31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Tembus Eropa, Dapat Ide dari Permintaan Klien

Isu lingkungan mengurangi sampah plastik membuka peluang usaha sedotan organik berbahan Purun. Peluang ini ditangkap Supiannor warga Kota Amuntai.

MUHAMMAD AKBAR, Amuntai

 Ada pepatah, Tidak ada hal yang sia-sia diciptakan Tuhan. Hal ini pas disematkan untuk Kabupaten Hulu Sungai Utara yang 85 persen wilayahnya merupakan perairan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

Namun siapa sangka rawa monoton sejauh cakrawala memandang ini menyimpan potensi ekonomi tinggi. Purun (bahasa lokal) adalah salah satu tanaman perairan rawa yang prospektif.

Dulu tanaman tumbuh meninggi ini kerap dianggap gulma bagi nelayan di Desa Banyu Hirang. Ketika mengetahui manfaat dalam usaha peningkatan ekonomi warga, Purun banyak ditanam.

Melimpahnya Purun kemudian mulai dimanfaatkan warga sekitar termasuk pemilik Gerai Kerajinan 'Kembang Ilung' Supiannor. Di tangan cekatannya, Purun diubah berbagai kerajinan seperti tas, tikar, bakul dan tudung saji.

Baca Juga :  Sempat Bangkrut, Pernah Ditipu Rp2-3 Miliar

Namun tren pembuatan sedotan organik juga tengah digeluti Supian dan warga sekitar untuk memenuhi pasar domestik dan internasional."Sedotan purun kami saat ini banyak dipesan pemilik kerajinan di Bali untuk dikirim ke Eropa sebelum Pandemi Covid-19 datang," kata Supian.

Sebelum pandemi, dia bisa menjual ribuan sedotan atau lima sampai 10 kardus sekali melakukan pengiriman."Saat ini turun. Sebab beberapa negara juga menerapkan protokol kesehatan seperti di tanah air. Sehingga restoran di luar negeri dan Bali ada yang tidak beroperasi. Jadi permintaan turun," ungkapnya.

Lalu darimana ide sedotan dari Purun ini?

Supian yang juga sudah menjadi instruktur lokal dalam kerajinan anyaman Purun dan eceng gondok ini menjawab awalnya dari permintaan mitra di Bali.

Baca Juga :  Perkuat Mitigasi, Minta Kejujuran Klien

Saat itu kenang Supiannor, mitranya meminta menyediakan sedotan berbahan purun untuk pasar Eropa. Dan syukurnya lanjut mantan aparatur desa Banyu Hirang di wilayahnya banyak bahan baku Purun.

"Seiring permintaan yang tinggi saat ini kami hanya mampu menyediakan 100 ribu batang untuk satu kali pengiriman," ungkapnya seraya mengatakan harga per batang sedotan Purun Rp 200.

"100 ribu batang kami kemas dalam 10 dus karton bisa dua Minggu sekali bila permintaan tinggi atau sebulan sekali. Ini sebelum pandemi. Saat ini jauh dari angka tersebut," ungkapnya yang mempekerjakan warga sekitar dalam produksi sedotan purun.

Supian optimistis dengan usaha ini. Pria yang kerap mengikuti pameran di sejumlah daerah di Indonesia ini yakin sedotan purun akan "meledak" kembali seusai pandemi.

Isu lingkungan mengurangi sampah plastik membuka peluang usaha sedotan organik berbahan Purun. Peluang ini ditangkap Supiannor warga Kota Amuntai.

MUHAMMAD AKBAR, Amuntai

 Ada pepatah, Tidak ada hal yang sia-sia diciptakan Tuhan. Hal ini pas disematkan untuk Kabupaten Hulu Sungai Utara yang 85 persen wilayahnya merupakan perairan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

Namun siapa sangka rawa monoton sejauh cakrawala memandang ini menyimpan potensi ekonomi tinggi. Purun (bahasa lokal) adalah salah satu tanaman perairan rawa yang prospektif.

Dulu tanaman tumbuh meninggi ini kerap dianggap gulma bagi nelayan di Desa Banyu Hirang. Ketika mengetahui manfaat dalam usaha peningkatan ekonomi warga, Purun banyak ditanam.

Melimpahnya Purun kemudian mulai dimanfaatkan warga sekitar termasuk pemilik Gerai Kerajinan 'Kembang Ilung' Supiannor. Di tangan cekatannya, Purun diubah berbagai kerajinan seperti tas, tikar, bakul dan tudung saji.

Baca Juga :  Sempat Bangkrut, Pernah Ditipu Rp2-3 Miliar

Namun tren pembuatan sedotan organik juga tengah digeluti Supian dan warga sekitar untuk memenuhi pasar domestik dan internasional."Sedotan purun kami saat ini banyak dipesan pemilik kerajinan di Bali untuk dikirim ke Eropa sebelum Pandemi Covid-19 datang," kata Supian.

Sebelum pandemi, dia bisa menjual ribuan sedotan atau lima sampai 10 kardus sekali melakukan pengiriman."Saat ini turun. Sebab beberapa negara juga menerapkan protokol kesehatan seperti di tanah air. Sehingga restoran di luar negeri dan Bali ada yang tidak beroperasi. Jadi permintaan turun," ungkapnya.

Lalu darimana ide sedotan dari Purun ini?

Supian yang juga sudah menjadi instruktur lokal dalam kerajinan anyaman Purun dan eceng gondok ini menjawab awalnya dari permintaan mitra di Bali.

Baca Juga :  Perkuat Mitigasi, Minta Kejujuran Klien

Saat itu kenang Supiannor, mitranya meminta menyediakan sedotan berbahan purun untuk pasar Eropa. Dan syukurnya lanjut mantan aparatur desa Banyu Hirang di wilayahnya banyak bahan baku Purun.

"Seiring permintaan yang tinggi saat ini kami hanya mampu menyediakan 100 ribu batang untuk satu kali pengiriman," ungkapnya seraya mengatakan harga per batang sedotan Purun Rp 200.

"100 ribu batang kami kemas dalam 10 dus karton bisa dua Minggu sekali bila permintaan tinggi atau sebulan sekali. Ini sebelum pandemi. Saat ini jauh dari angka tersebut," ungkapnya yang mempekerjakan warga sekitar dalam produksi sedotan purun.

Supian optimistis dengan usaha ini. Pria yang kerap mengikuti pameran di sejumlah daerah di Indonesia ini yakin sedotan purun akan "meledak" kembali seusai pandemi.

Terpopuler

Artikel Terbaru