KOMANDO Jihad juga begitu. G 30S/PKI juga begitu. Kanan begitu. Kiri begitu. Pun pendudukan gedung DPR/MPR Amerika Serikat –gedung Capitol– tanggal 6 Januari lalu.
Mereka yang bergerak ke gedung Capitol itu umumnya percaya: gerakan mereka akan langsung disambut dengan dekrit Presiden Donald Trump. Yakni bahwa negara akan langsung dinyatakan dalam keadaan darurat. Lalu tokoh-tokoh yang melawan Trump ditangkap. Termasuk presiden terpilih Joe Biden, Ketua DPR Nancy Pelosi, dan belakangan juga Wapres Mike Pence. Bahkan, mereka itu, akan langsung dieksekusi –agar tidak dibebaskan oleh pengadilan.
Mereka percaya akan ada kejadian seperti itu.
”Skenario” tersebut beredar luas di kalangan kelompok pendukung Trump. Yakni mereka yang percaya bahwa Amerika Serikat itu aslinya didirikan sebagai negara Kristen kulit putih. Yang sekarang lagi dibelokkan oleh kekuatan rahasia pemuja setan. Mereka merasa wajib berjuang mengembalikan Amerika sesuai dengan misi saat didirikannya.
Mike Pompeo sendiri saat mengakhiri jabatannya sebagai menteri luar negeri menegaskan: multikulturalisme bukanlah Amerika. Begitulah yang saya baca di Twitter-nya.
Memang, belakangan, kalau ditanya siapa Amerika itu, jawabnya adalah negara multikultural. Tapi tokoh pendukung Trump sekelas Pompeo pun secara tidak langsung ingin menegaskan: Amerika adalah itu tadi.
Dengan adanya skenario ”demo-duduki-dekrit-darurat-tangkap” seperti itu mereka mudah terpancing. Mereka berani menduduki Capitol sebagai bagian dari skenario. Apalagi Presiden Trump sendiri sudah berpidato di depan mereka. Yang minta untuk membanjiri Capitol. Dengan kekuatan. Bukan dengan jiwa lemah.
Kepercayaan mereka bertambah manakala diembuskan tambahan info: militer berada di belakang mereka. Untuk mengamankan dekrit presiden.
Ribuan tentara yang hari itu sudah memenuhi Washington DC mereka anggap sebagai bagian dari skenario. Mereka akan bergerak manakala dekrit diumumkan Trump.
Para pendukung Trump melihat sendiri. Tentara sudah menguasai wilayah sekitar Gedung Putih dan Capitol. Mereka yakin tentara itulah yang akan bergerak. Menangkapi para lawan Trump –yang mereka tuduh sebagai golongan kiri yang akan membawa Amerika menjadi negara komunis.
Dan mereka kecewa.
Semua itu tidak terjadi.
Trump memang terus mengikuti pergerakan pendukungnya memasuki Capitol. Yakni dari siaran streaming TV besar di Gedung Putih. Tapi ia tidak mengeluarkan dekrit yang mereka tunggu.
Maka setelah lima jam berada di Capitol –termasuk berhasil menjarah ruang kerja Pelosi dan mengambil laptopnyi– mereka berhasil dihalau.
Kini sudah lebih 400 orang ditangkap. Termasuk yang sudah membawa borgol ke Capitol. Juga yang berteriak ”gantung Pence”.
Komando Jihad di tahun 1968-1970 pun seperti itu. Beredar skenario di kalangan gerakan Islam tertentu bahwa Indonesia akan jadi komunis. Islam harus bergerak. Bahkan ada provokasi lebih baik mendirikan Negara Islam Indonesia.
Waktu itu saya masih kelas 3 Madrasah Aliyah (SMA). Saya termasuk yang diprovokasi itu. Saya memang sekretaris jenderal asosiasi santri di 100 madrasah lebih.
Teman-teman saya bersemangat sekali untuk mendirikan Negara Islam. Mereka mengatakan sudah 9 batalyon tentara yang memihak gerakan itu.
Kebetulan nafsu untuk mendirikan Negara Islam memang ada. Di bawah permukaan.
Setelah dirasa matang Komando Jihad bergerak. Atau, tepatnya, akan bergerak. Lalu ditangkapi. Ketua umum saya ditangkap. Ia cerdas. Bintang pelajar. Pandai pidato. Jago indoktrinasi.
Ternyata tidak ada itu dukungan batalyon yang disebut-sebut.
Guru dan teman-teman saya ditangkap. Ketua umum yang hebat tadi ditahan. Dimasukkan penjara. Hukumannya 20 tahun di penjara Koblen Surabaya. Masa depannya habis di penjara. Kepintarannya sia-sia.
Mereka umumnya tergiur oleh pancingan skenario seperti itu. Aneh. Masyarakat kelas Amerika juga terjebak skenario menduduki Capitol. Entah dari mana datangnya.
Baru sekian tahun kemudian diketahui: komandan tertinggi Komando Jihad itu, Haji Ismail Pranoto, putra tokoh pemberontak NII di Jabar, berkantor di sebelah ruang kerja Kepala Bakin Ali Murtopo.
Fanatik memang buta. Termasuk buta terhadap skenario fatamorgana. Dan hebatnya ini terjadi juga di Amerika. Di zaman medsos dan internet.
Bagaimana pula tidak terjadi di negara yang seperti kita. (Dahlan Iskan)