27.3 C
Jakarta
Thursday, April 17, 2025

Kalau Kelak Punah, Setidaknya Indonesia Punya Arsip Visual

Delapan bulan mengelilingi
Kalimantan, Borneo Tattoo meneliti dan mengarsipkan budaya tato Suku Dayak dan sub-Dayak.
Naik motor, kenyang kesasar meski sudah bermodal GPS. 

 

FOLLY AKBAR, Jakarta

 

MELEWATI jalanan setapak.
Menyusuri hutan tropis. Menyeberangi sungai-sungai. Dan, menemui masyarakat adat
di pedalaman Kalimantan.

Delapan bulan lamanya Bonfilio
Yosafat melakukan itu semua. Demi mengarsipkan tradisi bertato masyarakat Dayak
Kalimantan yang mulai digarap empat tahun lalu.

Tapi, pandemi Covid-19 yang
menutup banyak akses telah mengganjal kerja pendokumentasian itu. Bonbon pun memilih
balik dulu ke Jawa sejak awal Agustus.

Selama delapan bulan itu
Bonbon dan dua rekannya, Atma Parindra dan Doni Prayogo, sudah menyelesaikan sebagian
besar target ekspedisi Borneo Tattoo. Mendatangi 22 Suku Dayak dan berbagai subkulturnya
di lebih dari 60 desa yang tersebar di lima provinsi di Kalimantan.

Dia tinggal butuh mendatangi
empat Suku Dayak lain setelah pandemi. ’’Masih kurang sekitar enam desa lagi (tempat
empat Suku Dayak itu bermukim),’’ ujarnya kepada Jawa Pos

(Grup Kaltengpos.co)

(11/8).

Meski sebagian besar sudah
didokumentasikan, penundaan ekspedisi tetap memicu kekhawatiran Bonbon dkk. Maklum
saja, mereka tengah berkejaran dengan waktu.

Ini mengingat tradisi menato
di suku-suku Kalimantan terus tergerus dan nyaris punah di banyak tempat. Terlambat
sedikit, bukti otentiknya bisa hilang.

 

Kekhawatiran punahnya tradisi
tato Kalimantan tanpa ada arsip atau dokumentasi itu pula yang melandasi tekad awal
Bonbon menjalankan ekspedisi tersebut. Apalagi, dari hasil riset yang dia lakukan
sejak 2016, belum ada kerja pengarsipan yang meneliti tradisi bertato warga Dayak
secara menyeluruh.

Kerja dokumentasi, kalaupun
ada, hanya meliputi beberapa suku. Sedangkan Bonbon mencoba menelitinya secara menyeluruh
dengan perspektif warga Indonesia.

’’Saya ingin yang membuat
arsip visual adalah orang Indonesia, dengan pendekatan dan sudut pandang orang Indonesia,’’
kata Bonbon.

Rencananya, arsip dibuat
dalam bentuk film dokumenter dan photobook atau buku foto untuk merekam bukti otentik
itu. ’’Saya berharap bisa bertemu dengan relasi yang bisa membantu saya untuk mencetak
buku dalam jumlah banyak. Untuk dibagikan gratis ke masyarakat,’’ tutur sosok yang
sejak kecil menyukai seni tato tersebut.

Bagi dia, Indonesia akan
rugi besar jika tradisi bertato yang dimiliki masyarakat Dayak Kalimantan tidak
sempat diarsipkan secara komprehensif. Sebab, berbeda dengan tato masyarakat kota
yang menjadi gaya hidup dan industri, tato Borneo merupakan simbol dan budaya. Dan,
selama berabad-abad diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca Juga :  Sumbang Pelindung Wajah dan Donasikan Royalti Lagu

’’Ketika suatu saat hilang,
setidaknya Indonesia punya aset visual,’’ terangnya.

Kekhawatiran akan kepunahan
itu sudah terkonfirmasi di lapangan. Dari hasil penyisiran Bonbon dan dua rekannya,
budaya tato di kalangan Dayak mulai luntur.

