34 C
Jakarta
Thursday, October 10, 2024

Dari Belgia ke Mana

PERNAH ada heboh kecil dua bulan lalu. Saya menahan diri untuk ikut nimbrung. Biarlah emosi turun dulu: BUMN akan membeli peternakan sapi di Belgia. Itu untuk mengatasi kekurangan daging di dalam negeri.

Rupanya memang ada pemikiran itu. Hanya saja, tentu, maksudnya tidak di Belgia. Kalau pun ada peternakan besar di sana apakah bisa dibeli. Lalu, apakah fisibel –terutama karena jaraknya.

Pemikiran membeli peternakan di luar negeri itu sendiri sangat baik. Terutama setelah berbagai upaya di dalam negeri tidak kunjung berhasil. Di pemerintahan siapa saja. Pun di pemerintahan kedua Pak Jokowi ini.

Selalu saja impor daging tidak pernah bisa ditekan. Dan selalu pula harga daging jadi isu politik. Tak ada bedanya dengan harga cabai, bawang, kedelai, jagung, dan apa saja.

Persoalan dasarnya adalah: 1) biaya memelihara sapi di dalam negeri sudah terlalu mahal. 2) Terutama akibat harga pakan yang mahal.

Upaya apa pun tidak akan berhasil kalau tidak bisa menjawab dua masalah dasar itu. Menteri pertanian sejago apa pun tidak akan sukses kalau tidak bisa mencari jalan keluar dua persoalan dasar itu. Seminar berapa ribu kali pun akan mentok di dua persoalan itu.

Untuk membuat harga daging di bawah Rp 100.000/Kg harga pedet (sapi remaja) harus Rp 4 juta. Maksimal.

Tapi dengan harga pedet seperti sekarang –sekitar Rp 6 juta– tidak mungkin harga daging bisa di bawah Rp 120.000/Kg. Pedet itu masih harus dibesarkan menjadi sapi. Perlu waktu dua tahun. Perlu membeli makanan selama dua tahun.

Baca Juga :  Creator Nasab

Dengan harga pakan semahal sekarang, Anda bisa hitung sendiri biaya makannya selama dua tahun.

Persoalan membesarkan pedet adalah persoalan harga pakan.

Tidak terlalu rumit.

Tapi, membuat pedet, adalah persoalan yang lebih rumit.

Dengan menstrukturkan masalah menjadi dua persoalan itu setidaknya memudahkan mencari jalan keluar.

Membeli peternakan di luar negeri haruslah dimaksudkan hanya untuk mengatasi persoalan kedua: agar bisa memproduksi pedet dengan biaya lebih murah.

Pedet hasil peternakan di luar negeri itu bisa kita impor besar-besaran. Toh dari peternakan kita sendiri.

Pedet impor itu kita besarkan di dalam negeri. Selama dua tahun. Kita potong di sini.

Di negara manakah yang bisa memproduksi pedet lebih murah? Sehingga di negara itulah kita membeli peternakan.

Salah satunya pasti: Australia.

Itu karena di sana sapi diternakkan secara liar. Dalam jutaan hektare lahan kosong. Tanah peternakan murah sekali di sana. Di wilayah kosong bagian utara Australia. Yang dekat dengan provinsi kita: NTT. Jaraknya hanya sepelemparan batu –kalau yang melempar Bimasena.

Tidak perlu makanan ternak yang mahal di sana. Cukup dari rerumputan alam. Pengiriman pedetnya pun murah. Tinggal menyeberangkan ke NTT –wilayah tradisional ternak sapi kita.

Dengan demikian, peternak kita pun tetap jadi peternak. Khusus untuk penggemukan.

Hanya itu cara membuat harga daging bisa terkendali. Dengan cara hemat devisa.

Sekarang ini banyak peternakan di Australia yang dijual. Tidak semua peternakan di sana milik orang Australia. Ada juga milik pengusaha asal Indonesia.

Baca Juga :  Impor Beras

Beberapa negara juga sudah membeli peternakan jutaan hektare di Australia Utara.

Saya pernah menjelajah wilayah utara Australia itu. Saat itu, dua tahun lalu, saya ke sana bersama seluruh anak cucu. Ketika mereka rekreasi, saya diantar ke wilayah peternakan itu.

Infrastruktur peternakannya memang sudah matang. Truk-truk angkutan ternaknya khusus: belum pernah saya lihat di Indonesia. Kandang penampung ternaknya lengkap: di dekat pelabuhan Darwin.

Kenapa model peternakan seperti itu tidak bisa kita usahakan di NTT? Misalnya di Sumba yang luas? Yang dulu dikenal sebagai pusat ternak sapi Indonesia?

Jangan pernah lagi berpikir begitu. Itu sudah masa lalu. Yang tiada akan kembali lagi. Kecuali lewat revolusi.

Kini tidak ada lagi peternak yang punya 1.000 sapi per orang di sana. Tidak pula 500 ekor. Pun 200. Bahkan 100.

Peternak di Sumba sudah ngeri untuk beternak. Kapok. Mereka merasa tidak berdaya: menghadapi pencuri. Yang pencuri ternak itu terorganisasi secara masif dan terstruktur. Sejak masa yang lama dulu.

Bukit-bukit yang dulu berselimut sapi kini tinggal sepi. Remaja yang dulu asyik berkuda kini berhonda.

Rupanya pencuri sapi di sana lebih perkasa dari negara –di era siapa pun. Sampai pencuri itu kelak mati sendiri –tidak ada lagi yang dicuri.

