Utang harus dibayar –kalau ingat. Saya pun lupa kalau pernah ”umuk” akan bisa menulis soal anak sopir yang kini kuliah di Rizhao, Tiongkok. Untung ada perusuh yang jadi debt collector.
Hampir saja saya tidak bisa membayar utang itu. Saya sudah telanjur meninggalkan Rizhao. Sudah ke mana-mana. Ke Qingdao, ke Beijing, ke Huhehaode, ke Beijing lagi, dan sekarang ke kota kecil yang saya pun belum pernah ke sini: Datong. Ini di provinsi Shanxi –yang punya tiga tempat wisata kelas Bintang Lima.
Saya tidak untuk berwisata ke Datong –meskipun mampir juga ke sana. Saya untuk ke suatu tempat yang sudah lama saya inginkan, tapi tidak mudah kesampaian. Kelak Anda akan tahu objek apa itu.
Dari Datong saya mencari nomor telepon anak sopir dari Muncar, Banyuwangi itu. Anda sudah tahu namanya: Della Rizkyana Okvitaria. Panggilannya: Della.
Nama Mandarinnyi: 林慧美.
Saya pun minta tolong Della untuk membayarkan utang saya. Sekalian saya ingin tahu apakah Della pandai menulis.
Saya tahu, saat di SMK Telkom, Malang, nilai terbaiknyi selalu matematika. Tapi siapa tahu dia juga pintar menulis. Della mau.
“Untuk menulis di Disway ada ketentuan apa saja?” tanya Della.
“Bebas. Apa pun yang melintas di kepala Anda langsung Anda tulis,” jawab saya.
Della yang kini kuliah di bidang e-commerce di Rizhao, menyanggupi untuk menuliskan ceritanyi.
“Kapan tulisan harus saya kirim?” tanya Della.
“Kalau bisa dalam satu hari, paling lambat dua hari”.
“好的,” kata Della.
Saya pun kaget. Lima jam kemudian saya menerima Wechat dari Della.
“Tulisan sudah saya kirim,” ujar Della.
Wowwww.
Maka inilah tulisan Della. Judul itu pun dari dia.(Dahlan Iskan)
—
Aku lahir dan tumbuh di sebuah sudut kecil bernama Muncar, di Banyuwangi, Jawa
Timur. Muncar dikenal sebagai kota nelayan, dengan bau asin laut yang lekat, debur ombak yang kuat, dan semangat keras masyarakatnya dalam menjalani hidup.
Dari sinilah aku berasal. Seorang gadis biasa, anak terakhir dari dua bersaudara, dengan mimpi yang mungkin dianggap terlalu tinggi untuk ukuran anak seorang sopir.
Tapi mimpi itu tetap ada.
Aku tumbuh di masa sulit. Kedua orang tuaku sudah tak lagi bekerja. Bapakku
yang dulu sopir, kehilangan pekerjaan, dan ibuku harus banting tulang berjualan
sembako dan sayuran.
Aku hidup dari tetes-tetes akhir perjuangan mereka dan bantuan kerabat/saudara. Sampai ibuku menyebutku gadis tetes embun. Aku hidup dari tetesan kebaikan dan perjuangan keluarga yang tak pernah habis.
Mimpi untuk kuliah di luar negeri muncul saat aku mulai masuk SMP. Saat itu untuk kali pertama aku mendapat pelajaran Bahasa Inggris resmi di sekolah. Entah kenapa, ada percikan semangat yang tumbuh. Aku ingin suatu hari belajar di luar negeri, menggunakan bahasa asing yang dulu terasa asing di telinga.
Tapi aku tahu, itu bukan mimpi yang mudah. Apalagi di tempat tinggalku, pendidikan belum menjadi prioritas. Pernikahan dini juga masih banyak dan perempuan tak selalu didorong untuk bermimpi setinggi itu.
Ketika aku lulus SMP, aku ingin sekolah di tempat yang bisa membuka jalan ke masa depan. Keluargaku menyarankan SMK Telkom Malang, sekolah swasta dengan kualitas bagus, tapi biayanya tinggi. Apalagi berada jauh dari kota tempatku tinggal pasti juga perlu menyiapkan biaya untuk menyewa tempat tinggal dan biaya hidup.
Aku sempat ragu, tapi mereka meyakinkan. Mereka bilang, akan mengusahakan semuanya. Dan aku percaya. Namun, tidak semua jalan mulus. Di tengah perjalananku di SMK, kami benar-benar kehabisan biaya. Aku sempat menangis, ingin berhenti sekolah, ingin pindah saja.
Tapi orang tuaku, kakakku, bude-pakdeku mereka semua turun tangan. Mereka memastikan aku tetap bisa belajar, tetap bisa bermimpi. Dari mereka aku belajar arti gotong royong dalam cinta dan kasih sayang.
Di SMK Telkom, Malang, aku melihat banyak alumni yang kuliah di luar negeri. Mimpiku yang dulu sempat kusimpan, menyala lagi. Tapi aku tahu, keluargaku hanya mampu membiayai sekolah, bukan kursus atau persiapan kuliah di luar negeri.
Jadi aku belajar sendiri, menyiapkan semuanya sendiri. Sampai akhirnya aku ikut program magang yang menjanjikan beasiswa kuliah. Aku sempat merasa tenang, merasa aman. Tapi ternyata, beasiswa itu dicabut tanpa alasan. Hatiku hancur.
Aku berhenti sekolah setahun.
Tapi aku tidak tinggal diam. Aku mendaftar program pertukaran pelajar ke Korea Selatan dan lolos. Rasanya seperti mimpi. Tapi tak lama, bencana alam melanda Korea dan visaku ditolak. Sponsor sudah ada, harapan sudah tinggi dan semuanya runtuh begitu saja. Aku frustrasi. Tapi aku mencoba bangkit lagi.
Aku kembali lolos program pertukaran pelajar ke tiga negara: Malaysia, Singapura, dan Thailand. Aku berangkat dengan tanggung jawab besar: menjaga nama baik para sponsor yang sudah percaya padaku. Setelah pulang ke Indonesia, aku kembali dihantui kenyataan. Teman-temanku sudah kuliah, aku masih mencari jalan.
Aku daftar berbagai beasiswa ditolak semua. Di tengah kegalauan, aku pergi ke Kampung Inggris, Pare, Kediri. Niatnya belajar TOEFL, juga ikut UTBK. Uang seadanya, tapi aku bertemu seseorang yang baik hati, yakni owner tempat kursus yang memberiku harga murah.
Di sana aku belajar 6 bulan penuh. Aku bolak-balik Pare-Surabaya naik bus hanya untuk mengurus SKCK dan berkas pendaftaran beasiswa. Aku daftar ke banyak universitas di luar negeri. Tapi lagi-lagi, semua menolakku. Hingga harapanku terakhir: UTBK. Tapi hasilnya juga tak memihakku.
Aku patah. Rasanya seperti tak ada lagi pintu yang terbuka. Tapi saat itu, aku mendengar tentang program pengabdian masyarakat. Aku daftar. Di sana, di Dieng, Jateng, aku membantu warga, mengajar anak-anak tanpa bayaran. Aku mungkin tak punya gelar, tapi aku ingin tetap berguna.
Di antara para relawan itu, hanya aku yang belum kuliah. Minder? Pasti. Tapi aku percaya, Tuhan tidak membawa kita sejauh ini hanya untuk menyerah.
Lalu, ketika aku sedang dalam perjalanan ke tempat pengabdian selanjutnya, aku dapat kabar dari grup alumni SMK. Ada program beasiswa ke Tiongkok. Aku daftar. Gratis. Dan di dalam kereta ekonomi yang berisik, aku mengikuti wawancara. Dengan kondisi seadanya. Dan malam itu juga aku dinyatakan lolos.
Aku menangis. Bahagia. Mataku berbinar. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku melihat cahaya. Untuk pertama kalinya, aku bisa bilang pada diriku sendiri: Akhirnya, jalanku dibuka juga.
Tapi perjuangan belum selesai. Setelah dinyatakan lolos, aku harus mengikuti program persiapan keberangkatan yang berlangsung sekitar satu bulan penuh di mess Surabaya. Di sanalah, kami para penerima beasiswa dikumpulkan. Fokus utama kami waktu itu adalah belajar dasar-dasar bahasa Mandarin dan memahami budaya serta sistem pendidikan di Tiongkok.
Aku datang tanpa latar belakang bahasa Mandarin sama sekali. Nol besar. Jadi setiap hari benar-benar seperti menghadapi hal baru yang asing tapi menantang. Hari-hariku di mess Surabaya penuh dengan jadwal padat. Mulai pagi kami belajar.
Di sela-sela itu, kami juga harus mempersiapkan dokumen keberangkatan. Aku bahkan sempat belajar cara menggunakan sumpit. Saya tahu betul hidup di negeri orang butuh adaptasi sampai ke hal terkecil.
Di tengah semua kesibukan itu, satu hal yang paling berat bagiku adalah: jauh dari rumah selama proses persiapan. Aku tidak bisa pulang ke Muncar sejak aku selesai dari Pare dan ikut pengabdian masyarakat beberapa bulan. Saya tidak bisa melihat wajah ibu dan bapak setiap hari. Tapi aku tahu, ini semua bagian dari jalan yang sedang Tuhan buka untukku.
Setelah hampir sebulan, akhirnya aku mendapat kesempatan pulang untuk sebentar saja. Aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk bahagia bisa bertemu ibu dan kakak, tapi juga sedih karena harus segera berpisah dengan mereka untuk waktu yang tidak sebentar.
Hatiku semakin berat ketika tahu bahwa aku tidak bisa bertemu bapak, karena beliau sedang bekerja sebagai sopir truk di luar kota. Tapi saya tetap berpamitan lewat video call. Waktu itu, aku hanya bisa menangis dalam diam, melihat wajah bapak yang penuh peluh, tapi tetap tersenyum bangga padaku.
Bapak bilang, hati-hati ya, Nduk. Sing sabar, sing semangat. Doa bapak selalu untuk kamu. Dan aku tahu, itu cukup. Itu sudah lebih dari cukup.
Hari keberangkatan pun tiba. Dengan koper dan harapan, aku melangkah ke bandara. Berat rasanya meninggalkan tanah tempat aku dibesarkan, tapi aku membawa pesan dan doa dari kampungku. Dari Muncar. Dari keluarga yang selalu jadi rumah, tak peduli seberapa jauh aku pergi.
Sekarang aku ada di Tiongkok. Negeri asing yang dulunya hanya bisa kulihat lewat layar dan mimpi. Aku masih belajar banyak hal. Bahasa, budaya, sistem baru. Semuanya masih proses. Tapi aku tidak takut. Karena aku sudah pernah berdiri di titik paling bawah dan tetap bisa bertahan. Jadi aku tahu, aku bisa.
Sekarang aku ada di Tiongkok. Belajar. Berjuang. Menata masa depan. Tak semua hari mudah, tapi aku percaya Tuhan sedang menunjukkan jalanku. Jalur penuh luka, tapi penuh makna.(*)