27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Pelaku Fotografi Kerap Terjebak pada Industri Alat, Bukan Industri Kre

Di tengah kesibukannya, Aipda Deny
Krisbiyantoro menyempatkan berbagi ilmu dan pengalamannya lewat Kelas Foto
Borneo. Tak dipungut biaya sedikit pun dari para peserta. Kelas ini menjadi
wadah menumbuhkan minat dan membangun karakter pencinta fotografi.

 

 

AGUS
PRAMONO
,
Palangka Raya

 

SORE itu, di ruangan
belakang sebuah kafe, 15 peserta Kelas Foto Borneo (KFB) #3 duduk lesehan setengah
melingkar menghadap layar. Ruang berukuran 4×4 meter itu dikelilingi dinding
penuh mural. Paling menonjol adalah mural bergambar kamera DSLR. Memancarkan
kontras warna yang keras.

Tak lama berselang, datang seseorang sambil menenteng
tas hitam. Deny -sapaan akrabnya- mengucapkan salam pada peserta yang hadir. Masih
mengenakan seragam kebanggaan. Selepas dinas, Deny tak pulang ke rumah, tapi
langsung menuju kelas mengajar.

Dibantu dengan pengajar lain, abdi negara yang
berdinas di Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Kalteng ini langsung membantu
menyampaikan materi fotografi. Slide demi slide materi dijabarkan. Peserta pun
serius menyimak. Sesekali diselingi candaan. Ada peserta yang langsung paham.
Ada juga yang memilih diam. Ada pula yang seolah-olah paham.

Sesekali Deny mengambil alat tulis. Menulis di
papan untuk memperjelas. Di dalam ruang kelas itu, peserta memiliki kebebasan.
Bisa selonjoran. Bisa bertanya sambil makan gorengan. Tak seperti suasana kelas
formal.

Baca Juga :  Setelah Dua Warga Depok Positif Terinfeksi Virus Korona

Deny bersama Komunitas Hitam Putih Borneo
mendirikan KFB. Sudah tiga edisi atau tiga tahun berjalan. Sudah puluhan yang
mendaftar. Meski yang lulus dalam setiap edisi tidak sampai sepuluh jumlahnya. Kelas
ini tak dipungut biaya alias gratis. Hanya diminta komitmen dari peserta untuk
terus masuk kelas. Dua kali dalam seminggu selama tiga bulan. Peserta datang
dari berbagai kalangan. Dari yang pelajar, swasta, sampai yang berstatus
pegawai negeri. “Di kelas ini, kami tidak memaksakan peserta untuk menjadi fotografer
yang hebat,” ujar pria kelahiran Pacitan, 39 tahun silam.

Menurut anak kedua dari pasangan Karno dan Sri
Hartatik (alm) ini, banyak orang yang memiliki hobi fotografi, tapi hanya
sebatas suka. Kemajuan teknologi peralatan fotografi berdampak pada banyak hal
dasar yang terlewatkan. Pelaku fotografi kerap terjebak pada industri alat.
Bukan industri kreatif yang ditonjolkan.

Pada KFB ini, pengajar menekankan agar
peserta bisa menemukan karakternya sendiri. Tentunya setiap peserta
berbeda-beda. Ada karakter peserta yang semestinya punya bakat, tapi malu. Ada
pula sebaliknya. Melalui kelas ini, peserta diminta tak hanya berorientasi pada
hasil, melainkan diajarkan cara berkomunikasi, berpikir, mandiri, dan teknis
mendapatkan foto.

Untuk itu, setiap pekan pengajar memberi
pekerjaan rumah (PR). Peserta diminta mencari foto sesuai dengan materi yang
disampaikan sebelumnya. PR pun dikoreksi di pertemuan berikutnya. Hasil PR dari
peserta pun terkadang membuat pengajar semringah. Ada juga yang buang muka. Hal
yang wajar. Karena masih belajar.

Baca Juga :  Tak Takut dengan Corona, Wanita Malam di Mahir Mahar Malah Tawarkan L

“Saya dan pengajar lain menyadari karakter
masing-masing peserta. Saya tidak memaksa mereka mengikuti cara saya. Boleh
pakai cara sendiri, asal tujuannya sama,” tambah pria yang doyan makan pecel
ini.

Suami dari Maria Yunita ini sudah mengenal
foto semasa duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Kebetulan ada keluarganya
yang membuka studio foto. Kamera merek Fuji menjadi kamera pertama yang berhasil
dibelinya dari hasil keringatnya sendiri. Padahal saat itu ia masih menempuh
pendidikan. Tahun 2001, Deny resmi menjadi bagian dari korps bhayangkara.

Menjadi polisi tak menjadi halangan baginya untuk
terus berkarya di dunia fotografi. Dukungan pun terus datang dari keluarga.
Alhasil, rentetan apresiasi pun dalam genggamannya. Mulai dari menang lomba
foto skala Kalteng sampai yang berlabel nasional. Di antaranya, penghargaan
dari Disbudpar Provinsi Kalteng sebagai Foto Favorit FBIM 2014 dan penghargaan
dari Lomba Foto Historical Landmark dari Balik Lensa yang digelar media cetak
nasional. Ayah dari Naura, Nada, dan Kya ini juga sering dipercayakan menjadi
juri pada lomba fotografi. (*)

Di tengah kesibukannya, Aipda Deny
Krisbiyantoro menyempatkan berbagi ilmu dan pengalamannya lewat Kelas Foto
Borneo. Tak dipungut biaya sedikit pun dari para peserta. Kelas ini menjadi
wadah menumbuhkan minat dan membangun karakter pencinta fotografi.