Atau ya sudah. Kita impor terus saja daging –dari Belgia atau dari India atau dari mana saja. Sampai ilmuwan IPB mampu membuat peternakan sapi di laboratorium. (Dahlan Iskan)

PERNAH ada heboh kecil dua bulan lalu. Saya menahan diri untuk ikut nimbrung. Biarlah emosi turun dulu: BUMN akan membeli peternakan sapi di Belgia. Itu untuk mengatasi kekurangan daging di dalam negeri.

Rupanya memang ada pemikiran itu. Hanya saja, tentu, maksudnya tidak di Belgia. Kalau pun ada peternakan besar di sana apakah bisa dibeli. Lalu, apakah fisibel –terutama karena jaraknya.

Pemikiran membeli peternakan di luar negeri itu sendiri sangat baik. Terutama setelah berbagai upaya di dalam negeri tidak kunjung berhasil. Di pemerintahan siapa saja. Pun di pemerintahan kedua Pak Jokowi ini.

Selalu saja impor daging tidak pernah bisa ditekan. Dan selalu pula harga daging jadi isu politik. Tak ada bedanya dengan harga cabai, bawang, kedelai, jagung, dan apa saja.

Persoalan dasarnya adalah: 1) biaya memelihara sapi di dalam negeri sudah terlalu mahal. 2) Terutama akibat harga pakan yang mahal.

Upaya apa pun tidak akan berhasil kalau tidak bisa menjawab dua masalah dasar itu. Menteri pertanian sejago apa pun tidak akan sukses kalau tidak bisa mencari jalan keluar dua persoalan dasar itu. Seminar berapa ribu kali pun akan mentok di dua persoalan itu.

Untuk membuat harga daging di bawah Rp 100.000/Kg harga pedet (sapi remaja) harus Rp 4 juta. Maksimal.

Tapi dengan harga pedet seperti sekarang –sekitar Rp 6 juta– tidak mungkin harga daging bisa di bawah Rp 120.000/Kg. Pedet itu masih harus dibesarkan menjadi sapi. Perlu waktu dua tahun. Perlu membeli makanan selama dua tahun.

Baca Juga :  Creator Nasab

Dengan harga pakan semahal sekarang, Anda bisa hitung sendiri biaya makannya selama dua tahun.

Persoalan membesarkan pedet adalah persoalan harga pakan.

Tidak terlalu rumit.

Tapi, membuat pedet, adalah persoalan yang lebih rumit.

Dengan menstrukturkan masalah menjadi dua persoalan itu setidaknya memudahkan mencari jalan keluar.

Membeli peternakan di luar negeri haruslah dimaksudkan hanya untuk mengatasi persoalan kedua: agar bisa memproduksi pedet dengan biaya lebih murah.

Pedet hasil peternakan di luar negeri itu bisa kita impor besar-besaran. Toh dari peternakan kita sendiri.

Pedet impor itu kita besarkan di dalam negeri. Selama dua tahun. Kita potong di sini.

Di negara manakah yang bisa memproduksi pedet lebih murah? Sehingga di negara itulah kita membeli peternakan.

Salah satunya pasti: Australia.

Itu karena di sana sapi diternakkan secara liar. Dalam jutaan hektare lahan kosong. Tanah peternakan murah sekali di sana. Di wilayah kosong bagian utara Australia. Yang dekat dengan provinsi kita: NTT. Jaraknya hanya sepelemparan batu –kalau yang melempar Bimasena.

Tidak perlu makanan ternak yang mahal di sana. Cukup dari rerumputan alam. Pengiriman pedetnya pun murah. Tinggal menyeberangkan ke NTT –wilayah tradisional ternak sapi kita.

Dengan demikian, peternak kita pun tetap jadi peternak. Khusus untuk penggemukan.

Hanya itu cara membuat harga daging bisa terkendali. Dengan cara hemat devisa.

Sekarang ini banyak peternakan di Australia yang dijual. Tidak semua peternakan di sana milik orang Australia. Ada juga milik pengusaha asal Indonesia.

Baca Juga :  Impor Beras

Beberapa negara juga sudah membeli peternakan jutaan hektare di Australia Utara.

Saya pernah menjelajah wilayah utara Australia itu. Saat itu, dua tahun lalu, saya ke sana bersama seluruh anak cucu. Ketika mereka rekreasi, saya diantar ke wilayah peternakan itu.

Infrastruktur peternakannya memang sudah matang. Truk-truk angkutan ternaknya khusus: belum pernah saya lihat di Indonesia. Kandang penampung ternaknya lengkap: di dekat pelabuhan Darwin.

Kenapa model peternakan seperti itu tidak bisa kita usahakan di NTT? Misalnya di Sumba yang luas? Yang dulu dikenal sebagai pusat ternak sapi Indonesia?

Jangan pernah lagi berpikir begitu. Itu sudah masa lalu. Yang tiada akan kembali lagi. Kecuali lewat revolusi.

Kini tidak ada lagi peternak yang punya 1.000 sapi per orang di sana. Tidak pula 500 ekor. Pun 200. Bahkan 100.

Peternak di Sumba sudah ngeri untuk beternak. Kapok. Mereka merasa tidak berdaya: menghadapi pencuri. Yang pencuri ternak itu terorganisasi secara masif dan terstruktur. Sejak masa yang lama dulu.

Bukit-bukit yang dulu berselimut sapi kini tinggal sepi. Remaja yang dulu asyik berkuda kini berhonda.

Rupanya pencuri sapi di sana lebih perkasa dari negara –di era siapa pun. Sampai pencuri itu kelak mati sendiri –tidak ada lagi yang dicuri.

Atau ya sudah. Kita impor terus saja daging –dari Belgia atau dari India atau dari mana saja. Sampai ilmuwan IPB mampu membuat peternakan sapi di laboratorium. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru