32.5 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Gembira Nusantara

MAAFKAN saya, Pak Terawan. Saya tidak memberi tahu Anda. Diam-diam saya memeriksakan anggota rombongan relawan Vaksin Nusantara ke lab independen.

Saya ingin tahu hasilnya. Pemeriksaan itu kami lakukan pekan lalu –17 hari setelah mereka disuntik VakNus 4 Mei 2021.

Hasilnya mengejutkan saya: bagus sekali.

Dari segi keamanan saya sudah pernah tulis: tidak satu pun yang punya keluhan. Pun yang ringan, apalagi yang berat. Soal keamanan ini tidak saya periksakan di lab.

Yang saya periksakan adalah dari segi kemampuan VakNus melawan Covid-19. Hasilnya, biarlah angka-angka lab yang berbicara: bagus sekali. Rinciannya akan saya tulis di Disway besok pagi.

Hari itu, Jumat, 22 Mei 2021. Pukul 07.00. Kami, 100 orang lebih, baru selesai senam rutin di Rumah Gadang Surabaya.

Sebelas relawan VakNus memang anggota senam dansa ini. Yang 4 orang lagi tinggal di Jakarta.

Selesai senam satu jam itu, petugas dari Laboratorium Molekular Profesor Nidom Foundation datang. Relawan VakNus antre ambil darah. Saya hitung: kok hanya 9 orang. Ternyata Ali Murtadlo lagi ke Pacitan –mertuanya meninggal. Ali, wartawan senior, mantan direktur salah satu anak perusahaan Jawa Pos Group. Satu lagi tidak kelihatan karena harus masuk kerja lebih pagi.

Saya tidak menyangka bahwa pemeriksaan itu begitu detail. Prof Dr C. A. Nidom, ahli virus pemilik Laboratorium Molekular itu, ternyata tidak hanya memeriksa antibodi. Tapi juga memeriksa kemampuan proteksi bodi.

Baca Juga :  Listrik Juara

Prof Nidom, Anda sudah tahu, juga dikenal sebagai ilmuwan penemu vaksin flu burung. Itu yang membuat namanya mendunia. Ia membangun lab di Wisma Permai Surabaya –sejak tidak terlalu aktif di Universitas Airlangga.

Maka, dari pemeriksaan itu, relawan VakNus dari Surabaya bisa mengetahui dua hal sekaligus. Apakah sudah punya antibodi. Sudah. Juga apakah punya perlindungan diri terhadap virus Covid. Sudah.

Saya pun bertanya kepada Prof Nidom: mengapa dibedakan antara antibodi dan proteksi. Apakah kalau sudah punya antibodi tidak otomatis punya proteksi?

"Adanya antibodi belum tentu protektif terhadap virus lapang atau surrogate," ujar Prof Nidom.

Ups.

Berarti saya salah ketika menjelaskan soal antibodi kepada istri. Saya senang sekali ketika melihat hasil lab istri saya: antibodinyi mencapai angka 202. Itu dua minggu setelah vaksin kedua Sinovac. Saya sempat bilang bahwa istri saya tidak mungkin lagi tertular Covid. Angka antibodinya begitu tinggi.

Padahal antibodi anak saya –setelah vaksin kedua Sinovac– hanya di angka 15. Sedang istrinya ''hanya'' di angka 35.

"Ha ha ha mungkin ibu ini pernah kena Covid tapi tidak merasa. Mana ada vaksin menghasilkan antibodi di atas 200 kalau tidak pernah kena Covid," ujar anak saya.

Istri saya tampak terkejut. Lalu berkilah. "Sebelum vaksin dulu saya tiga kali tes. Selalu negatif," bantah istri saya.

Baca Juga :  Anggaran Minta Maaf

Baru sekarang saya tahu antibodi tidak otomatis melindungi. Prof Nidom sudah melakukan penelitian khusus. Yakni terhadap mereka yang sudah menjalani vaksinasi konvensional.

Pemeriksaan itu dilakukan kepada orang yang sudah 1 bulan menjalani vaksinasi kedua.

"Hasilnya ada 3 kelompok," ujar Prof Nidom.

Yakni: 1) Kelompok yang punya antibodi sekaligus punya daya protektif. 2) Kelompok yang punya antibodi, tapi tidak punya daya protektif. 3) Kelompok yang tidak punya antibodi yang otomatis tidak ada daya protektifnya.

"Kelompok 2 dan 3 itu rawan untuk terinfeksi kembali," ujar Prof Nidom.

Memiliki antibodi, ujarnya, belum tentu tidak terinfeksi. "Yang menentukan itu antibodi yang protektif," katanya.

Vaksin untuk Covid, katanya, seharusnya vaksin yang sekaligus bisa menangkal virus. "Virus Covid itu berbeda dengan virus Flu atau flu burung," ujar Prof Nidom. "Virus flu burung itu berhenti di paru-paru. Virus flu biasa berhenti di saluran pernapasan," ujar Prof Nidom. "Sedang virus Covid beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah," ujarnya. "Itulah yang membuat pemilik komorbid dalam bahaya," tambahnya.

Melihat hasil pemeriksaan yang begitu menggembirakan, saya pun ingin memeriksakan diri ke Lab Molekular Prof Nidom. Meski bukan objek penelitian saya kan juga menjalani VakNus bersama para relawan itu. Saya penasaran juga. (Bersambung)

MAAFKAN saya, Pak Terawan. Saya tidak memberi tahu Anda. Diam-diam saya memeriksakan anggota rombongan relawan Vaksin Nusantara ke lab independen.

Saya ingin tahu hasilnya. Pemeriksaan itu kami lakukan pekan lalu –17 hari setelah mereka disuntik VakNus 4 Mei 2021.

Hasilnya mengejutkan saya: bagus sekali.

Dari segi keamanan saya sudah pernah tulis: tidak satu pun yang punya keluhan. Pun yang ringan, apalagi yang berat. Soal keamanan ini tidak saya periksakan di lab.

Yang saya periksakan adalah dari segi kemampuan VakNus melawan Covid-19. Hasilnya, biarlah angka-angka lab yang berbicara: bagus sekali. Rinciannya akan saya tulis di Disway besok pagi.

Hari itu, Jumat, 22 Mei 2021. Pukul 07.00. Kami, 100 orang lebih, baru selesai senam rutin di Rumah Gadang Surabaya.

Sebelas relawan VakNus memang anggota senam dansa ini. Yang 4 orang lagi tinggal di Jakarta.

Selesai senam satu jam itu, petugas dari Laboratorium Molekular Profesor Nidom Foundation datang. Relawan VakNus antre ambil darah. Saya hitung: kok hanya 9 orang. Ternyata Ali Murtadlo lagi ke Pacitan –mertuanya meninggal. Ali, wartawan senior, mantan direktur salah satu anak perusahaan Jawa Pos Group. Satu lagi tidak kelihatan karena harus masuk kerja lebih pagi.

Saya tidak menyangka bahwa pemeriksaan itu begitu detail. Prof Dr C. A. Nidom, ahli virus pemilik Laboratorium Molekular itu, ternyata tidak hanya memeriksa antibodi. Tapi juga memeriksa kemampuan proteksi bodi.

Baca Juga :  Listrik Juara

Prof Nidom, Anda sudah tahu, juga dikenal sebagai ilmuwan penemu vaksin flu burung. Itu yang membuat namanya mendunia. Ia membangun lab di Wisma Permai Surabaya –sejak tidak terlalu aktif di Universitas Airlangga.

Maka, dari pemeriksaan itu, relawan VakNus dari Surabaya bisa mengetahui dua hal sekaligus. Apakah sudah punya antibodi. Sudah. Juga apakah punya perlindungan diri terhadap virus Covid. Sudah.

Saya pun bertanya kepada Prof Nidom: mengapa dibedakan antara antibodi dan proteksi. Apakah kalau sudah punya antibodi tidak otomatis punya proteksi?

"Adanya antibodi belum tentu protektif terhadap virus lapang atau surrogate," ujar Prof Nidom.

Ups.

Berarti saya salah ketika menjelaskan soal antibodi kepada istri. Saya senang sekali ketika melihat hasil lab istri saya: antibodinyi mencapai angka 202. Itu dua minggu setelah vaksin kedua Sinovac. Saya sempat bilang bahwa istri saya tidak mungkin lagi tertular Covid. Angka antibodinya begitu tinggi.

Padahal antibodi anak saya –setelah vaksin kedua Sinovac– hanya di angka 15. Sedang istrinya ''hanya'' di angka 35.

"Ha ha ha mungkin ibu ini pernah kena Covid tapi tidak merasa. Mana ada vaksin menghasilkan antibodi di atas 200 kalau tidak pernah kena Covid," ujar anak saya.

Istri saya tampak terkejut. Lalu berkilah. "Sebelum vaksin dulu saya tiga kali tes. Selalu negatif," bantah istri saya.

Baca Juga :  Anggaran Minta Maaf

Baru sekarang saya tahu antibodi tidak otomatis melindungi. Prof Nidom sudah melakukan penelitian khusus. Yakni terhadap mereka yang sudah menjalani vaksinasi konvensional.

Pemeriksaan itu dilakukan kepada orang yang sudah 1 bulan menjalani vaksinasi kedua.

"Hasilnya ada 3 kelompok," ujar Prof Nidom.

Yakni: 1) Kelompok yang punya antibodi sekaligus punya daya protektif. 2) Kelompok yang punya antibodi, tapi tidak punya daya protektif. 3) Kelompok yang tidak punya antibodi yang otomatis tidak ada daya protektifnya.

"Kelompok 2 dan 3 itu rawan untuk terinfeksi kembali," ujar Prof Nidom.

Memiliki antibodi, ujarnya, belum tentu tidak terinfeksi. "Yang menentukan itu antibodi yang protektif," katanya.

Vaksin untuk Covid, katanya, seharusnya vaksin yang sekaligus bisa menangkal virus. "Virus Covid itu berbeda dengan virus Flu atau flu burung," ujar Prof Nidom. "Virus flu burung itu berhenti di paru-paru. Virus flu biasa berhenti di saluran pernapasan," ujar Prof Nidom. "Sedang virus Covid beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah," ujarnya. "Itulah yang membuat pemilik komorbid dalam bahaya," tambahnya.

Melihat hasil pemeriksaan yang begitu menggembirakan, saya pun ingin memeriksakan diri ke Lab Molekular Prof Nidom. Meski bukan objek penelitian saya kan juga menjalani VakNus bersama para relawan itu. Saya penasaran juga. (Bersambung)

Terpopuler

Artikel Terbaru