TERSANGKA ini umurnya sudah 76 tahun. Sudah terkena stroke. Setiap ke ruang sidang pakai tongkat. Statusnya ditahan, hanya penempatannya di rumah sakit.
Itulah Direktur Utama PT Krakatau Steel tahun 2007-2012: Fazwar Bujang. Kelahiran Bukittinggi. Alumnus ITB.
Bujang jadi terdakwa perkara korupsi di perusahaan BUMN bidang produksi baja.
Tiga hari lalu ia divonis 5 tahun penjara.
Empat anak buahnya juga ikut jadi terdakwa 2,3 4, dan 5. Masing-masing juga dijatuhi hukuman yang sama.
Vonis hakim menyebutkan mereka terbukti tidak menikmati hasil korupsi. Artinya tidak ditemukan ada aliran uang ke rekening masing-masing.
Vonis itu juga menyebutkan tidak ditemukan bukti melawan hukum.
Yang terbukti adalah: merugikan keuangan negara dan memperkaya orang lain –yakni kontraktor proyek.
Kerugian keuangan negaranya memang sangat besar: Rp 6 triliun. Yakni sebesar nilai proyek yang dibangun saat itu.
Nama proyeknya: blast furnace. Peleburan baja.
Besar sekali.
Kapasitasnya 1,2 juta ton/tahun. Mau mereka: PT KS bangkit. Punya peleburan baru. Ini sesuai dengan janji perusahaan ke publik. Bujang berhasil membawa PT KS melakukan go public di tahun 2010.
Salah satu tujuan go public adalah mencari dana untuk membangun blast furnace yang besar.
Saat itu PT KS sudah memiliki pabrik peleburan baja. Tapi belum dari hulu. Hanya bisa mengubah baja yang sudah jadi menjadi baja yang siap jual. Itu membuat produk PT KS kurang kompetitif di pasar. Bahan bakunya mahal.
Maka Fazwar memprogramkan membangun yang lebih hulu dari yang sudah ada. Yakni blast furnace. Yang bahan bakunya bisa dari besi tua. Lebih murah.
Belakangan saya dengar: waktu itu terjadi perbedaan pendapat. Pilihan satu: membangun blast furnace lengkap. Sampai bisa memproduksi bahan baja siap jual. Pilihan dua: cukup blast furnace saja. Memproduksi baja cair saja.
Pilihan satu bisa membuat keseluruhan proses produksi lebih efisien. Blast furnace-nya langsung nyambung ke proses produksi berikutnya. Baja cair dari blast furnace langsung masuk cetakan bahan siap jual.
Tentu harga proyeknya lebih mahal. Belum tentu uang yang disiapkan cukup.
Kelemahannya: pabrik yang sudah ada untuk apa.
Kelemahan pilihan kedua: baja cair itu harus dikirim ke pabrik yang lebih hilir. Harus ada transportasi baja cair yang sangat panas ke pabrik yang akan mencetaknya.
Direksi memilih yang kedua. Investasi lebih kecil. Pabrik yang sudah ada tetap bisa bermanfaat. Toh jaraknya hanya sekitar 200 meter. Bisa dibangun rel. Baja cair yang panas itu diangkut dengan kontainer khusus. Dikirim lewat rel ke pabrik yang lebih hilir.
Bujang sendiri sudah lama bekerja di KS. Sejak tahun 1975. Yakni sejak umur 28 tahun. Karirnya naik dan naik. Pernah jadi direktur teknik dan pengembangan PT KS. Artinya: ia cukup ahli dalam hal memilih teknologi. Lalu, di tahun 2007, Bujang menjabat direktur utama.
Memang di dunia pabrik baja lebih banyak yang pakai pilihan pertama. Sekitar 70 persen. Tapi banyak juga yang memilih seperti pilihan Bujang.
PT KS lantas menunjuk kontraktor dari Tiongkok. Yakni konsorsium MCC Ceri. Sifatnya BOT. PT KS terima jadi. Pembangunannya berlarut-larut. Harga baja lagi nyungsep.
Akhirnya: proyek ini berhasil dibangun. Tapi tidak kunjung bisa diserahterimakan. Memang sudah dilakukan commissioning. Sudah beberapa bulan. Commissioning belum selesai. Masih sekitar 5 bulan lagi.
Di tengah commissioning ini muncul masalah. PT KS minta uji coba diteruskan sampai bisa berjalan. Kontraktor minta ada pembayaran.
Saya tidak tahu detailnya, siapa yang salah. Mereka lantas membawa urusan ini ke lembaga arbitrase internasional. Belum ada putusan siapa yang salah.
Mungkin saja pabrik itu akan bisa jalan. Mungkin juga tidak. Belum pernah dilakukan uji coba sampai tuntas.
Saya juga tidak tahu bagaimana bunyi kontrak antara PT KS dan Ceri. Mengapa untuk melakukan uji coba (commissioning) bisa saling sandera seperti itu. Lantas, siapa yang harus menanggung kerugian akibat tertundanya rencana produksi. Apakah itu tanggung jawab kontraktor atau KS.
Pengadilan tidak memeriksa sampai ke sana. Pengadilan arbitrase-lah yang akan melihat semua itu. Maka bentuk kerugian negara di perkara ini masih berupa potensi.
Kelak, kalau arbitrase menyebut semua itu kesalahan KS, barulah kerugian KS sangat nyata.
Tentu harus dilihat lagi: apakah kesalahan itu karena ”kebodohan” dalam membuat kontrak, atau karena ada kesengajaan untuk tujuan keuntungan pribadi.
”Kebodohan” di situ bisa saja akibat kurang teliti. Atau kurang berpengalaman dalam melakukan kontrak internasional.
Bagi perusahaan sebesar KS mestinya bukan soal ”kebodohan” dan bukan kekurangan pengalaman.
Mungkin juga salah pilih kontraktor. Kurang cermat. Kurang mendalami siapa kontraktor itu.
Berarti ada dua hal: pilihan teknologi dan pilihan kontraktor.
Dua mantan dirut anak perusahaan PT KS, Andi Soko Setiabudi dan Bambang Purnomo juga dihukum 5 tahun.
Nama anak perusahaan itu adalah PT Krakatau Engineering. Anak perusahaan inilah yang digandeng Ceri sebagai partner lokal.
PT KS memang mengharuskan Ceri ber-partner agar terjadi transfer ilmu. Agar anak perusahaan KS punya pengalaman membangun blast furnace.
Dua terhukum lagi adalah direktur proyek Hernanto Wiryomijoyo dan manajer proyek anak perusahaan Muhammad Reza.
Setelah mereka dijatuhi hukuman bagaimana dengan proyek tersebut. Tentu menunggu putusan arbitrase.
Sebenarnya biasa saja terjadi keruwetan antara kontraktor dan pemilik proyek. Tapi di BUMN yang biasa itu sulit sekali menyelesaikannya.
Bujang pun yang sudah 10 tahun hidup tenang harus menghadapi kasus hukum. Di pengadilan Bujang tidak banyak bicara. Stroke-nya membuat Bujang tidak bisa begitu aktif bicara. Demikian juga ketika harus mengingat kejadian yang sudah begitu lama.(Dahlan Iskan)