Di antara lebih dari 22
suku yang telah dia datangi, hanya satu suku yang warganya masih banyak bertato.
Yakni, Suku Iban. Indikatornya terlihat dari masih banyaknya anak-anak muda yang
mengenakan tradisi tato di tubuh mereka.

Itu pun didominasi laki-laki.
Perempuan baru mulai melakukan tradisi tato kembali.
Sementara itu,
tradisi tato di mayoritas suku Dayak lain hanya meninggalkan sisa-sisa dari generasi
tua. ’’Yang lain sebetulnya masih ditemui, tapi umurnya sudah 60 sampai 70 tahun
ke atas. Ada juga yang usia 100 tahun,’’ kata jebolan Jurusan Fotografi Institut
Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta itu.

Lalu, apa penyebabnya? Dari
hasil interaksinya dengan warga, tradisi bertato di masyarakat Dayak mulai hilang
karena infiltrasi sistem-sistem sosial baru di masyarakat.

Beberapa agama dan keyakinan
masyarakat setempat, misalnya, mengajarkan larangan untuk melanjutkan tradisi tato
tersebut. Sekolah-sekolah formal juga menerapkan aturan larangan serupa.

Banyak pegawai pemerintahan
yang juga dilarang bertato. Meskipun ada pula instansi pemerintahan yang mengizinkan
sesuai dengan kesukuan, namun tidak banyak.

Pada masa lalu, definisi
kecantikan di beberapa kesukuan Dayak ditandai dengan memiliki tato dan telinga
panjang. Yang juga menjadi penanda strata sosial.

Namun, arus modernisasi
yang membawa serta definisi tunggal soal cantik dan bersih turut menggeser perspektif
warga Dayak. ’’Ada yang merantau ke kota, melihat orang cantik di kota itu kulitnya
mulus, nggak ada tato, telinga nggak panjang (cuping), lalu akhirnya meninggalkan
tato dan telinga panjang,’’ tuturnya.

Berbagai faktor tersebut
pada akhirnya melahirkan stigma negatif terhadap orang bertato. Dari pantauan Bonbon,
perubahan tersebut perlahan memecah pula pandangan masyarakat Dayak. Bukan hanya
yang muda, melainkan juga para tetua.

Sub-Suku Dayak yang masih
menjalani tradisi tato, antara lain, Suku Dayak Meratus, Suku Dayak Kenyah Uma Bakung,
Suku Dayak Kenyah Uma Baha, Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan, Suku Dayak Kenyah Uma
Kulit, dan Suku Dayak Kenyah Lepoq Tau. ’’Mereka punya motif sendiri, punya pemaknaan
sendiri,’’ terangnya.

Pengarsipan sendiri tidak
berjalan mudah. Sejak awal, Bonbon sadar ekspedisi tersebut merupakan pekerjaan
yang membutuhkan sumber daya yang besar. Baik materi, logistik, maupun teknis dan
mental.

Baca Juga :  Selamat Jalan Yuyung Abdi, di Surga Banyak Spot Indah yang Bisa Difoto

Karena itu, persiapan dilakukan
jauh hari sebelum start, persisnya mulai 2016. Bonbon mengajukan proposal ke berbagai
instansi, baik swasta maupun pemerintahan.

Namun, menurut Bonbon, semesta
belum mendukung. Jadilah dia menggunakan dana pribadi. Dari tabungan dan hasil usaha
dana menjual merchandise.
Bonbon mengaku sangat beruntung
kemudian bisa bertemu dengan Sukardi Rinakit, staf khusus presiden, yang secara
personal sangat mendukung cita-citanya melakukan pengarsipan visual.

Sosok lain yang punya andil
besar dalam ekspedisi Borneo Tattoo adalah Aan Fikriyan. Bersama Kustomfest yang
digawanginya, Aan memberikan dukungan dua buah sepeda motor CRF 150 cc sebagai moda
transportasi selama delapan bulan perjalanan.

Selain itu, ada dukungan
alat dokumentasi untuk perjalanan dan pengaryaan dari Ali Husaini, perwakilan Egopro
Jogja, dan Yandez, perwakilan Eiger yang men-support berbagai peralatan selama perjalanan.