 

 

AGUS
PRAMONO
,
Palangka Raya

 

SORE itu, di ruangan
belakang sebuah kafe, 15 peserta Kelas Foto Borneo (KFB) #3 duduk lesehan setengah
melingkar menghadap layar. Ruang berukuran 4×4 meter itu dikelilingi dinding
penuh mural. Paling menonjol adalah mural bergambar kamera DSLR. Memancarkan
kontras warna yang keras.

Tak lama berselang, datang seseorang sambil menenteng
tas hitam. Deny -sapaan akrabnya- mengucapkan salam pada peserta yang hadir. Masih
mengenakan seragam kebanggaan. Selepas dinas, Deny tak pulang ke rumah, tapi
langsung menuju kelas mengajar.

Dibantu dengan pengajar lain, abdi negara yang
berdinas di Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Kalteng ini langsung membantu
menyampaikan materi fotografi. Slide demi slide materi dijabarkan. Peserta pun
serius menyimak. Sesekali diselingi candaan. Ada peserta yang langsung paham.
Ada juga yang memilih diam. Ada pula yang seolah-olah paham.

Sesekali Deny mengambil alat tulis. Menulis di
papan untuk memperjelas. Di dalam ruang kelas itu, peserta memiliki kebebasan.
Bisa selonjoran. Bisa bertanya sambil makan gorengan. Tak seperti suasana kelas
formal.

Baca Juga :  Setelah Dua Warga Depok Positif Terinfeksi Virus Korona

Deny bersama Komunitas Hitam Putih Borneo
mendirikan KFB. Sudah tiga edisi atau tiga tahun berjalan. Sudah puluhan yang
mendaftar. Meski yang lulus dalam setiap edisi tidak sampai sepuluh jumlahnya. Kelas
ini tak dipungut biaya alias gratis. Hanya diminta komitmen dari peserta untuk
terus masuk kelas. Dua kali dalam seminggu selama tiga bulan. Peserta datang
dari berbagai kalangan. Dari yang pelajar, swasta, sampai yang berstatus
pegawai negeri. “Di kelas ini, kami tidak memaksakan peserta untuk menjadi fotografer
yang hebat,” ujar pria kelahiran Pacitan, 39 tahun silam.

Menurut anak kedua dari pasangan Karno dan Sri
Hartatik (alm) ini, banyak orang yang memiliki hobi fotografi, tapi hanya
sebatas suka. Kemajuan teknologi peralatan fotografi berdampak pada banyak hal
dasar yang terlewatkan. Pelaku fotografi kerap terjebak pada industri alat.
Bukan industri kreatif yang ditonjolkan.

Pada KFB ini, pengajar menekankan agar
peserta bisa menemukan karakternya sendiri. Tentunya setiap peserta
berbeda-beda. Ada karakter peserta yang semestinya punya bakat, tapi malu. Ada
pula sebaliknya. Melalui kelas ini, peserta diminta tak hanya berorientasi pada
hasil, melainkan diajarkan cara berkomunikasi, berpikir, mandiri, dan teknis
mendapatkan foto.

Untuk itu, setiap pekan pengajar memberi
pekerjaan rumah (PR). Peserta diminta mencari foto sesuai dengan materi yang
disampaikan sebelumnya. PR pun dikoreksi di pertemuan berikutnya. Hasil PR dari
peserta pun terkadang membuat pengajar semringah. Ada juga yang buang muka. Hal
yang wajar. Karena masih belajar.

Baca Juga :  Tak Takut dengan Corona, Wanita Malam di Mahir Mahar Malah Tawarkan L

“Saya dan pengajar lain menyadari karakter
masing-masing peserta. Saya tidak memaksa mereka mengikuti cara saya. Boleh
pakai cara sendiri, asal tujuannya sama,” tambah pria yang doyan makan pecel
ini.

Suami dari Maria Yunita ini sudah mengenal
foto semasa duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Kebetulan ada keluarganya
yang membuka studio foto. Kamera merek Fuji menjadi kamera pertama yang berhasil
dibelinya dari hasil keringatnya sendiri. Padahal saat itu ia masih menempuh
pendidikan. Tahun 2001, Deny resmi menjadi bagian dari korps bhayangkara.

Menjadi polisi tak menjadi halangan baginya untuk
terus berkarya di dunia fotografi. Dukungan pun terus datang dari keluarga.
Alhasil, rentetan apresiasi pun dalam genggamannya. Mulai dari menang lomba
foto skala Kalteng sampai yang berlabel nasional. Di antaranya, penghargaan
dari Disbudpar Provinsi Kalteng sebagai Foto Favorit FBIM 2014 dan penghargaan
dari Lomba Foto Historical Landmark dari Balik Lensa yang digelar media cetak
nasional. Ayah dari Naura, Nada, dan Kya ini juga sering dipercayakan menjadi
juri pada lomba fotografi. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru