32.5 C
Jakarta
Sunday, July 13, 2025

Iqro Jimmy

Saya orang ketiga yang tiba di musala Iqro’ subuh itu. Kalau saja udara tidak sedingin dua derajat, lebih baik tunggu waktu subuh di luar. Indah. Kota Perth, di bagian mana pun indahnya tidak kepalang. Pun di sekitar Iqro’ ini.

Awalnya aktivis Islam di Australia Barat ingin membangun masjid dengan cara lama: di tanah wakaf. Kebetulan ada warga asal Afghanistan yang mewakafkan tanah. Mereka pun mengurus persiapan. Banyak uang sudah dibelanjakan. Wakaf diurungkan.

Kesedihan itu didengar Iqro’ dari Kota Sydney. Rupanya Iqro’ berdiri di banyak kota di Australia. Mereka turun tangan. Pun Aa Gym. Ulama Bandung itu memang sering ke Perth. Beliau punya lembaga Darut Tauhid di Perth. Tidak hanya satu.

Setiap ke Perth, Aa Gym membina Darut Tauhid-nya. Juga menyalurkan hobinya: mengendarai moge –motor gede. Kabarnya sampai beli moge di Perth. Belakangan hobinya beralih: gowes –bersepeda.

Dari kesulitan di tanah wakaf itulah muncul ide yang luar biasa jeli. Ide itu muncul dengan cara memanfaatkan sistem asuransi tenaga kerja di Australia –semacam BPJS Ketenagakerjaan.

Saya bertemu pemilik ide itu: Jimmy Suroto. Ia orang Grobogan, Jateng, yang menamatkan SMA-nya di Tual, Maluku Tenggara. Jimmy alumnus ITB Bandung jurusan geodesi.

Ternyata Jimmy juga berteman dengan Joko Intarto, sesama orang Grobogan yang membidani lahirnya Disway.id.

Di Australia semua pekerja wajib menyisihkan gajinya: antara sembilan persen sampai 13 persen. Dana tenaga kerja itu dikelola oleh superfund: diputar di lembaga-lembaga investasi –untuk bisa dapat keuntungan.

Demokrasi di Australia meluas sampai pun ke soal pengelolaan keuangan. Tidak boleh ada monopoli. Superfund pun tidak boleh hanya satu. Maka lahirlah banyak superfund yang memanfaatkan dana asuransi buruh itu.

Salah satunya: Hijaz. Superfund Hijaz memutar dana secara syariah. Ke situlah iuran “BPJS Ketenagakerjaan” Jimmy dkk mengalir. Hijaz yang memutarnya. Sampai Jimmy punya ide sendiri.

Begitu demokratisnya sistem keuangan di Australia, dana “BPJS Ketenagakerjaan” itu tidak harus dikelola oleh superfund. Perorangan pun boleh. Bahkan Anda sendiri. Anda, sebagai tenaga kerja yang memotong gaji Anda, boleh mengelola potongan gaji Anda itu. Misalnya untuk beli rumah. Dengan demikian di saat pensiun Anda sudah punya rumah.

Peluang terakhir itulah yang dimanfaatkan Jimmy –dengan cerdas. Jimmy membentuk grup empat orang. Sesama aktivis Iqro’ di Perth. Empat orang itu menjadi pengelola dana mereka sendiri.

Baca Juga :  Santai Rp2 Triliun

Self Manage Super Fund. Pekerja siapa pun boleh membentuk SMSF. Boleh satu orang, dua orang, tiga orang, maksimum empat orang. Untuk mengelola potongan gaji mereka sendiri.

Setelah “SMSF empat orang” itu terbentuk mereka lapor ke ATO –Australian Tax Office. Otoritas pajak Australia.

Saat mengajukan izin mereka melampirkan “business plan”: akan dikelola seperti apa dana empat orang itu.

Selanjutnya ATO akan mengawasi: apakah dana yang dikelola sendiri itu berjalan sesuai dengan rencana yang diajukan. Kalau tidak, mereka terkena perkara hukum.

Begitu izin SMSF keluar, empat orang itu menarik dana mereka dari superfund Hijaz. Jumlahnya lumayan. Itu kumpulan “tabungan” sejak 12 tahun lalu. Yakni sejak gaji mereka dipotong 9-13 persen.

Dalam proposal izin SMSF mereka merencanakan uang itu akan dibelikan properti. Kebetulan ada gudang sedang dijual. Properti itu, menurut business plan, akan disewakan. Hasil sewanya lebih banyak daripada dana itu diputar oleh super fund sendiri.

ATO tidak ikut campur bagaimana cara menyewakannya. Atau kepada siapa disewakan. Yang penting tiap tiga bulan SMSF lapor –semua kuwajiban terpenuhi. Termasuk berapa hasil dari pemutaran dana “BPJS Ketenagakerjaan” secara mandiri itu.

Jimmy bersepakat dengan tiga temannya: properti yang dibeli tersebut akan “disewakan” ke Iqro’ Perth. Untuk Muslim Community Center. Termasuk untuk tempat sembahyang. Jadi masjid.

Biaya “sewa”-nya didapat dari berbagai sumber. Misalnya dari infak jemaah, dari sedekah, dan dari kegiatan bazar ibu-ibu di komunitas itu. Setiap minggu ibu-ibu bikin bazar di situ: jualan makanan Indonesia.

Dalam empat tahun, uang “BPJS” yang dipinjam untuk beli properti itu sudah lunas. Iqro’ sudah menjadi pemilik properti itu.

Saat sudah lunas itulah, kebetulan gudang di sebelahnya dijual. Setelah cocok harga, dipakailah skema yang sama. Lunas lagi. Lalu beli lagi gudang ketiga di sebelahnya. Siklus yang ketiga ini sedang berjalan. Belum lunas.

Mendengar kiat jitu itu saya pun bertekad: tidak akan mau memberikan ceramah setelah salat subuh. Mereka orang-orang hebat. Tidak pantas saya menceramahi mereka. Maka saya ajak saja diskusi. Langsung dimulai oleh jemaah. Bukan oleh penceramah.

Baca Juga :  Kawin Thinking

Usai forum subuh itu saya justru ingin belajar lebih banyak dari mereka. Di dekat Iqro’ ada kafe yang sudah buka. Kafenya di tengah taman. Di pinggir danau yang teduh. Dua pejabat Persebaya ikut bersama saya: Nanang Prianto dan Ram Surahman.

Lalu imam muda salat subuh ikut gabung: orang Aceh lulusan Universitas Syiah Kuala. Statusnya di Perth: mendampingi istri yang mendapat beasiswa doktor kesehatan masyarakat.

Di grup SMSF itu empat-empatnya jadi direktur. Tidak boleh salah satu lebih memimpin. Begitulah aturannya.

Setelah terbukti sukses Jimmy menularkan strateginya itu ke jemaah yang lain. Maka terbentuk tiga grup SMSF lagi. Semuanya jemaah Iqro’. Tiap grup berisi empat orang. Tidak boleh lebih. Aturannya begitu.

Tujuan tiga grup lainnya pun sama: beli properti. Lalu dipakai komunitas Iqro. Sampai pun kini Iqro’ punya aula, tempat berlatih yudo dan taekwondo, tempat kursus matematika bagi anak-anak dan belajar Quran.

Untung Ario Susanto, putra Dr Tri Susanto, mengajak saya ke Iqro’. Saya merasa mendapat teman seide.

Saya teringat saat mendirikan IIS di Magetan. Saya tidak mungkin mencari sumbangan –bisa ditertawakan orang. Maka “Fikih Financial” mirip cara Jimmy saya lakukan.

Zakat saya sekian tahun ke depan saya bayar di muka. Kalau tidak, sekolah tidak akan bisa cepat terwujud.

Satu hal yang membuat Jimmy dan Ario dan lainnya masih masygul: Iqro’ belum bisa untuk salat Jumat. Itu semata soal lapangan parkir. Tidak cukup.

Aturan parkir sangat keras di Australia. Pernah terjadi orang yang salat Jumat salah memarkir mobil. Banyak. Masjid yang harus membayar dendanya yang begitu berat.

Komunitas muslim di Perth memilih salat Jumat di gedung-gedung community center. Tempat parkirnya biasanya luas. Sewanya sangat murah –tidak berarti.

“Ada berapa tempat salat Jumat di Perth?”

“Sekitar 100 tempat,” ujar Ario. Termasuk beberapa di antaranya dari kelompok syiah.

Orang Indonesia sendiri minoritas di antara imigran di Perth. Yang terbanyak orang India. Lalu Tionghoa. Vietnam. Filipina. Malaysia. Baru Indonesia.

Belakangan memang banyak jenis “fikih” baru. Misalnya “zakat produktif”, “wakaf cicilan”, “wakaf berjamaah”.

Mungkin ada perusuh yang juga sudah tahu seperti apa “Fikih Kota Global yang baru terbit itu?”.(Dahlan Iskan)

Saya orang ketiga yang tiba di musala Iqro’ subuh itu. Kalau saja udara tidak sedingin dua derajat, lebih baik tunggu waktu subuh di luar. Indah. Kota Perth, di bagian mana pun indahnya tidak kepalang. Pun di sekitar Iqro’ ini.

Awalnya aktivis Islam di Australia Barat ingin membangun masjid dengan cara lama: di tanah wakaf. Kebetulan ada warga asal Afghanistan yang mewakafkan tanah. Mereka pun mengurus persiapan. Banyak uang sudah dibelanjakan. Wakaf diurungkan.

Kesedihan itu didengar Iqro’ dari Kota Sydney. Rupanya Iqro’ berdiri di banyak kota di Australia. Mereka turun tangan. Pun Aa Gym. Ulama Bandung itu memang sering ke Perth. Beliau punya lembaga Darut Tauhid di Perth. Tidak hanya satu.

Setiap ke Perth, Aa Gym membina Darut Tauhid-nya. Juga menyalurkan hobinya: mengendarai moge –motor gede. Kabarnya sampai beli moge di Perth. Belakangan hobinya beralih: gowes –bersepeda.

Dari kesulitan di tanah wakaf itulah muncul ide yang luar biasa jeli. Ide itu muncul dengan cara memanfaatkan sistem asuransi tenaga kerja di Australia –semacam BPJS Ketenagakerjaan.

Saya bertemu pemilik ide itu: Jimmy Suroto. Ia orang Grobogan, Jateng, yang menamatkan SMA-nya di Tual, Maluku Tenggara. Jimmy alumnus ITB Bandung jurusan geodesi.

Ternyata Jimmy juga berteman dengan Joko Intarto, sesama orang Grobogan yang membidani lahirnya Disway.id.

Di Australia semua pekerja wajib menyisihkan gajinya: antara sembilan persen sampai 13 persen. Dana tenaga kerja itu dikelola oleh superfund: diputar di lembaga-lembaga investasi –untuk bisa dapat keuntungan.

Demokrasi di Australia meluas sampai pun ke soal pengelolaan keuangan. Tidak boleh ada monopoli. Superfund pun tidak boleh hanya satu. Maka lahirlah banyak superfund yang memanfaatkan dana asuransi buruh itu.

Salah satunya: Hijaz. Superfund Hijaz memutar dana secara syariah. Ke situlah iuran “BPJS Ketenagakerjaan” Jimmy dkk mengalir. Hijaz yang memutarnya. Sampai Jimmy punya ide sendiri.

Begitu demokratisnya sistem keuangan di Australia, dana “BPJS Ketenagakerjaan” itu tidak harus dikelola oleh superfund. Perorangan pun boleh. Bahkan Anda sendiri. Anda, sebagai tenaga kerja yang memotong gaji Anda, boleh mengelola potongan gaji Anda itu. Misalnya untuk beli rumah. Dengan demikian di saat pensiun Anda sudah punya rumah.

Peluang terakhir itulah yang dimanfaatkan Jimmy –dengan cerdas. Jimmy membentuk grup empat orang. Sesama aktivis Iqro’ di Perth. Empat orang itu menjadi pengelola dana mereka sendiri.

Baca Juga :  Santai Rp2 Triliun

Self Manage Super Fund. Pekerja siapa pun boleh membentuk SMSF. Boleh satu orang, dua orang, tiga orang, maksimum empat orang. Untuk mengelola potongan gaji mereka sendiri.

Setelah “SMSF empat orang” itu terbentuk mereka lapor ke ATO –Australian Tax Office. Otoritas pajak Australia.

Saat mengajukan izin mereka melampirkan “business plan”: akan dikelola seperti apa dana empat orang itu.

Selanjutnya ATO akan mengawasi: apakah dana yang dikelola sendiri itu berjalan sesuai dengan rencana yang diajukan. Kalau tidak, mereka terkena perkara hukum.

Begitu izin SMSF keluar, empat orang itu menarik dana mereka dari superfund Hijaz. Jumlahnya lumayan. Itu kumpulan “tabungan” sejak 12 tahun lalu. Yakni sejak gaji mereka dipotong 9-13 persen.

Dalam proposal izin SMSF mereka merencanakan uang itu akan dibelikan properti. Kebetulan ada gudang sedang dijual. Properti itu, menurut business plan, akan disewakan. Hasil sewanya lebih banyak daripada dana itu diputar oleh super fund sendiri.

ATO tidak ikut campur bagaimana cara menyewakannya. Atau kepada siapa disewakan. Yang penting tiap tiga bulan SMSF lapor –semua kuwajiban terpenuhi. Termasuk berapa hasil dari pemutaran dana “BPJS Ketenagakerjaan” secara mandiri itu.

Jimmy bersepakat dengan tiga temannya: properti yang dibeli tersebut akan “disewakan” ke Iqro’ Perth. Untuk Muslim Community Center. Termasuk untuk tempat sembahyang. Jadi masjid.

Biaya “sewa”-nya didapat dari berbagai sumber. Misalnya dari infak jemaah, dari sedekah, dan dari kegiatan bazar ibu-ibu di komunitas itu. Setiap minggu ibu-ibu bikin bazar di situ: jualan makanan Indonesia.

Dalam empat tahun, uang “BPJS” yang dipinjam untuk beli properti itu sudah lunas. Iqro’ sudah menjadi pemilik properti itu.

Saat sudah lunas itulah, kebetulan gudang di sebelahnya dijual. Setelah cocok harga, dipakailah skema yang sama. Lunas lagi. Lalu beli lagi gudang ketiga di sebelahnya. Siklus yang ketiga ini sedang berjalan. Belum lunas.

Mendengar kiat jitu itu saya pun bertekad: tidak akan mau memberikan ceramah setelah salat subuh. Mereka orang-orang hebat. Tidak pantas saya menceramahi mereka. Maka saya ajak saja diskusi. Langsung dimulai oleh jemaah. Bukan oleh penceramah.

Baca Juga :  Kawin Thinking

Usai forum subuh itu saya justru ingin belajar lebih banyak dari mereka. Di dekat Iqro’ ada kafe yang sudah buka. Kafenya di tengah taman. Di pinggir danau yang teduh. Dua pejabat Persebaya ikut bersama saya: Nanang Prianto dan Ram Surahman.

Lalu imam muda salat subuh ikut gabung: orang Aceh lulusan Universitas Syiah Kuala. Statusnya di Perth: mendampingi istri yang mendapat beasiswa doktor kesehatan masyarakat.

Di grup SMSF itu empat-empatnya jadi direktur. Tidak boleh salah satu lebih memimpin. Begitulah aturannya.

Setelah terbukti sukses Jimmy menularkan strateginya itu ke jemaah yang lain. Maka terbentuk tiga grup SMSF lagi. Semuanya jemaah Iqro’. Tiap grup berisi empat orang. Tidak boleh lebih. Aturannya begitu.

Tujuan tiga grup lainnya pun sama: beli properti. Lalu dipakai komunitas Iqro. Sampai pun kini Iqro’ punya aula, tempat berlatih yudo dan taekwondo, tempat kursus matematika bagi anak-anak dan belajar Quran.

Untung Ario Susanto, putra Dr Tri Susanto, mengajak saya ke Iqro’. Saya merasa mendapat teman seide.

Saya teringat saat mendirikan IIS di Magetan. Saya tidak mungkin mencari sumbangan –bisa ditertawakan orang. Maka “Fikih Financial” mirip cara Jimmy saya lakukan.

Zakat saya sekian tahun ke depan saya bayar di muka. Kalau tidak, sekolah tidak akan bisa cepat terwujud.

Satu hal yang membuat Jimmy dan Ario dan lainnya masih masygul: Iqro’ belum bisa untuk salat Jumat. Itu semata soal lapangan parkir. Tidak cukup.

Aturan parkir sangat keras di Australia. Pernah terjadi orang yang salat Jumat salah memarkir mobil. Banyak. Masjid yang harus membayar dendanya yang begitu berat.

Komunitas muslim di Perth memilih salat Jumat di gedung-gedung community center. Tempat parkirnya biasanya luas. Sewanya sangat murah –tidak berarti.

“Ada berapa tempat salat Jumat di Perth?”

“Sekitar 100 tempat,” ujar Ario. Termasuk beberapa di antaranya dari kelompok syiah.

Orang Indonesia sendiri minoritas di antara imigran di Perth. Yang terbanyak orang India. Lalu Tionghoa. Vietnam. Filipina. Malaysia. Baru Indonesia.

Belakangan memang banyak jenis “fikih” baru. Misalnya “zakat produktif”, “wakaf cicilan”, “wakaf berjamaah”.

Mungkin ada perusuh yang juga sudah tahu seperti apa “Fikih Kota Global yang baru terbit itu?”.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/