Ekspedisi tersebut dilaksanakan
dengan modal niat dan kenekatan, namun tetap mempertimbangkan manajemen risiko.
Sebab, di perjalanan semua bisa terjadi.

Bermotor mengelilingi Kalimantan,
prediksi awal selesai dalam tiga bulan. Ternyata mundur hingga delapan bulan.

Penyebabnya, banyak jalur
yang sulit dan berisiko tinggi. Meski sudah bermodal GPS (global positioning system),
perjalanan tetap tidak lancar. Sinyal kembang kempis hingga petunjuk arah yang keliru
menjadi makanan keseharian selama perjalanan.

Faktor lain adalah banyaknya
temuan menarik di lapangan. Semakin berjalan, semakin banyak tahu dan semakin penasaran.
Banyaknya informasi baru di lapangan yang di luar perencanaan awal membuat waktu
tiga bulan terlampau pendek.

 

Dan, yang tidak kalah memakan
waktu adalah pendokumentasian. Pada umumnya, Bonbon tidak dapat melakukan wawancara
atau pengambilan gambar pada hari yang sama setelah datang di sebuah tempat.

Dia harus mengakrabkan diri
dan membangun rasa saling percaya. Belum lagi persoalan bahasa. Mengingat banyak
narasumber berusia lanjut dengan kemampuan bahasa Indonesia yang terbatas.

Molornya waktu berdampak
serius terhadap isi kantong. Bonbon dan teman-teman terpaksa memutar otak dengan
melakukan pekerjaan sampingan. Misalnya, membuat feature pendek untuk sekolah-sekolah.

Terkait dengan penggunaan
motor dalam ekspedisi, Bonbon menyebut sepenuhnya mempertimbangkan teknis. Selain
lebih murah, motor relatif lebih mudah untuk menyusuri kondisi geografis Kalimantan.
Penggunaan motor pada akhirnya juga menambah keyakinan masyarakat.

’’Dengan menggunakan motor dari Jawa ke Kalimantan,
ternyata tim jadi mudah dekat dengan masyarakat. Sebab, mereka melihat keseriusan
yang kami lakukan,’’ kata dia. 

Delapan bulan mengelilingi
Kalimantan, Borneo Tattoo meneliti dan mengarsipkan budaya tato Suku Dayak dan sub-Dayak.
Naik motor, kenyang kesasar meski sudah bermodal GPS. 

 

FOLLY AKBAR, Jakarta

 

MELEWATI jalanan setapak.
Menyusuri hutan tropis. Menyeberangi sungai-sungai. Dan, menemui masyarakat adat
di pedalaman Kalimantan.

Delapan bulan lamanya Bonfilio
Yosafat melakukan itu semua. Demi mengarsipkan tradisi bertato masyarakat Dayak
Kalimantan yang mulai digarap empat tahun lalu.

Tapi, pandemi Covid-19 yang
menutup banyak akses telah mengganjal kerja pendokumentasian itu. Bonbon pun memilih
balik dulu ke Jawa sejak awal Agustus.

Selama delapan bulan itu
Bonbon dan dua rekannya, Atma Parindra dan Doni Prayogo, sudah menyelesaikan sebagian
besar target ekspedisi Borneo Tattoo. Mendatangi 22 Suku Dayak dan berbagai subkulturnya
di lebih dari 60 desa yang tersebar di lima provinsi di Kalimantan.

Dia tinggal butuh mendatangi
empat Suku Dayak lain setelah pandemi. ’’Masih kurang sekitar enam desa lagi (tempat
empat Suku Dayak itu bermukim),’’ ujarnya kepada Jawa Pos

(Grup Kaltengpos.co)

(11/8).

Meski sebagian besar sudah
didokumentasikan, penundaan ekspedisi tetap memicu kekhawatiran Bonbon dkk. Maklum
saja, mereka tengah berkejaran dengan waktu.

Ini mengingat tradisi menato
di suku-suku Kalimantan terus tergerus dan nyaris punah di banyak tempat. Terlambat
sedikit, bukti otentiknya bisa hilang.

 

Kekhawatiran punahnya tradisi
tato Kalimantan tanpa ada arsip atau dokumentasi itu pula yang melandasi tekad awal
Bonbon menjalankan ekspedisi tersebut. Apalagi, dari hasil riset yang dia lakukan
sejak 2016, belum ada kerja pengarsipan yang meneliti tradisi bertato warga Dayak
secara menyeluruh.

Kerja dokumentasi, kalaupun
ada, hanya meliputi beberapa suku. Sedangkan Bonbon mencoba menelitinya secara menyeluruh
dengan perspektif warga Indonesia.

’’Saya ingin yang membuat
arsip visual adalah orang Indonesia, dengan pendekatan dan sudut pandang orang Indonesia,’’
kata Bonbon.

Rencananya, arsip dibuat
dalam bentuk film dokumenter dan photobook atau buku foto untuk merekam bukti otentik
itu. ’’Saya berharap bisa bertemu dengan relasi yang bisa membantu saya untuk mencetak
buku dalam jumlah banyak. Untuk dibagikan gratis ke masyarakat,’’ tutur sosok yang
sejak kecil menyukai seni tato tersebut.

Bagi dia, Indonesia akan
rugi besar jika tradisi bertato yang dimiliki masyarakat Dayak Kalimantan tidak
sempat diarsipkan secara komprehensif. Sebab, berbeda dengan tato masyarakat kota
yang menjadi gaya hidup dan industri, tato Borneo merupakan simbol dan budaya. Dan,
selama berabad-abad diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca Juga :  Sumbang Pelindung Wajah dan Donasikan Royalti Lagu

’’Ketika suatu saat hilang,
setidaknya Indonesia punya aset visual,’’ terangnya.

Kekhawatiran akan kepunahan
itu sudah terkonfirmasi di lapangan. Dari hasil penyisiran Bonbon dan dua rekannya,
budaya tato di kalangan Dayak mulai luntur.

Di antara lebih dari 22
suku yang telah dia datangi, hanya satu suku yang warganya masih banyak bertato.
Yakni, Suku Iban. Indikatornya terlihat dari masih banyaknya anak-anak muda yang
mengenakan tradisi tato di tubuh mereka.

Itu pun didominasi laki-laki.
Perempuan baru mulai melakukan tradisi tato kembali.
Sementara itu,
tradisi tato di mayoritas suku Dayak lain hanya meninggalkan sisa-sisa dari generasi
tua. ’’Yang lain sebetulnya masih ditemui, tapi umurnya sudah 60 sampai 70 tahun
ke atas. Ada juga yang usia 100 tahun,’’ kata jebolan Jurusan Fotografi Institut
Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta itu.

Lalu, apa penyebabnya? Dari
hasil interaksinya dengan warga, tradisi bertato di masyarakat Dayak mulai hilang
karena infiltrasi sistem-sistem sosial baru di masyarakat.

Beberapa agama dan keyakinan
masyarakat setempat, misalnya, mengajarkan larangan untuk melanjutkan tradisi tato
tersebut. Sekolah-sekolah formal juga menerapkan aturan larangan serupa.

Banyak pegawai pemerintahan
yang juga dilarang bertato. Meskipun ada pula instansi pemerintahan yang mengizinkan
sesuai dengan kesukuan, namun tidak banyak.

Pada masa lalu, definisi
kecantikan di beberapa kesukuan Dayak ditandai dengan memiliki tato dan telinga
panjang. Yang juga menjadi penanda strata sosial.

Namun, arus modernisasi
yang membawa serta definisi tunggal soal cantik dan bersih turut menggeser perspektif
warga Dayak. ’’Ada yang merantau ke kota, melihat orang cantik di kota itu kulitnya
mulus, nggak ada tato, telinga nggak panjang (cuping), lalu akhirnya meninggalkan
tato dan telinga panjang,’’ tuturnya.

Berbagai faktor tersebut
pada akhirnya melahirkan stigma negatif terhadap orang bertato. Dari pantauan Bonbon,
perubahan tersebut perlahan memecah pula pandangan masyarakat Dayak. Bukan hanya
yang muda, melainkan juga para tetua.

Sub-Suku Dayak yang masih
menjalani tradisi tato, antara lain, Suku Dayak Meratus, Suku Dayak Kenyah Uma Bakung,
Suku Dayak Kenyah Uma Baha, Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan, Suku Dayak Kenyah Uma
Kulit, dan Suku Dayak Kenyah Lepoq Tau. ’’Mereka punya motif sendiri, punya pemaknaan
sendiri,’’ terangnya.

Pengarsipan sendiri tidak
berjalan mudah. Sejak awal, Bonbon sadar ekspedisi tersebut merupakan pekerjaan
yang membutuhkan sumber daya yang besar. Baik materi, logistik, maupun teknis dan
mental.

Baca Juga :  Selamat Jalan Yuyung Abdi, di Surga Banyak Spot Indah yang Bisa Difoto

Karena itu, persiapan dilakukan
jauh hari sebelum start, persisnya mulai 2016. Bonbon mengajukan proposal ke berbagai
instansi, baik swasta maupun pemerintahan.

Namun, menurut Bonbon, semesta
belum mendukung. Jadilah dia menggunakan dana pribadi. Dari tabungan dan hasil usaha
dana menjual merchandise.
Bonbon mengaku sangat beruntung
kemudian bisa bertemu dengan Sukardi Rinakit, staf khusus presiden, yang secara
personal sangat mendukung cita-citanya melakukan pengarsipan visual.

Sosok lain yang punya andil
besar dalam ekspedisi Borneo Tattoo adalah Aan Fikriyan. Bersama Kustomfest yang
digawanginya, Aan memberikan dukungan dua buah sepeda motor CRF 150 cc sebagai moda
transportasi selama delapan bulan perjalanan.

Selain itu, ada dukungan
alat dokumentasi untuk perjalanan dan pengaryaan dari Ali Husaini, perwakilan Egopro
Jogja, dan Yandez, perwakilan Eiger yang men-support berbagai peralatan selama perjalanan.

Ekspedisi tersebut dilaksanakan
dengan modal niat dan kenekatan, namun tetap mempertimbangkan manajemen risiko.
Sebab, di perjalanan semua bisa terjadi.

Bermotor mengelilingi Kalimantan,
prediksi awal selesai dalam tiga bulan. Ternyata mundur hingga delapan bulan.

Penyebabnya, banyak jalur
yang sulit dan berisiko tinggi. Meski sudah bermodal GPS (global positioning system),
perjalanan tetap tidak lancar. Sinyal kembang kempis hingga petunjuk arah yang keliru
menjadi makanan keseharian selama perjalanan.

Faktor lain adalah banyaknya
temuan menarik di lapangan. Semakin berjalan, semakin banyak tahu dan semakin penasaran.
Banyaknya informasi baru di lapangan yang di luar perencanaan awal membuat waktu
tiga bulan terlampau pendek.

 

Dan, yang tidak kalah memakan
waktu adalah pendokumentasian. Pada umumnya, Bonbon tidak dapat melakukan wawancara
atau pengambilan gambar pada hari yang sama setelah datang di sebuah tempat.

Dia harus mengakrabkan diri
dan membangun rasa saling percaya. Belum lagi persoalan bahasa. Mengingat banyak
narasumber berusia lanjut dengan kemampuan bahasa Indonesia yang terbatas.

Molornya waktu berdampak
serius terhadap isi kantong. Bonbon dan teman-teman terpaksa memutar otak dengan
melakukan pekerjaan sampingan. Misalnya, membuat feature pendek untuk sekolah-sekolah.

Terkait dengan penggunaan
motor dalam ekspedisi, Bonbon menyebut sepenuhnya mempertimbangkan teknis. Selain
lebih murah, motor relatif lebih mudah untuk menyusuri kondisi geografis Kalimantan.
Penggunaan motor pada akhirnya juga menambah keyakinan masyarakat.

’’Dengan menggunakan motor dari Jawa ke Kalimantan,
ternyata tim jadi mudah dekat dengan masyarakat. Sebab, mereka melihat keseriusan
yang kami lakukan,’’ kata dia. 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru