32.3 C
Jakarta
Tuesday, April 29, 2025

Rumah Stasiun

Syukurlah ide lama menggabungkan stasiun KRL dengan rumah susun ternyata sudah terwujud di Jakarta.

Sudah di tiga stasiun. Masih akan terus dikembangkan ke stasiun lain. Tidak lagi hanya ada di Chongqing atau Hong Kong.

Saya happy membaca komentar-komentar di Disway kemarin. Misalnya dari Ulik Kopi –Anda pemilik kafe Ulik?

Di stasiun Pondok Cina sudah dibangun apartemen 940 unit. Di stasiun Rawa Buntu 1.861 unit. Di Tanjung Barat 1.216 unit. “Bangunan bertingkat itu bisa dibilang menyatu dengan stasiun, apalagi yang di Pondok Cina,” tulis Ulik Kopi.

Sewaktu mengoordinasikan KAI dan Perumnas dulu saya sudah sering ke Chongqing. Kota di pedalaman Tiongkok ini memang bisa memberi banyak inspirasi. Pun sampai sekarang.

Terutama tiga tahun terakhir. Setelah Covid-19 berlalu.

Penataan tebing di sepanjang sungai Changjiang, sangat menakjubkan. Para arsitek dan ahli tata kota akan bisa dapat banyak inspirasi dari sana. Menakjubkan. Jauh mengalahkan Hong Kong. Atau Niigata.

Bagaimana tebing di pinggir sungai itu jadi cafe dan kios wisata setinggi setara 11 lantai. Di tebing yang lain jadi ratusan cafe out door seperti menghiasi tebing. Cahayanya gemerlap, melantul pula di air sungai Changjiang dan Jialing.

Baca Juga :  Lubang Sama

Jakarta akhirnya melaksanakan juga ide itu. Pengacara dan detektif partikelir Boyamin Saiman juga kirim WA ke saya: di stasiun Rawa Buntu dekat BSD sudah ada apartemen di stasiun KRL. Dikembangkan oleh Perumnas (BUMN). Dari rencana 3 tower sudah selesai 1 tower. Saat ini sudah mulai dibangun tower kedua. Harga kisaran 400 juta. Laris manis .

Boyamin juga mengingatkan saya: tiket KRL sekarang Rp. 3000. Bukan Rp 1.500 lagi.

Boyamin tahu persis semua itu. Ia tergolong orang kaya yang suka naik KRL. Di stasiun tujuan nanti, di Jakarta, ia naik ojek ke kantor. Hampir setiap hari seperti itu. Praktis. Cepat. Di KRL bisa sambil bekerja pakai HP. Kebalikannya kalau ia naik mobil dari BSD.

Sejak dulu pun yang saya incar memang perumnas. Bekerja sama dengan KAI. Sama-sama BUMN. Akhirnya jadi kenyataan.

Itu sangat baik. Tapi bukan yang terbaik. Pembicaraan antara KAI dan Perumnas terlalu makan waktu. Sama-sama punya ego. Sama-sama ingin dapat keuntungan lebih besar.

Akhirnya orientasinya bisnis. Harus untung. Harus balik modal dengan cepat. Itu tidak salah. KAI dan Perumnas adalah perusahaan, meskipun statusnya BUMN.

Baca Juga :  Uang Mati

Dengan contoh nyata di tiga lokasi itu KAI dan Perumnas sudah memecahkan kebekuan. Tinggal apakah seterusnya masih seperti itu. Atau lebih diarahkan untuk tujuan bernegara yang lebih baik.

Sepanjang pendekatannya tetap bisnis maka berapa pun rumah dibangun tidak bisa memecahkan persoalan kampung kumuh. Rumah susun kian banyak tapi perumahan kumuh tidak berkurang. Kampung miskin tetap jadi warisan dari satu gubernur ke gubernur berikutnya.

Kita harus ingat: kepentingan utama rumah di stasiun adalah untuk mereka yang  berpenghasilan tetap tapi rendah, yang tiap hari ke tempat kerja di jalur itu. Bukan untuk mereka yang ingin investasi. Atau untuk jadi rumah kedua apalagi ketiga.

Masih begitu banyak stasiun yang bisa dibuat seperti Rawa Buntu. Gubernur DKI Jakarta bisa ikut terjun. Bukan untuk bisnis. Harus lebih banyak untuk mengurangi kampung kumuh di Jakarta. Mereka jangan digusur jauh. Itu akan mencabut akar dan ekonomi mereka. Tapi kalau di ”gusur” ke rumah susun di stasiun justru memperkuat akar mereka.

KAI dan Perumnas sudah memulai di tiga lokasi. Betapa cepat kalau gubernur Jakarta ikut membawanya lari.(Dahlan Iskan)

Syukurlah ide lama menggabungkan stasiun KRL dengan rumah susun ternyata sudah terwujud di Jakarta.

Sudah di tiga stasiun. Masih akan terus dikembangkan ke stasiun lain. Tidak lagi hanya ada di Chongqing atau Hong Kong.

Saya happy membaca komentar-komentar di Disway kemarin. Misalnya dari Ulik Kopi –Anda pemilik kafe Ulik?

Di stasiun Pondok Cina sudah dibangun apartemen 940 unit. Di stasiun Rawa Buntu 1.861 unit. Di Tanjung Barat 1.216 unit. “Bangunan bertingkat itu bisa dibilang menyatu dengan stasiun, apalagi yang di Pondok Cina,” tulis Ulik Kopi.

Sewaktu mengoordinasikan KAI dan Perumnas dulu saya sudah sering ke Chongqing. Kota di pedalaman Tiongkok ini memang bisa memberi banyak inspirasi. Pun sampai sekarang.

Terutama tiga tahun terakhir. Setelah Covid-19 berlalu.

Penataan tebing di sepanjang sungai Changjiang, sangat menakjubkan. Para arsitek dan ahli tata kota akan bisa dapat banyak inspirasi dari sana. Menakjubkan. Jauh mengalahkan Hong Kong. Atau Niigata.

Bagaimana tebing di pinggir sungai itu jadi cafe dan kios wisata setinggi setara 11 lantai. Di tebing yang lain jadi ratusan cafe out door seperti menghiasi tebing. Cahayanya gemerlap, melantul pula di air sungai Changjiang dan Jialing.

Baca Juga :  Lubang Sama

Jakarta akhirnya melaksanakan juga ide itu. Pengacara dan detektif partikelir Boyamin Saiman juga kirim WA ke saya: di stasiun Rawa Buntu dekat BSD sudah ada apartemen di stasiun KRL. Dikembangkan oleh Perumnas (BUMN). Dari rencana 3 tower sudah selesai 1 tower. Saat ini sudah mulai dibangun tower kedua. Harga kisaran 400 juta. Laris manis .

Boyamin juga mengingatkan saya: tiket KRL sekarang Rp. 3000. Bukan Rp 1.500 lagi.

Boyamin tahu persis semua itu. Ia tergolong orang kaya yang suka naik KRL. Di stasiun tujuan nanti, di Jakarta, ia naik ojek ke kantor. Hampir setiap hari seperti itu. Praktis. Cepat. Di KRL bisa sambil bekerja pakai HP. Kebalikannya kalau ia naik mobil dari BSD.

Sejak dulu pun yang saya incar memang perumnas. Bekerja sama dengan KAI. Sama-sama BUMN. Akhirnya jadi kenyataan.

Itu sangat baik. Tapi bukan yang terbaik. Pembicaraan antara KAI dan Perumnas terlalu makan waktu. Sama-sama punya ego. Sama-sama ingin dapat keuntungan lebih besar.

Akhirnya orientasinya bisnis. Harus untung. Harus balik modal dengan cepat. Itu tidak salah. KAI dan Perumnas adalah perusahaan, meskipun statusnya BUMN.

Baca Juga :  Uang Mati

Dengan contoh nyata di tiga lokasi itu KAI dan Perumnas sudah memecahkan kebekuan. Tinggal apakah seterusnya masih seperti itu. Atau lebih diarahkan untuk tujuan bernegara yang lebih baik.

Sepanjang pendekatannya tetap bisnis maka berapa pun rumah dibangun tidak bisa memecahkan persoalan kampung kumuh. Rumah susun kian banyak tapi perumahan kumuh tidak berkurang. Kampung miskin tetap jadi warisan dari satu gubernur ke gubernur berikutnya.

Kita harus ingat: kepentingan utama rumah di stasiun adalah untuk mereka yang  berpenghasilan tetap tapi rendah, yang tiap hari ke tempat kerja di jalur itu. Bukan untuk mereka yang ingin investasi. Atau untuk jadi rumah kedua apalagi ketiga.

Masih begitu banyak stasiun yang bisa dibuat seperti Rawa Buntu. Gubernur DKI Jakarta bisa ikut terjun. Bukan untuk bisnis. Harus lebih banyak untuk mengurangi kampung kumuh di Jakarta. Mereka jangan digusur jauh. Itu akan mencabut akar dan ekonomi mereka. Tapi kalau di ”gusur” ke rumah susun di stasiun justru memperkuat akar mereka.

KAI dan Perumnas sudah memulai di tiga lokasi. Betapa cepat kalau gubernur Jakarta ikut membawanya lari.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/