OPERASI pembebasan sandera pilot Phillip Mertens kembali memakan korban setelah Pratu Miftahul Arifin dinyatakan gugur pada pekan lalu saat melawan kelompok separatis teroris (KST) Operasi Papua Merdeka (OPM). Masih ditambah dengan Pratu Ibrahim, Pratu Kurniawan, dan Prada Sukra yang secara resmi diumumkan oleh Pusat Penerangan TNI pada Kamis (20/4).
Dengan gugurnya empat prajurit ini, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono dengan didampingi KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Maruli Simanjuntak bertolak ke Papua dan mengevaluasi secara resmi keseluruhan operasi TNI di wilayah-wilayah rentan di Papua. Kemudian diumumkanlah status siaga tempur.
Dari Pendekatan ”Humanis” ke Siaga Tempur
Publik terus mengkritisi penggunaan istilah pendekatan ”humanis” yang selama ini digunakan TNI/Polri dalam menegakkan hukum di wilayah yurisdiksi NKRI. Terutama banyak berjatuhannya korban dengan gugurnya pasukan elite sekelas Raider. Tentu Cilangkap (Mabes TNI) telah mempertimbangkan beberapa aspek yang menunjukkan bahwa eskalasi lanjutan akan berimbas pada tingkat kehati-hatian pasukan. Termasuk nasib warga sipil yang terdiri atas perempuan dan anak-anak sebagai tameng hidup KST.
Pemerintah terkunci dalam suatu kondisi dilematis ketika harus dihadapkan pada pilihan untuk mengambil pendekatan yang bebas pelanggaran HAM sebagaimana Jakarta selalu dikecam dunia internasional. Sedangkan ancaman nyata dari KST tidak terbendung sehingga perlu aksi konkret untuk melumpuhkan gerak-gerik KST.
Oleh karena itu, dengan melihat kondisi lapangan yang sedemikian rupa, TNI sekali lagi perlu mempertimbangkan untuk mengambil tindakan tegas terukur dengan tetap memperhatikan penggunaan unsur warga sipil. Salah satunya search and destroy yang pernah digunakan dalam Kedaruratan Malaya dan Perang Vietnam lebih dari seabad lalu.
Strategi Kontragerilya
Indonesia harus menyadari posisinya sebagai negara yang mengalami kemajuan pesat dalam kemiliteran, baik dari segi alutsista maupun keterampilan pasukan. Oleh karena itu, posisi asimetris antara TNI dan KST seyogianya dapat disikapi dengan menerapkan strategi kontragerilya berdasar search and destroy.
Melihat fakta bahwa KST menguasai kontur wilayah Papua yang masih terdiri atas hutan lebat, dalam hal ini penerapan countermeasures dapat menggunakan peranti seperti helikopter serang dan pasukan-pasukan infanteri pemburu terbaik yang dimiliki TNI seperti Komando Operasi Khusus (Koopsus).
Koopsus sendiri paling ideal diterjunkan mengingat komposisinya yang terdiri atas pasukan elite terpilih dari ketiga matra. Operasi ”siaga tempur” yang ideal semestinya dengan menempatkan Koopsus dengan bantuan intelijen untuk dioperasikan mengejar target berupa tokoh-tokoh utama, baik hidup maupun mati.
Hal itu wajar mengingat status dari OPM sendiri telah ditingkatkan dari kelompok kekerasan bersenjata (KKB) menjadi KST yang juga melibatkan aspek ”teror” di dalam penyebutannya. Operasi kontrateror pun juga masuk dalam kontragerilya maupun countermeasure secara umum.
Lebih lanjut, pendekatan search and destroy juga perlu melibatkan segenap komponen pasukan reguler untuk melakukan penyerbuan di setiap titik yang memang dicurigai sebagai sarang KST.
Penyerbuan dapat memastikan posisi pasti di tengah-tengah hutan yang harus diakui menjadi keunggulan tempat dari pasukan KST saat ini. Pemberangkatan pasukan reguler ini semestinya digunakan untuk memperkuat organik dari Kodam XVII/Cenderawasih dan XVIII/Kasuari. Serta meningkatkan operasi tidak hanya perkuatan teritorial, namun juga menjadi bagian besar dari penyergapan.
Waspadai Intervensi Asing dan Keterlibatan Otoritas Daerah
Intervensi asing menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian pemerintah pusat. Jakarta dapat secara lebih aktif mengirimkan pesan-pesan diplomatik kepada negara-negara tetangga agar tidak ikut campur dalam urusan domestik, termasuk Papua yang masuk wilayah yurisdiksi RI. Keaktifan Indonesia di Pacific Island Forum dan juga Melanesian Spearhead Group diperlukan.
Di samping secara internal pemerintah dapat memberikan pemahaman bahwa persoalan KST yang menahun juga perlu dikorelasikan dengan faktor-faktor yang berasal dari dalam. Misalnya kasus korupsi tokoh-tokoh politik Papua yang diindikasikan memiliki hubungan ”main mata” dengan KST.
Bukan Lagi soal HAM
Dengan melihat kompleksitas dampak akibat ulah KST, sudah semestinya pemerintah perlu pendekatan yang lebih holistis dalam menyelesaikan persoalan Papua. Upaya TNI untuk meningkatkan status ”siaga tempur” juga harus secara gayung bersambut oleh pemerintah untuk memberikan daya dukung terbaik dalam menempuh langkah yang jauh lebih tegas, termasuk dalam memberikan statemen dan kecaman terhadap KST.
Kondisi Papua saat ini urgen untuk dinyatakan langsung oleh Presiden Jokowi bahwa OPM memang merupakan KST agar berikutnya terdapat pernyataan untuk menindak tegas.
Evaluasi total dari strategi penyelesaian masalah Papua dibutuhkan. Alih-alih tidak hanya supaya kondisi Papua damai dengan ”cara Indonesia” belaka, namun juga menjawab tuduhan dunia internasional bahwa dalam beberapa aspek pelanggaran HAM jauh lebih berdampak dengan ulah KST sendiri.
Termasuk di dalamnya memulihkan kewibawaan otoritas pertahanan dan keamanan dalam hal ini TNI dan Polri yang akhir-akhir ini terus makin disoroti. Semoga perdamaian di tanah Papua segera terwujud. (*)
*)PROBO DARONO YAKTI, Dosen kajian pertahanan kontemporer Departemen HI FISIP Unair, pengamat isu-isu pertahanan stratagem Indonesia