Sebaiknya dibubarkan saja. Atau biar mati sendiri. Relevansinya sudah nyaris tidak ada. Zaman sudah berubah.
Itulah Lembaga Indonesia Cina (LIC) –waktu itu masih ditulis bukan Lembaga Indonesia Tiongkok. Anda sendiri mungkin tidak pernah mendengar ada LIC. Lembaga itu memang sudah lama tidak eksis.
Namun masih banyak yang ingin menghidupkannya lagi. Apalagi di saat hubungan Indonesia Tiongkok demikian mesranya.
Jangankan LIC. Nama KIKC pun sudah begitu redupnya –Kadin Indonesia Komite Cina. Yakni organisasi di dalam organisasi Kamar Dagang Dan Industri Indonesia (Kadin).
LIC memang pernah punya peran yang amat penting. Yakni di awal pencairan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok. Tahun 1985-an.
Anda sudah tahu: hubungan Indonesia-Tiongkok beku selama 20 tahun. Sejak meletusnya Gerakan 30 September 1965 –G30S/PKI. Tiongkok dianggap ‘terlibat’ dalam gerakan itu –perlu kajian ilmiah apakah itu betul.
Ada dua versi siapa yang lebih dulu memutus hubungan itu. Versi Indonesia, Indonesialah yang lebih dulu memutuskan. Versi Tiongkok, Tiongkoklah yang memutus: Indonesia dianggap tidak bisa melindungi kedutaan besarnya di Jakarta.
Tahun-tahun itu Tiongkok sendiri dalam masa yang amat gelap. Terjadi Revolusi Kebudayaan di sana. Energinya terkuras untuk revolusi. Ekonominya praktis hancur. Kemiskinan mencapai titik terdalam. Kelaparan melanda seluruh negeri. Revolusi yang justru membuat hancur ekonomi.
Indonesia juga sedang di jurang kesulitan. Kelaparan di mana-mana. Cadangan devisanya nol. Inflasinya 600 persen.
Tahun 1967 Indonesia mulai membangun. Dimulai dari pangan. Tahun 1970 hasilnya mulai kelihatan.
Di Tiongkok, di tahun 1970, justru kian miskin. Tiongkok baru mulai membangun tahun 1975 –setelah Mao Zedong meninggal dan Deng Xiaoping tampil ke puncak kekuasaan.
Selama hubungan Indonesia-Tiongkok beku, peran penting dipegang oleh Hongkong.
Dalam praktiknya orang-orang Tionghoa Indonesia tetap bisa ke Tiongkok. Lewat Hongkong. Pakai jalur “tikus”. Paspor orang Indonesia tidak distempel saat melewati imigrasi di perbatasan Hongkong-Tiongkok –yang sekarang dikenal sebagai Shenzhen. Waktu itu Shenzhen masih berupa kampung nelayan miskin.
Selama masa beku itu hubungan dagang ternyata juga jalan. Secara tidak langsung. Lewat Hongkong. Volumenya naik terus. Maka terpikirkanlah untuk mencairkan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok.
Kelihatannya pencairan itu lebih banyak berdasarkan pemikiran intelijen. Toh stabilitas politik dalam negeri sudah teruji. Pembangunan ekonomi sudah berhasil menjadi fokus utama.
Di Tiongkok juga sudah berubah: ekonomi juga sudah menjadi panglima.
Tidak ada catatan sejarah: siapa yang punya ide awal pencairan diplomatik itu. Bisa jadi Presiden Soeharto sendiri. Pelaku sejarahnya kian habis. Satu persatu meninggal dunia. Sulit untuk mencari siapa yang masih bisa ditanya.
Di antara saksi itu masih ada satu orang Tionghoa bernama Jacob Hendrawan. Ia dekat dengan tokoh besar Tionghoa, Liem Sioe Liong. Ia menduga ide pencairan itu dari Presiden Soeharto sendiri.
Suatu saat, kata Jacob, Liem Sioe Liong dipanggil Pak Harto. Liem memang dikenal dekat dengan Pak Harto. Sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Kedekatan itu juga ditampilkan di Museum Liem Sioe Liong di Fuqing, Fujian. Museum baru –dibangun tiga tahun lalu.
Saat dipanggil itu Liem mendapat tugas untuk menjajagi pemulihan hubungan Indonesia-Tiongkok. Jacob termasuk orang pertama yang diberitahu oleh Liem.
“Saya tidak berani melangkah. Saya takut dicurigai tentara dan golongan agama,” ujar Liem pada Jacob.
Setelah beberapa kali “ditagih” Pak Harto, akhirnya Liem mencari jalan memutar: menghadap Jenderal Benny Moerdani. Tapi Benny juga tidak berani memberi lampu hijau. Akhirnya Liem disarankan menghadap Jenderal Yoga Sugama, kepala Badan Intelijen Negara.
Setelah dicek bahwa perintah Pak Harto itu benar adanya, Jenderal Yoga menugaskan Sekjen Kementerian Pertanian Mashud Wisnusaputra. Orang intel. Zaman itu banyak sekjen kementerian dijabat oleh jaringan intelijen.
Mashud-lah yang diminta masuk Beijing, lewat Hong Kong. Secara tidak resmi. Tiongkok menyambut baik niat pemulihan hubungan itu. Tapi harus dicari jalan agar jangan langsung dari pemerintah ke pemerintah.
Beijing akhirnya menunjuk CCPIT sebagai “wakil” Tiongkok. CCPIT adalah organisasi dagang. Mirip Kadin di Indonesia.
Melihat bahwa yang mewakili Tiongkok adalah organisasi usaha, Indonesia pun menunjuk Kadin sebagai “wakil” negara Indonesia.
Pembicaraan-pembicaraan selanjutnya dilangsungkan di Singapura. Liem Sioe Liong punya jaringan kuat di Singapura. Liem pun minta Tong Djoe, orang Singapura kelahiran Palembang, membantu tim perumus MoU pemulihan itu.
Langkah selanjutnya dibentuklah LIC. Jacob diminta jadi Sekjennya. “Saya takut menjabat sekjen. Saya jadi wakil sekjen saja,” ujar Jacob yang pernah mendapat gelar bangsawan Jawa Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) itu.
Tahun 1985 MoU ditandatangani di Singapura. Sejak itu mulailah saling tukar kunjungan delegasi. Dimulai dengan delegasi kebudayaan dan kesenian. Dari Tiongkok mengirim delegasi akrobat besar dari Wuhan. Saya ditunjuk jadi penyelenggaranya di Surabaya.
LIC pun sangat sibuk. Hubungan kebudayaan itu ternyata lancar. Tidak ada gangguan stabilitas apa pun. Puncaknya Anda sudah tahu: saat melayat pemakaman Kaisar Jepang Hirohito, Pak Harto ke Tokyo. Menlu Indonesia dan Menlu Tiongkok juga ke Tokyo.
Di Tokyo-lah perjanjian pemulihan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok ditandatangani dua menlu. Sehari setelah pemakaman Hirohito. Pak Harto menyaksikannya. Sebagai wartawan rombongan Presiden Soeharto, saya memotretnya. Dengan kamera dan dengan ingatan.(Dahlan Iskan)