DI BALIK bintang-bintang ada satu bintang: Wishnutama. Wishnu-lah arsitek di balik gemerlap Gala Dinner KTT G20 di Bali. Itu dibenarkan oleh tokoh seperti Sandiaga Uno, menteri pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Wishnutama,” jawab Sandi saat saya tanya soal bintang di balik bintang itu.
Sandi, 53 tahun. Wishnu, 52 tahun. Sama-sama berpendidikan Amerika. Wishnu lebih dulu menjadi menteri pariwisata. Sandi yang menggantikannya, sejak tahun 2020.
Saya pun menghubungi Wishnutama kemarin sore. Saya ucapkan selamat atas suksesnya itu. Ini mengingatkan saya akan sukses Wishnu menangani pembukaan Asian Games. Dan penutupannya. Tahun 2018.
“Asian Games itu persiapannya lebih longgar. Enam bulan,” ujarnya. Pun stadionnya. Ditutup sejak enam bulan sebelumnya. Persiapan pembukaan bisa dilakukan tanpa kendala waktu dan tempat.
“Persiapan lokasi acara Gala Dinner G20 baru bisa dilakukan sejak 1 November. Panggung baru bisa dikerjakan seminggu sebelum acara,” ujar Wishnu. Itu karena GWK adalah objek wisata umum.
Wishnu lahir di Jayapura. Itu karena ayahnya menjabat kepala Dinas Pekerjaan Umum di sana. Tapi sejak SMP, Wishnu sudah sekolah di Australia. Lalu ke Amerika.
“Kenapa Gala Dinner itu diadakan di taman Garuda Wisnu Kencana?”
“Sebenarnya ada pilihan lain. Peninsula. Tapi kita perlu keunikan yang tinggi,” ujar Wishnu.
Maka setelah dilaporkan ke Presiden Jokowi, dipilihlah GWK. Di GWK pun ada dua pilihan lokasi. Maka dipilih yang dipakai malam itu.
Pilihan itu akhirnya diakui secara luas sangat tepat.
Untuk mencapai ”ruang” Gala Dinner itu para kepala negara harus lewat lorong-lorong yang dramatis. Juga tebing-tebing gunung yang diiris. Setelah itu barulah mereka tiba di satu ”ruang” besar yang terang. Sangat wow!
Tinggal bagaimana agar tidak hujan.
Wishnu pilih menggunakan teknologi. Ia bekerja sama dengan TNI-AU dan Badan Meteorologi dan Geofisika. Empat pesawat TNI-AU terbang berkali-kali di atas Bali. Dua dari arah Banyuwangi. Dua lagi dari arah Lombok.
Pesawat tersebut menebarkan garam terus menerus. Sampai 20-30 ton. Agar hujan tidak turun.
Tapi lewat tengah hari mendung tebal menggelayut di atas Bali. Penaburan garam pun dihentikan. Sementara. Justru mendung itu dilepas saja sekalian. Agar jadi hujan. Mumpung masih pukul 15.00.
Maka hujan turun sangat deras. Lama. Wishnu terus berkoordinasi dengan BMKG. Didapatlah keyakinan ilmiah: hujan akan berhenti sekitar pukul 17.30. Aman.
“Tidak pakai pawang hujan?” tanya saya.
“Kami tidak. Entah kalau Pemda atau panitia lokal,” ujar Wishnu.
Wishnu itu tokoh media. Khususnya televisi. Pulang ke Indonesia Wishnu bekerja untuk Indosiar. Lalu menjadi direktur di Trans TV. Enam tahun Wishnu di Trans, sampai ke tingkat CEO.
“Yang menemukan ustadz Maulana, Pak Wishnu,” ujar teman Disway.
Ustadz mungil asal Sulawesi itu sangat digemari pemirsa Trans. Lucu sekali. Masih eksis sampai sekarang.
Dari Trans, Wishnu pindah ke NET TV. Dari profesional ke pengusaha. Ia salah satu pemegang saham di NET TV. Di awal-awal kemunculan NET TV terlihat sekali gaya dan level Wishnu: acara-acara NET TV sangat hi-taste.
Tentu juga mahal. Dan itu membuat bisnis tidak begitu bagus. Nama NET TV lantas tenggelam di antara stasiun lain yang saling kejar mengejar rating.
Wishnu pun diangkat jadi menteri. Selama satu tahun. Kini kita mengenal Wishnu sebagai komisaris utama Telkomsel. Juga komisaris Tokopedia. Komisaris juga di Goto yang sudah rugi hampir Rp 100 triliun.
Wishnu masih paling sakti dalam merancang dan mengendalikan acara seperti itu. Dunia dibuatnya tercengang.
Tentu ada bintang lain di balik para bintang G20: Srikandi Indonesia, Menlu Retno Lestari Marsudi. Lalu ada Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Apa kesulitan terbesar menyiapkan acara seperti malam itu?
“Keamanan,” ujar Wishnu. Masing-masing tim keamanan menanyakan aspek keselamatan pimpinan mereka.
Misalnya soal tiang-tiang penyangga lampu yang begitu banyak dan tinggi. Bagaimana kalau ada gempa. Atau puting beliung. Maka konstruksi tiang lampu tersebut harus istimewa. Terbuat dari pemberat air di bagian bawahnya.
Soal komunikasi antar tim kesenian juga berat. Jangan sampai peralatan yang fungsinya nge-jam komunikasi di situ berakibat putusnya komunikasi antar petugas kesenian.
Bagaimana dinding irisan gunung itu bisa jadi layar digital raksasa?
“Sebenarnya dinding-dinding itu sudah berlumut. Gelap. Terpaksa harus kami bersihkan dulu. Sampai warna asli gunung kapurnya terlihat putih,” ujar Wishnu.
Intinya, G20 sukses. Mahal-murahnya bisa kembali ke pepatah Jawa: ono rupo, ono rego. (Dahlan Iskan)