Site icon Prokalteng

Keadilan Sosial di Negeri Konten

keadilan-sosial-di-negeri-konten

BUKANNYA berhenti dan menolong, ia malah marah-marah kepada
kerumunan orang yang menyuruhnya bertanggung jawab. Kepada mereka itulah ia
memamerkan pistolnya, menggertak, seolah mau berkata, ”Emang apa peduliku?”

Yang mengagumkan saya adalah,
meskipun ada ancaman dengan pistol yang dilambai-lambaikan koboi tersebut,
orang-orang yang mengerumuninya (dan tentu saya yakin mereka kesal tak
kepalang) tak membalasnya dengan kekerasan.

Masalahnya, kita punya sejarah
kekerasan berbentuk main hakim sendiri. Sangat mudah menemukan berita, bahkan
video, tentang pencopet yang dipukul beramai-ramai meskipun awalnya ia
bersenjata.

Tak jauh dari rumah ibu saya,
dulu, bahkan ada seorang kriminal yang dipaksa dikeluarkan dari tahanan kantor
polisi. Mereka tak peduli bocah kriminal itu masih muda, masih bisa tobat, dan
punya banyak harapan di masa depan. Mereka menyeretnya ke jalanan dan
membakarnya hidup-hidup.

Karena bawa pistol? Pernah juga
dulu ada video viral perampokan minimarket dengan senjata api. Orang-orang
melawannya, setidaknya mengganggunya hingga polisi datang dan melumpuhkannya.

Kasus koboi Jakarta ini menarik
karena orang yang petentengan dan jelas-jelas memberi ancaman kekerasan tidak
dibalas dengan kekerasan pula. Apakah masyarakat kita sudah jauh lebih dewasa?
Saya harap demikian.

Yang jelas, ada satu faktor
menentukan sebagaimana terdengar dari rekaman video aksi koboi tersebut. Ya,
ada satu orang yang merekam, tak hanya wajah si koboi dengan pistolnya, tapi
juga jenis mobil dan pelat nomornya. Kita bisa mendengar seseorang berteriak
lantang, ”Viralkan! Viralkan!”

Faktor tersebut adalah media
sosial. Wahana ini membuat orang memilih berteriak ”Viralkan! Viralkan!”
daripada provokasi semacam ”Pukul! Pukul!” atau bahkan ”Bunuh! Bunuh!” yang
bisa memberi masalah kriminal baru bagi pelakunya.

Media sosial, dengan memviralkan
peristiwa kriminal atau sekadar tak patut, menjadi pilihan orang untuk
”menghukum” pelaku. Media sosial telah menjadi ruang bagi masyarakat untuk
mencari keadilan.

Lha, kenapa mencari keadilan di
tempat hiruk pikuk semacam itu? Di tempat para social-justice-warrior
berkhotbah? Tempat para pedagang berbisik, ”maaf, numpang promo”? Tempat dua
kubu entah dalam bidang apa pun menjadikannya ajang perang tak hanya argumen,
tapi juga cemooh? Tempat orang sekadar melemparkan shitpost?

Besar kemungkinan, jawabannya,
karena mereka merasa tak memperoleh keadilan melalui perangkat-perangkat resmi.
Bahwa ada orang petentengan bawa pistol di jalanan saja, bagi orang waras,
sudah merupakan indikasi ketidakadilan.

Bukankah aparat yang berhak
memegang senjata pun tak bisa sewenang-wenang main koboi? Kenapa sistem hukum
kita tak bisa mencegah hal macam ini terjadi?

Kasus di jalanan makin sering
membuat rasa keadilan masyarakat tercabik-cabik. Mobil-mobil dengan pelat
tertentu dengan gagah nyelonong begitu saja di jalur khusus busway, misalnya.

Mereka merasa terbebas dari
tilang. Atau, kalaupun ditilang, denda tilang tak seberapa untuk sebagian orang
itu. Demikian juga yang pakai ”nguing-nguing” di kala macet merasa berhak
menerobos.

Main hakim sendiri, sebagaimana
kerap terjadi, saya pikir merupakan rasa frustrasi atas saluran hukum dan
keadilan yang mampet. Media sosial memberi alternatif lain untuk ”penghukuman”
ini, dengan menjadikannya sebagai alat penekan bagi aparat hukum untuk
bertindak.

Ada banyak kasus di mana pola ini
berhasil. Pemerkosa di daerah Bintaro akhirnya ditangkap, setahun dari
kejadian, setelah kasusnya viral di media sosial. Demikian pula si koboi
Jakarta langsung bisa diketahui identitasnya dan ditangkap polisi.

Meskipun begitu, kisah viral
pencari keadilan di media sosial tak selamanya berakhir baik. Seorang perempuan
yang menceritakan kasus pelecehan seksual yang dialaminya malah memperoleh
tuduhan pencemaran nama baik.

Kenyataannya, media sosial
merupakan rimba konten. Orang tak hanya mencoba mencari keadilan di sana, tapi
bisa juga menjadi ajang pelampiasan dendam. Celah-celah semacam ini, sialnya,
juga difasilitasi oleh undang-undang, termasuk pasal-pasal pencemaran nama
baik.

Wajah gelap media sosial pun
sudah mulai tampak: doxing, misalnya. Itu merujuk ke penyebaran dokumen rahasia
atau personal tanpa izin pemiliknya. Demikian juga perundungan bukan sesuatu
yang jarang terjadi.

Tanpa mengabaikan aspek-aspek
kriminal doxing maupun perundungan, jelas di jagat konten ini pun rasa keadilan
masih sulit dicapai dan menciptakan rasa frustrasi akut.

Kita merasa mentok di hadapan
jalur hukum resmi, karena kasus yang telah diproses tak sedikit yang berakhir
dengan sekadar meterai. Urusan ini sampai jadi lelucon, meterai sebagai pajak
dokumen, jadi tak lebih sebagai ungkapan maaf dan tutup kasus.

Bagaimana tidak jengkel,
ketidakadilan bahkan sudah ada dari muaranya: kenapa ada kendaraan-kendaraan
yang memperoleh pelat nomor khusus yang bisa jadi raja jalanan (di luar
kedaruratan)? Keadilan tak hanya susah payah ditegakkan, tapi juga ditelikung
oleh kasta yang diciptakan oleh sistem. (*)

(EKA KURNIAWAN. