29.1 C
Jakarta
Tuesday, November 5, 2024

Nama Logo

NAMA saya pun sebaiknya diganti: menjadi Dahlan Iskandarshah. Yang minta, Anda sudah tahu: Chandra Adiwana. Ia seorang ahli nama dan logo asal Aceh, kelahiran Medan (Disway kemarin:Bharat Timur).

Nama Dahlan Iskan ia nilai seperti Indonesia: kurang baik, kurang hoki, sakit-sakitan.

Saya akhirnya bisa bicara dengan Chandra. Kemarin. Ngobrol panjang. Di akhir obrolan saya pun bertanya: mengapa nama Dahlan Iskan kurang baik.

“Terputus,” katanya. “Namanya terpotong”.

Tahun 2005 ternyata Chandra telah menggambarkan jabatan saya tidak akan ditambah di tahun 2014. “Bulan sembilan energi menurun, bahkan teman sendiri bisa ambil aset Kanjeng,” kata Chandra. Meski baru sekali ini bertemu ia panggil saya begitu.

“Orang pada tidak percaya. Padahal kalau nama ditambah DACHLAN ISKANDARSHAH energi raja uang terus menerus hadir,” katanya. “Nama yang sekarang harus banyak berjuang. Kalau waktu itu JAWA POST dan Majalah LIBERTY tahu dan mempertemukan kita tentu sudah beda negeri ini,” katanya.

Waktu tidak bisa diputar balik.

“Kenapa orang Aceh lahir di Medan?” tanya saya.

“Bapak saya keturunan raja Sigli. Kawin dengan keturunan raja Langkat. Tinggal di Medan. Ayah jadi pedagang,” ujar Chandra.

Di Medan itu ia sekolah SD. Lalu, ayahnya mengirim Chandra ke SMP dan SMA Asy Syafi’iyah Jakarta. Itu pesantren milik tokoh besar NU KH Abdullah Syafi’i.

Chandra memang keturunan NU. Kakeknya adalah ketua Syuriah NU Deli Serdang.

Baca Juga :  Berenang ke Tepian

“Leluhur saya dari Banten. Keturunan Sunan Kalijogo dan Sunan Muria,” kata Chandra.

Sejak SD Chandra mengamalkan bacaan salawat nabi. Tiap hari. Siang dan malam. Sehari ia bersalawat puluhan ribu kali. “Saya dapat ilham untuk melakukan itu,” katanya.

Meski kuliahnya di Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) tapi yang ia pelajari lebih serius adalah soal nama dan logo. Akhirnya ia ahli nama dan logo, terkait dengan hoki.

Waktu masih SD ia mengatakan bahwa Ibrahim Hasan akan jadi gubernur Aceh dua periode. Lalu jadi menteri. Ternyata benar.

Sewaktu Jokowi jadi wali kota Solo, ia menemui beliau. Katanya: Bapak akan jadi Gubernur Jakarta lalu jadi presiden dua periode. “Benar kan?”.

Setelah ini beliau akan jadi apa?

“Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa,” tegasnya.

Waktu itu Chandra tidak minta apa-apa. Hanya saja kalau omongannya jadi kenyataan ia minta diundang ngopi di Istana.

Lalu minta agar ibu kota dipindah: ke satu lokasi antara Cirebon dan Brebes. Nama ibu kota baru itu pun ia usulkan: Indrasaka.

Menurut penglihatan batinnya, lokasi itu aman. Pun bila ada perang dunia. Bisa seperti Surabaya di tahun 1945: dihujani bom tapi bomnya masuk laut dan sungai.

“Anda kan juga mengusulkan nama ibu kota bisa juga Nusantara?”

“Iya. Tapi penulisannya harus Nuswantara. Bukan Nusantara,” jawabnya.

Kini Chandra berumur 61 tahun. Sehat. Keliling terus. Berat badannya ideal: 68 kg. Ia ziarah terus. Ke makam-makam wali. Makam raja. Ke tempat ziarah di Banjarmasin saja 51 kali.

Baca Juga :  Camat Gembira

Di zaman Presiden Soeharto sebenarnya Chandra ingin menghadap. Meski masih remaja ia berani diadu dengan kepandaian penasihat spiritual presiden saat itu: Sudjono Humardani. “Mungkin saya dianggap anak kecil. Ditolak,” katanya.

“Sudah berapa banyak nama yang diperbaiki berdasar saran Anda?”

“Tak terhitung. Terlalu banyak”.

“Berapa banyak logo perusahaan yang diperbaiki setelah konsultasi dengan Anda?”

“Sudah ribuan,” jawabnya.

Ia menyebut beberapa nama tapi tidak bisa dipublikasikan. Yang ia sebut adalah nama perusahaan yang sedang ia kerjakan: MS Glow. “Sekarang anak Jawa Timur kita baguskan,” katanya. “MS GLOW Insya Allah nanti bisa jadi perusahaan skin care 10 besar di dunia,” tambahnya.

Chandra bercerita: dua bulan sebelum peristiwa Kanjuruhan telah memberi tahu akan banyak orang mati di sana. “Logo Arema berantem internal dan namanya Malang. Waktu itu saya minta ganti Aresi. Arek Singosari. Nggak mau, karena menganggap saya bukan kiai,” katanya.

Ia tetap menyarankan agar nama Malang diganti. Tiap ceramah, mulai tahun 90-an, kita selalu ingatkan jangan sampai anak Malang orang tua Bangka dan nenek Seram. Itu nama yang tidak Pancasila,” katanya.

Maka di pertemuan perusuh Disway kelak saya akan bertanya: perlukah nama saya diganti.(Dahlan Iskan)

NAMA saya pun sebaiknya diganti: menjadi Dahlan Iskandarshah. Yang minta, Anda sudah tahu: Chandra Adiwana. Ia seorang ahli nama dan logo asal Aceh, kelahiran Medan (Disway kemarin:Bharat Timur).

Nama Dahlan Iskan ia nilai seperti Indonesia: kurang baik, kurang hoki, sakit-sakitan.

Saya akhirnya bisa bicara dengan Chandra. Kemarin. Ngobrol panjang. Di akhir obrolan saya pun bertanya: mengapa nama Dahlan Iskan kurang baik.

“Terputus,” katanya. “Namanya terpotong”.

Tahun 2005 ternyata Chandra telah menggambarkan jabatan saya tidak akan ditambah di tahun 2014. “Bulan sembilan energi menurun, bahkan teman sendiri bisa ambil aset Kanjeng,” kata Chandra. Meski baru sekali ini bertemu ia panggil saya begitu.

“Orang pada tidak percaya. Padahal kalau nama ditambah DACHLAN ISKANDARSHAH energi raja uang terus menerus hadir,” katanya. “Nama yang sekarang harus banyak berjuang. Kalau waktu itu JAWA POST dan Majalah LIBERTY tahu dan mempertemukan kita tentu sudah beda negeri ini,” katanya.

Waktu tidak bisa diputar balik.

“Kenapa orang Aceh lahir di Medan?” tanya saya.

“Bapak saya keturunan raja Sigli. Kawin dengan keturunan raja Langkat. Tinggal di Medan. Ayah jadi pedagang,” ujar Chandra.

Di Medan itu ia sekolah SD. Lalu, ayahnya mengirim Chandra ke SMP dan SMA Asy Syafi’iyah Jakarta. Itu pesantren milik tokoh besar NU KH Abdullah Syafi’i.

Chandra memang keturunan NU. Kakeknya adalah ketua Syuriah NU Deli Serdang.

Baca Juga :  Berenang ke Tepian

“Leluhur saya dari Banten. Keturunan Sunan Kalijogo dan Sunan Muria,” kata Chandra.

Sejak SD Chandra mengamalkan bacaan salawat nabi. Tiap hari. Siang dan malam. Sehari ia bersalawat puluhan ribu kali. “Saya dapat ilham untuk melakukan itu,” katanya.

Meski kuliahnya di Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) tapi yang ia pelajari lebih serius adalah soal nama dan logo. Akhirnya ia ahli nama dan logo, terkait dengan hoki.

Waktu masih SD ia mengatakan bahwa Ibrahim Hasan akan jadi gubernur Aceh dua periode. Lalu jadi menteri. Ternyata benar.

Sewaktu Jokowi jadi wali kota Solo, ia menemui beliau. Katanya: Bapak akan jadi Gubernur Jakarta lalu jadi presiden dua periode. “Benar kan?”.

Setelah ini beliau akan jadi apa?

“Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa,” tegasnya.

Waktu itu Chandra tidak minta apa-apa. Hanya saja kalau omongannya jadi kenyataan ia minta diundang ngopi di Istana.

Lalu minta agar ibu kota dipindah: ke satu lokasi antara Cirebon dan Brebes. Nama ibu kota baru itu pun ia usulkan: Indrasaka.

Menurut penglihatan batinnya, lokasi itu aman. Pun bila ada perang dunia. Bisa seperti Surabaya di tahun 1945: dihujani bom tapi bomnya masuk laut dan sungai.

“Anda kan juga mengusulkan nama ibu kota bisa juga Nusantara?”

“Iya. Tapi penulisannya harus Nuswantara. Bukan Nusantara,” jawabnya.

Kini Chandra berumur 61 tahun. Sehat. Keliling terus. Berat badannya ideal: 68 kg. Ia ziarah terus. Ke makam-makam wali. Makam raja. Ke tempat ziarah di Banjarmasin saja 51 kali.

Baca Juga :  Camat Gembira

Di zaman Presiden Soeharto sebenarnya Chandra ingin menghadap. Meski masih remaja ia berani diadu dengan kepandaian penasihat spiritual presiden saat itu: Sudjono Humardani. “Mungkin saya dianggap anak kecil. Ditolak,” katanya.

“Sudah berapa banyak nama yang diperbaiki berdasar saran Anda?”

“Tak terhitung. Terlalu banyak”.

“Berapa banyak logo perusahaan yang diperbaiki setelah konsultasi dengan Anda?”

“Sudah ribuan,” jawabnya.

Ia menyebut beberapa nama tapi tidak bisa dipublikasikan. Yang ia sebut adalah nama perusahaan yang sedang ia kerjakan: MS Glow. “Sekarang anak Jawa Timur kita baguskan,” katanya. “MS GLOW Insya Allah nanti bisa jadi perusahaan skin care 10 besar di dunia,” tambahnya.

Chandra bercerita: dua bulan sebelum peristiwa Kanjuruhan telah memberi tahu akan banyak orang mati di sana. “Logo Arema berantem internal dan namanya Malang. Waktu itu saya minta ganti Aresi. Arek Singosari. Nggak mau, karena menganggap saya bukan kiai,” katanya.

Ia tetap menyarankan agar nama Malang diganti. Tiap ceramah, mulai tahun 90-an, kita selalu ingatkan jangan sampai anak Malang orang tua Bangka dan nenek Seram. Itu nama yang tidak Pancasila,” katanya.

Maka di pertemuan perusuh Disway kelak saya akan bertanya: perlukah nama saya diganti.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru