“Naikkan saja BBM sekarang. Pasti tidak akan heboh”.
Itulah salah satu usulan komentator di Disway pekan lalu. Maksudnya, mungkin, bercanda. Untuk menunjukkan betapa dahsyat kehebohan peristiwa Duren Tiga. Pun kenaikan harga BBM akan tetap kalah heboh.
Eh, beneran. Harga BBM naik lagi kemarin. Di hari ke-44 peristiwa Duren Tiga. Dan benar. Kenaikan BBM itu tetap kalah heboh dibanding tumbangnya Kaisar Sambo.
Tulisan ini pun tidak membahas kenaikan BBM itu. Tiga hari Disway absen menampilkan sang kaisar. Tapi perkembangan peristiwa itu terus saja hadir bergulung-gulung.
Farel sudah tenggelam lagi.
Korupsi Rp 76 triliun juga hanya seperti buih.
Gugatan para seniman pada kebijakan Gubernur DKI Jakarta datar-datar saja. Yakni soal pengelolaan Taman Ismail Marzuki yang diserahkan ke PT Jakpro.
Yang viral tetap saja di seputar Inspektur Jenderal Polisi Sambo.
Pertama, soal nasib anak-anak Sambo –kalau ibu mereka jadi tersangka.
Kedua, soal skema tandingan 303.
Saya baru tahu dari video viral itu: ada drama di balik penetapan Ny Sambo sebagai tersangka. Yakni bagaimana dengan nasib anak-anak mereka. Yang empat orang itu. Terutama yang masih kecil.
Ternyata ada pertimbangan itu yang membuat jalan cerita drama ini berjalan lambat.
Pengacara Brigadir Yosua Kamaruddin Simanjuntak sampai mengatakan: “Saya sanggup mengadopsi anak itu. Saya juga berjanji untuk menyekolahkannya. Sampai tingkat yang tertinggi. Sampai doktoral,” ujarnya.
Kamaruddin tidak mau penegakan hukum tersandera oleh urusan seperti itu. Anak-anak itu memang tidak bersalah. Tapi tidak boleh menghalangi penegakan hukum. Dan Ny Sambo pun ditetapkan sebagai tersangka.
Tentu Sambo punya keluarga besar. Yang juga tidak akan diam melihat anak-anak Sambo yang tanpa bapak dan ibu mereka.
Kamaruddin masih memberi gambaran lain yang kita tidak bisa melihatnya: tingginya ketakutan orang di dalam struktur kepolisian.
“Yang tidak takut ini kan hanya Pak Kamaruddin,” ujar Kamaruddin mengutip ucapan petugas-petugas di Mabes Polri kepada dirinya.
Digambarkan, pejabat-pejabat di sana dalam suasana ketakutan. Pangkat apa pun. Mulai dari melati sampai bintang satu, dua, dan tiga. Yang dihadapi ini, katanya, mafia. Bukan sembarang mafia pula.
Mungkin yang dimaksud Kamaruddin bukan hanya takut dalam pengertian ancaman. Namun juga ditambah takut pada kekhawatiran. Bom memang bisa meledak kapan saja. Yakni bom persoalan. Yang wujudnya saling sandera perkara mafia.
Salah satu bom itu meledak pekan lalu.
Isinya Anda sudah tahu: skema Kaisar 303. Irjen Pol Sambo diposisikan sebagai kaisar di puncak sindikat segala macam proyek ilegal. Jaringannya digambarkan sangat rinci. Termasuk nomor telepon pribadi jejaring itu. Baik yang di Mabes Polri, di Mapolda, sampai ke cukong-cukong swastanya.
Saat menerima kiriman skema itu pikiran saya berputar ke zaman jadi wartawan. Skema seperti itu biasa dipaparkan oleh kepolisian untuk menjelaskan kasus-kasus besar nan rumit. Dengan skema seperti itu kasus rumit bisa terlihat jelas dan sederhana.
Maka pikiran saya langsung menyimpulkan: ini dibuat oleh orang dalam. Si pembuat rupanya tahu benar kejadiannya. Mungkin saja si pembuat ingin menyajikan skema seperti itu ke atasan mereka. Tapi serbasalah. Serba ewuh-pakewuh. Banyak nama besar di dalamnya.
Saya menunggu sampai tiga hari. Apakah ada klarifikasi soal skema yang beredar amat luas itu. Hoaks atau bukan.
Klarifikasi itu tidak ada. Masyarakat dibuat begitu mengambang dengan opini dan kesimpulan masing-masing. Seraya menyebarkannya menjadi luas lagi. Lalu berkembang menjadi seperti kebenaran.
Saya hanya mem-forward skema itu satu kali. Yakni kepada tokoh yang saya anggap lebih tahu.
“Apakah isi skema ini benar?” tanya saya.
“Benar,” jawabnya.
“100 persen benar?” tanya saya lagi.
“Intelijen,” jawabnya. Entah apa maksudnya.
Dan klarifikasi tetap tidak pernah datang.
Yang muncul justru skema susulan. Kemarin. Tidak membantah skema kaisar Sambo. Juga tidak membenarkan.
Isinya justru skema yang baru sama sekali. Lebih banyak lagi pejabat tinggi di Mabes yang dicantumkan di skema itu. Termasuk yang sekarang sedang memegang jabatan-jabatan kunci.
Apakah skema baru ini sebagai bentuk perlawanan dari kelompok yang masuk di skema Kaisar Sambo? Apakah ini bentuk peperangan internal oleh para penganut filsafat tiji tibeh?
Yang jelas sampai hari ke-44 Irjen Pol Ferdy Sambo masih berhak atas pangkat jenderal itu. Belum ada pemecatan atau pun sekadar penonaktifan dari keanggotaan Polri.
Padahal pengenaan pasal kode etik di awal penangkapannya dimaksudkan agar tindakan disiplin internal itu bisa lebih cepat.
Ini sekaligus menandakan betapa pergolakan di dalam sana berlangsung sangat seru. Dan Menko Polhukam seperti masih menjaga jarak –mungkin masih menunggu agar buah itu cukup matang untuk dimakan. (Dahlan Iskan)