Ke mana tahun baru tadi malam? Sampai jam 20.00, saat tulisan ini selesai dibuat, belum ada kesepakatan.
Mayoritas menghendaki tidak ke mana-mana. Tujuan perjalanan keluarga ini tidak untuk merayakan tahun baru.
Istri sudah pasti pilih tidur –seperti juga malam tahun baru tahun-tahun yang lalu. Tidak beda dengan hari-hari biasanya: jam 20.00 sudah tewas.
Isna Iskan sejak siang sudah memprovokasi: jangan ke mana-mana. Di mana pun akan terlalu padat manusia.
Dia punya pengalaman bermalam tahun baru di Shanghai. Di plaza pinggir sungai itu. Di seberang Shanghai Tower itu: tidak bisa bernapas –ibaratnya. Jutaan orang memadati jalan menuju lokasi itu: Jalan Nanjing Timur (南京东路). Apalagi di plataran pinggir sungainya.
Ke lokasi lain? Akan sama saja. Daripada tersiksa lebih baik istirahat di kamar.
Maka saya bersepakat dengan menantunya Bu Dahlan: Mas Tatang. Ia seorang pemusik. Kami berdua akan ke Old Jazz –setelah beres dengan tulisan ini. Bukan karena malam tahun baru.
Hampir setiap kali ke Shanghai saya menikmati Old Jazz itu. Di salah satu pojok ruangan di Peace Hotel –tidak jauh dari plataran pinggir sungai. Itu pun kalau bisa membelah lautan manusia di sepanjang jalan Nanjing Timur.
Di hari-hari biasa yang menikmati Old Jazz hanya sekitar 40 orang. Umumnya orang tua. Pemainnya sendiri memang sudah sangat tua-tua. Kalau dibuat rata-rata umur mereka 82 tahun –karena salah satu dari enam pemainnya berumur 97 tahun.
Itulah klub musik jazz tertua di Shanghai: didirikan tahun 1929. Yakni sejak Peace Hotel sendiri mulai beroperasi.
Tidak ada malam tahun baru.
Tidak ada pesta.
Hari terakhir tahun 2023 kami makan siang di resto Lanzhou Lamian lagi. Sate Xinjiang lagi. Kambing muda lagi. Tambah dumpling kambing. Sop kambing. Nasi goreng kambing.
Setelah makan kaki pun kembali kuat. Lalu berjalan ke stasiun kereta bawah tanah. Tujuan: Zhang Yuan (張園). Dalam ejaan baru ditulis 张园.
Lokasi ini baru. Keren. Di tengah kota Shanghai. Belum sepenuhnya jadi. Wujudnya seperti Xin Dian Di (新天地) di bagian lain kota Shanghai, tapi beda. Ini klasik-modern. Bukan kuno. Anak muda pasti suka ke sini. Tiap sudutnya menarik untuk lokasi foto.
Lokasi Zhang Yuan tidak jauh dari Starbucks terbesar di dunia itu. Yang pernah ada di Disway kapan dulu itu. Tentu kami juga sempatkan masuk Starbucks. Sambil lewat. Menikmati kamar kecilnya.
Dari Starbucks sudah dekat. Tinggal menyeberang jalan. Melewati G-Walk yang menawarkan aneka makanan UMKM –dengan bentuk kios yang seperti di Amerika.
Rupanya Starbucks tersebut telah jadi tujuan wisata yang kuat. Maka dikuatkan sekalian dengan membangun lokasi wisata baru di sebelahnya.
Waktu pun habis. Senja yang dingin telah tiba.
Itulah senja terakhir tahun 2023.
Senja yang ramai. Yang di lokasi ini tampak seperti hari raya. Jalan-jalan di lokasi ini seperti cat walk tak berujung. Hampir semua yang berjalan kaki berpakaian seperti seorang foto model yang siap difoto kapan saja.
Rasanya kota ini terlihat cantik karena orang yang berlalu-lalang cantik-cantik. Tampil cantik, maksud saya.
Lihatlah baju dingin mereka. Lihatlah sepatu boot wanitanya. Lihatlah model-model topinya. Tidak ada yang berpakaian seadanya. Tidak ada yang tidak ber-make-up.
Musim dingin membuat wanita tampil lebih bergaya. Apalagi ini musim dingin tutup tahun.
Kesimpulan saya: kota menjadi cantik kalau yang berlalu-lalang di kota itu juga cantik.
Maka bagi wali kota yang ingin kotanya cantik rasanya perlu memberi insentif bagi wanita yang mau berlalu-lalang dengan gaya yang cantik. Atau memberi subsidi mereka Rp 400 triliun.
Coba saja bila yang berlalu-lalang itu kumuh-kumuh, berkeringat, tidak ber-make-up, rasanya ikut pemilu pun malas.
Nonton ”mode show” itu harus kami akhiri. Malam sudah menjelang.
Hari terakhir di tahun 2023 ini pun habis sepenuhnya untuk melihat bagaimana Shanghai bangkit setelah Covid-19.
Rupanya selama Covid berbagai proyek baru diselesaikan. Begitu Covid lewat banyak hal baru bermunculan.
Tidak semua bisa dilihat. Malam segera tiba. Belum menulis pula. Belum memilih komentar. Maka kami pun bergegas kembali ke hotel –sebuah hotel bintang tiga sekelas Ibis di Indonesia. Pun waktu di Beijing, ”manajemen” perjalanan ini memilih hotel yang sederhana –asal lokasinya strategis.
Sebenarnya saya agak mengeluh soal hotel ini. Bukan soal enak-tidaknya. Tapi jarak antara ranjang dan dindingnya terlalu sempit –untuk senam dansa tiap pagi.
Sering kali kaki menendang pinggir ranjang. Membuat istri kaget. Apa boleh buat. Di musim dingin seperti ini tidak mungkin berolahraga di taman. Padahal makan, tidur dan olahraga sama pentingnya.
Keluhan soal hotel itu pun hanya saya pendam di hati. Kan saya sudah berkomitmen untuk tunduk pada aturan manajemen perjalanan. Anda pun, please, jangan bocorkan soal keluhan ini ke mereka.
Sebenarnya hotel di Shanghai ini mudah dituju. Dari stasiun kereta bawah tanah People Park (人民广场) tinggal tiga belokan. Tapi tadi malam kami kesasar. Ke belokan yang dipenuhi orang antre. Ups, mereka ternyata antre sate kambing muda. Memenuhi pinggir jalan. Saya baca papan nama di atasnya: Sate Kambing Xinjiang. Makanya musiknya mirip musik Arab. Hanya bahasanya bahasa Xinjiang.
Istri saya tidak bisa dicegah: ikut berdesakan di pinggir jalan itu. Beli sate Xinjiang lagi. Antre. Sambil lihat orang-orang bergoyang mengikuti irama musik yang ngebit.
Sate pun di bawa ke hotel. Berikut roti Xinjiang yang ukurannya sebesar roda kursi yang dinaiki istri. Itulah makan malam kami di malam tahun baru 2024.
Sambil makan malam saya membayangkan akan membaca komentar di Disway yang akan saya pilih.
Rasanya, tahun ini, kalau ada komentar terbaik, maka itu adalah komentar yang ditulis Lagarenze 1301 tepat di Hari Ibu yang lalu.
Itulah ”Komentar of the Year” pilihan saya. (Dahlan Iskan)