kaki di Belanda pada
15 Februari lalu, Al Chaidar masih bisa tersenyum semringah. Namun, dua minggu
kemudian, senyumnya berubah kecut. Sebab, pandemi Covid-19 membuat Negeri
Kincir Angin memberlakukan lockdown. Sejumlah taman buku seperti Nationaal
Archief, Universiteits Bibliotheek Leiden (UBL), dan Koninklijk Bibliotheek
ditutup.

Mimpi untuk menuntaskan penelitian berubah
menjadi jalan yang begitu panjang. Semula, Juli direncanakan menjadi bulan
terakhirnya di Belanda. Namun, hingga kemarin (9/8) Al Chaidar belum punya
rencana pulang. ”Untuk bisa ke perpustakaan lagi dan janjian dengan ahli saja
masih September,” tuturnya kepada Jawa Pos kemarin. Sulit untuk menyebut
penelitiannya telah sampai berapa persen. Semua itu disebabkan pandemi Covid-19
yang membuat berantakan.

Setahap demi setahap, Al Chaidar akan
menuntaskan penelitiannya yang berjudul Darul Islam in Indonesia:
Millenarianism, Terrorism and Historical Debates.

Dalam dua minggu pertama, memang Al Chaidar bak
dalam surga. Hanya dengan biaya Rp 100 ribu, semua buku legendaris dalam
special collection di perpustakaan terkemuka UBL dilahapnya. Itulah
Perpustakaan Asia di Universitas Leiden. Yang memiliki koleksi terbanyak di
dunia terkait Indonesia.

Dua koleksi yang paling berharga adalah Babad
Diponegoro dan La Galigo. Babad Diponegoro ditulis langsung oleh Pangeran
Diponegoro saat berperang melawan Belanda selama lima tahun. Perang itu membuat
Belanda sempat bangkrut. Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap dalam
drama jebakan yang bertajuk perundingan. Karya sang legenda dari tanah Jawa itu
akhirnya dibawa ke Belanda dan bersarang di perpustakaan Universitas Leiden.

 

Sedangkan La Galigo adalah karya sastra sekelas
Mahabharata asal Indonesia, tepatnya dari Sulawesi. Bahkan, La Galigo jauh
lebih panjang daripada Mahabharata dan epik Yunani Homerus. Sebagian orang
Bugis yang masih beragama lokal memandangnya sebagai kitab suci. 

Di perpustakaan Universitas Leiden, terdapat 12
karya bersambung La Galigo. Karya sastra itu ditulis dalam bentuk puisi dengan
bahasa Bugis. ”Memang ada koleksi itu di perpustakaannya. Tapi, saya belum
baca,” tuturnya.

Namun, Al Chaidar saat ini sedang mencari
berbagai tulisan yang terkait dengan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia
(DI/TII). Tulisan dari Hasjim Asy’ari, Wahid Hasjim, Soekarno, Tjokroaminoto,
dan S.M. Kartosoewirjo ada dalam radarnya. ”Bagi saya, ya tulisan tokoh-tokoh
ini berharga,” ujarnya.

Dalam kesulitannya melakukan penelitian karena
dampak pandemi Covid-19, tulisan-tulisan tokoh Indonesia menjadi penghibur tersendiri.
Apalagi, Al Chaidar menemukan berbagai tulisan para tokoh yang hilang di
Indonesia. Misalnya tulisan Soekarno yang berjudul Lebaran-Peperangan.

Dalam tulisan itu, Soekarno mencoba untuk
memberikan semangat kepada rakyat yang sedang merayakan Lebaran dalam kondisi
Perang Dunia II. Di paragraf akhir Soekarno menulis, ”Mari kita hadapi tahun
yang baru ini sebagai satu bangsa yang benar-benar terlatih tahan menderita di
dalam bulan Ramadhan. Latihan telah kita kerjakan, marilah kita pakai hasil latihan
itu seterusnya! Maka, kemenangan akhir pasti di pihak kita!”

Di baris terakhir tertulis, ”Jakarta, Lebaran
1362 Soekarno.” Al Chaidar menuturkan, tulisan Soekarno terkait Lebaran itu
memang tidak ditemui di Indonesia. ”Tulisan ini termuat dalam majalah Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI), majalah yang erat dengan Partai Masyumi,”
tuturnya.

Lalu, ada sebuah pesan di majalah yang sama
dari Wahid Hasyim terkait permintaan mengirim hasil rapat Masyumi ke alamat di
Jakarta. Serta tidak mengirim hasil rapat ke Pesantren Tebuireng. ”Ini secuil
tulisan yang berharga untuk Indonesia,” jelasnya.

Ada juga tulisan Tjokroaminoto yang berjudul
Darma Wasana. Bahkan, karya pahlawan nasional itu terbilang sebagai buku. Yang
dalam sampulnya tertulis Papajone kadermakake kanggo pakoempolan kas wakaf
kemerdikaan perkompolan S.I, yang arti sederhananya ditujukan sebagai wakaf
kemerdekaan dari Sarekat Islam. ”Ini semacam dakwah dalam bahasa Jawa kuno,”
tuturnya.

Dalam penelitiannya itu, Al Chaidar merasakan
betapa jauhnya teknologi pengarsipan di Belanda dengan Indonesia. ”Katalog
perpustakaan bisa diakses dari rumah. Katalognya canggih. Walau masih ada yang
restricted atau tidak bisa diakses dari luar perpustakaan,” ujarnya.

Dari pengembaraannya di surga literatur terkait
Indonesia, Al Chaidar juga menemukan indikasi adanya peran Belanda dan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dalam pemberontakan DI/TII. ”Ada sebuah pamflet yang
menjadi koleksi. Pamflet ini terkait dengan peran PKI dalam DI/TII,” urainya.

 

Menurut dia, dari pamflet itu bisa diduga, PKI
berperan dalam pembakaran, pembunuhan, dan sejumlah tindakan keji yang
mengatasnamakan DI/TII. ”Belanda juga turut campur. Nanti akan saya buktikan
dalam disertasi,” ujarnya.

Kini Al Chaidar hanya berharap bisa segera
menuntaskan penelitiannya. Perpustakaan dan sejumlah ahli bisa membuka diri
agar Al Chaidar juga bisa segera pulang ke Indonesia. ”Ya, keluarga sudah
kangen, tapi penelitian belum usai,” urainya.

Selain menghibur diri dengan literatur sejarah,
selama di Belanda Al Chaidar juga kerap bersepeda ria. Memang masyarakat di
Belanda terbiasa menggunakan sepeda. ”Sepeda itu transportasi utama,” ujarnya.

Membawa sepeda sangat
mudah di Belanda. Di setiap stasiun kereta terdapat tempat parkir sepeda dan
persewaan sepeda. ”Ya, sepeda dipuja di Belanda ini,” papar dosen Universitas
Malikussaleh tersebut. 

Exit mobile version