25.1 C
Jakarta
Friday, November 21, 2025

Satu Triliun

Pun universitas Islam. Sudah ada yang omzetnya mencapai Rp 1 triliun: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Waktu masih berstatus institut dulu (Institut Agama Islam Negeri) ia dikenal dengan singkatan ”IAIN Syahid”. Setelah jadi universitas singkatannya jadi ”Syahida”.

aka di bawah universitas di Ciputat ini ada Rumah Sakit Syahida. Tiga buah. Semuanya berlaba. Termasuk RS Syahida di kompleks asrama haji Pondok Gede. RS besar ini dibangun UIN dari dana bantuan Arab Saudi. Yakni usai tragedi Mina tahun 1990 yang menewaskan jemaah haji Indonesia sebanyak 1.426 orang.

Pun hotel di dalam kampusnya, disebut Syahida Inn. Juga berlaba. Dan akan diperbesar.

Pukul 07.30 saya sudah tiba di  kampus itu. Sebelum ke Jeddah dulu. Lebih pagi dari jadwal –antisipasi kalau macet. Maka saya punya waktu untuk keliling Kampus II, hampir satu kilometer dari Kampus I.

Di kampus II inilah fakultas kedokterannya berada. Kini sudah punya dua program spesialis. Syahida-lah di lingkungan UIN yang pertama membuka fakultas kedokteran dan sains. Kini banyak Universitas Islam Negeri mengikuti jejak itu.

Mahasiswa UIN Syahida berjumlah 34.000 orang. Pun masih berpikir bagaimana bisa lebih banyak lagi. Misalnya dengan ide mendirikan program vokasi. Pokoknya universitas negeri –termasuk yang Islam–  kini seperti vacum cleaner –menyedot sebanyak-banyak mahasiswa baru.

Electronic money exchangers listing
Baca Juga :  Brandon Assamariyyun

Dari kunjungan ini saya baru tahu: UIN pun ingin menjadi PTNBH –Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Ikut jejak UI, ITB, UGM, Unair, sampai Universitas Terbuka.

Di situ kami pun berdiskusi soal masa depan Syahida. Rektornya, Prof Dr Asep Saipudin Jahar, hadir. Berserta seluruh wakil rektor. Juga para dekan dan ketua jurusan. Pokoknya: bagaimana caranya UIN Syahida ke depan kian terpandang.

“Seberapa besar keinginan menjadi PTNBH itu?”

“Besar sekali,” jawab Prof Asep.

“Skala satu sampai 10?”

“Sepuluh,” jawabnya.

Prof Asep (asli Pandeglang, Banten), alumnus pondok modern Gontor Ponorogo. Lalu masuk IAIN Syahid: jurusan perbandingan mazhab. S-2-nya di McGill, Kanada. Sedang doktor bahasa Arab dan filologinya di Leipzig, Jerman.

Prof Asep mungkin bukan pemikir keagamaan tingkat tinggi seperti beberapa rektor Syahida sebelumnya –Prof Harun Nasution, Prof Azyumardi Azra, Prof Komarudin Hidayat. Tapi ia bertekad bisa membawa UIN Syahida ke jenjang PTNBH.

Menurut Prof Asep ada tiga UIN yang bisa berangkat bersama-sama ke PTNBH –bersama UIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Tantangannya hanya satu: bisa dianggap terlalu komersial. Maka UIN Syahida lagi merumuskan bagaimana membuat aspek ibadah dan bisnis bisa seimbang.

Baca Juga :  Penduduk Turun

Tapi itu dialami tidak hanya oleh UIN. Semua lembaga pendidikan Islam menghadapi tantangan serupa. Pun di lembaga pendidikan Kristen. Tapi realitas di masyarakat memang sudah berubah. Sekolah yang mahal justru dikejar –dengan alasan mutu. Mereka punya cukup biaya untuk meningkatkan kualitas fisik, mutu pendidikannya sampai ke mampu mengadakan guru terbaik.

“Banyak sekolah Islam yang karena diniatkan ibadah tidak berani menarik biaya tinggi. Akibatnya niat ibadah itu jatuh ke dosa: gurunya menderita,” kata orang yang Anda bisa menduga siapa yang mengucapkan itu.

Menyeimbangkan ibadah dan bisnis memang tetap harus diupayakan. Kalau perlu dengan  menetapkan persentase tertentu dari hasil ”bisnisnya” untuk beasiswa: khusus bagi pendidikan keluarga miskin. Kuliah gratis.

Realitasnya pergeseran sudah  terjadi antara jurusan ”dunia” dan prodi ”jurusan akhirat”. Mahasiswa UIN jurusan duniawi kian menggeser jumlah mahasiswa jurusan ukhrowi. Yang terakhir itu kian didominasi mahasiswa dari kalangan kurang mampu dari daerah-daerah. Sedang mahasiswa dari perkotaan kian memilih prodi non agama.

Saya harus mengakhiri diskusi intens pagi itu. Ada jadwal berikutnya: bertemu Menteri Pertahanan Jenderal Sjafrie Syamsuddin. Dari Ciputat ke Merdeka Barat tidaklah bisa diprediksi seperti hitungan prodi matematika. Rencana makan pagi pun batal. Untung saya masih menyimpan singkong rebus beberapa potong.(Dahlan Iskan)

Pun universitas Islam. Sudah ada yang omzetnya mencapai Rp 1 triliun: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Waktu masih berstatus institut dulu (Institut Agama Islam Negeri) ia dikenal dengan singkatan ”IAIN Syahid”. Setelah jadi universitas singkatannya jadi ”Syahida”.

aka di bawah universitas di Ciputat ini ada Rumah Sakit Syahida. Tiga buah. Semuanya berlaba. Termasuk RS Syahida di kompleks asrama haji Pondok Gede. RS besar ini dibangun UIN dari dana bantuan Arab Saudi. Yakni usai tragedi Mina tahun 1990 yang menewaskan jemaah haji Indonesia sebanyak 1.426 orang.

Electronic money exchangers listing

Pun hotel di dalam kampusnya, disebut Syahida Inn. Juga berlaba. Dan akan diperbesar.

Pukul 07.30 saya sudah tiba di  kampus itu. Sebelum ke Jeddah dulu. Lebih pagi dari jadwal –antisipasi kalau macet. Maka saya punya waktu untuk keliling Kampus II, hampir satu kilometer dari Kampus I.

Di kampus II inilah fakultas kedokterannya berada. Kini sudah punya dua program spesialis. Syahida-lah di lingkungan UIN yang pertama membuka fakultas kedokteran dan sains. Kini banyak Universitas Islam Negeri mengikuti jejak itu.

Mahasiswa UIN Syahida berjumlah 34.000 orang. Pun masih berpikir bagaimana bisa lebih banyak lagi. Misalnya dengan ide mendirikan program vokasi. Pokoknya universitas negeri –termasuk yang Islam–  kini seperti vacum cleaner –menyedot sebanyak-banyak mahasiswa baru.

Baca Juga :  Brandon Assamariyyun

Dari kunjungan ini saya baru tahu: UIN pun ingin menjadi PTNBH –Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Ikut jejak UI, ITB, UGM, Unair, sampai Universitas Terbuka.

Di situ kami pun berdiskusi soal masa depan Syahida. Rektornya, Prof Dr Asep Saipudin Jahar, hadir. Berserta seluruh wakil rektor. Juga para dekan dan ketua jurusan. Pokoknya: bagaimana caranya UIN Syahida ke depan kian terpandang.

“Seberapa besar keinginan menjadi PTNBH itu?”

“Besar sekali,” jawab Prof Asep.

“Skala satu sampai 10?”

“Sepuluh,” jawabnya.

Prof Asep (asli Pandeglang, Banten), alumnus pondok modern Gontor Ponorogo. Lalu masuk IAIN Syahid: jurusan perbandingan mazhab. S-2-nya di McGill, Kanada. Sedang doktor bahasa Arab dan filologinya di Leipzig, Jerman.

Prof Asep mungkin bukan pemikir keagamaan tingkat tinggi seperti beberapa rektor Syahida sebelumnya –Prof Harun Nasution, Prof Azyumardi Azra, Prof Komarudin Hidayat. Tapi ia bertekad bisa membawa UIN Syahida ke jenjang PTNBH.

Menurut Prof Asep ada tiga UIN yang bisa berangkat bersama-sama ke PTNBH –bersama UIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Tantangannya hanya satu: bisa dianggap terlalu komersial. Maka UIN Syahida lagi merumuskan bagaimana membuat aspek ibadah dan bisnis bisa seimbang.

Baca Juga :  Penduduk Turun

Tapi itu dialami tidak hanya oleh UIN. Semua lembaga pendidikan Islam menghadapi tantangan serupa. Pun di lembaga pendidikan Kristen. Tapi realitas di masyarakat memang sudah berubah. Sekolah yang mahal justru dikejar –dengan alasan mutu. Mereka punya cukup biaya untuk meningkatkan kualitas fisik, mutu pendidikannya sampai ke mampu mengadakan guru terbaik.

“Banyak sekolah Islam yang karena diniatkan ibadah tidak berani menarik biaya tinggi. Akibatnya niat ibadah itu jatuh ke dosa: gurunya menderita,” kata orang yang Anda bisa menduga siapa yang mengucapkan itu.

Menyeimbangkan ibadah dan bisnis memang tetap harus diupayakan. Kalau perlu dengan  menetapkan persentase tertentu dari hasil ”bisnisnya” untuk beasiswa: khusus bagi pendidikan keluarga miskin. Kuliah gratis.

Realitasnya pergeseran sudah  terjadi antara jurusan ”dunia” dan prodi ”jurusan akhirat”. Mahasiswa UIN jurusan duniawi kian menggeser jumlah mahasiswa jurusan ukhrowi. Yang terakhir itu kian didominasi mahasiswa dari kalangan kurang mampu dari daerah-daerah. Sedang mahasiswa dari perkotaan kian memilih prodi non agama.

Saya harus mengakhiri diskusi intens pagi itu. Ada jadwal berikutnya: bertemu Menteri Pertahanan Jenderal Sjafrie Syamsuddin. Dari Ciputat ke Merdeka Barat tidaklah bisa diprediksi seperti hitungan prodi matematika. Rencana makan pagi pun batal. Untung saya masih menyimpan singkong rebus beberapa potong.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru