INILAH salah satu contoh penerapan prinsip ”jangan besar dari jabatan, besarkanlah jabatan”. Contohnya sangat sederhana. Tapi langsung menusuk ke sanubari saya.
Pagi itu saya kumpul wartawan: ramai-ramai diberi kesempatan merasakan menembak dengan senapan laras panjang: SS1-V4. Lokasi: di lapangan tembak Batalyon Infanteri 500 Raiders/Sikatan, Surabaya. Dekat Markas Kodam V/Brawijaya.
Posisi menembaknya sambil tiarap di lantai lapangan. Di atas rumput yang dilapisi matras. Seperti militer yang lagi merayap sambil menembak. Tiap kloter berjajar 10 wartawan. Sambil tiarap diajari cara menembak: 10 wartawan 10 pelatih.
Sasaran tembaknya di depan sana: 75 meter. Ada titik hitam di tengah lingkaran besar. Kami harus membidik titik hitam itu. Dari lubang intai di senjata itu bisa dilihat si titik hitam. Posisi titik harus di ujung gambar tiang tengah dari tiga tiang yang terlihat di ujung senapan.
Setelah titik hitam berada di posisi tembak, barulah pelatuk ditarik. Harus dengan sangat pelan. Kalau ditarik cepat bisa mengubah posisi titik tembak.
Dor!
Meleset
Jangankan titik hitam, mengenai lingkaran besar pun tidak.
Menurut evaluasi pelatih, saya masih terlalu cepat menarik pelatuk. Kesusu. Itu menandakan emosi saya belum tenang. Maka diulangi lagi: dor!
Meleset lagi.
Tiga kali tembakan pertama meleset semua.
Masih ada tujuh peluru lagi. Kali ini harus ada yang kena. Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Hasilnya sama: meleset semua. Menulis cerita ternyata lebih mudah daripada menembak. Menemukan lead yang baik lebih cepat dari menemukan sasaran titik hitam.
Betul. Menembak beneran tidak seperti dalam adegan film. Yang sambil meloncat pun bisa kena sasaran. Bahkan sambil salto. Ternyata ada ajaran khusus untuk bisa menembak dengan baik.
Nama ajaran itu: Nabi Tepi. Itu singkatan dari Napas, Bidik, Tekan, Picu. Napas harus tenang, bidikan harus tepat, tekanan picu harus halus.
Saya tadi bukan menekan picu, tapi menarik picu. Salah. Bukan ditarik, tapi ditekan. “Saking halusnya tekanan picu sampai seolah senjata meledak sendiri,” ujar Pangdam V/Brawijaya yang baru, Mayjen TNI Farid Makruf MA.
Saya memang belum pernah merasakan menembak. Pun pakai pistol. Kalau memegang senapan panjang sering. Di Amerika. John Mohn, punya senjata panjang di lemarinya. Juga punya pistol yang disimpan di laci sebelah tempat tidurnya.
Setiap kali ke rumah John di Kansas, saya ditawari untuk berlatih menembak. Di halaman belakang. Ayah angkat anak saya itu mengajari saya cara memegang senjata, membidik, dan mengisi peluru. Tapi saya tidak pernah mau mencoba meletuskannya.
Telinga saya pernah seperti mau pecah. Di Tambling, Lampung. Hari itu saya berdiri di jeep pemburu di Tambling. Di sebelah saya berdiri Tomy Winata. Ia lagi memegang senjata laras panjang. Di saat saya lagi melengos melihat harimau di hutan itu tiba-tiba dor! TW menembak babi hutan. Suara dor itu seperti meledak di telinga saya.
Saya pura-pura tidak tersiksa. Tapi pedalaman telinga saya sakit sekali. Tidak menyangka suara ledakan senjata sedahsyat itu.
Nabi Tepi. Farid yang memberi tahu ajaran itu. Ia memang menunggui para wartawan itu menembak. Inilah untuk kali pertama Farid bertemu wartawan PWI Jatim, IJTI, dan AMSI.
Cara bertemu wartawan di lapangan tembak seperti itu adalah bagian dari gaya kepemimpinannya. Agar wartawan bisa menulis kegiatan. Bukan hanya menulis pidato.
Farid memang pernah jadi kepala penerangan, waktu di Kopassus. Ia tahu apa yang diinginkan wartawan. Ia tahu wartawan harus punya bahan untuk ditulis.
Itu belum contoh yang saya maksud dengan ”besarkan jabatan”.
Contoh ”besarkan jabatan dan bukan besar dari jabatan” adalah ini: instruksinya kepada kepala Penerangan Kodam V/Brawijaya. Itu disampaikan dalam forum cangkruan pertamanya dengan wartawan di lapangan tembak itu.
“Isi website Kodam Brawijaya jangan melulu wajah Pangdamnya. Seminggu pertama ok. Biar kenal dulu. Setelah itu harus lebih banyak menampilkan wajah Babinsa. Atau Danramil. Dandim,” ujarnya.
Babinsa adalah bintara pembina desa. Di satu desa ditempatkan satu bintara. Jabatan Babinsa memang sempat tidak populer. Di zaman Orde Baru, Babinsa jadi alat untuk memenangkan Golkar.
Setelah reformasi, urgensi Babinsa dipersoalkan. Dianggap bisa mengganggu demokrasi. Pun Koramil dan Kodim. Banyak yang minta agar dilikuidasi.
Suara seperti itu tidak terdengar lagi 10 tahun terakhir. Bahkan nama TNI kian harum: sebagai lembaga yang bisa dipercaya dalam membela masyarakat.
“Saya yakin banyak Babinsa atau Danramil yang berprestasi. Prestasi itu harus ditampilkan di publikasi Kodam,” ujar Farid. “Apalagi sekarang ini lagi digalakkan program baru: Babinsa masuk dapur,” katanya.
Babinsa masuk dapur adalah simbolis: agar Babinsa memonitor kondisi bahan makanan rakyat miskin. Yang sampai banyak terjadi kasus kekurangan gizi pada anak.
Tentu kebijakan lebih menonjolkan pejuang di lapangan seperti itu seperti berlawanan dengan kecenderungan belakangan ini: pamer wajah kepala daerah di segala sudut. Lewat spanduk, poster, baliho, backdrop, bahkan sampai pun ke kop surat.
Mereka seperti tidak bisa besar kalau tidak dari jabatan.(Dahlan Iskan)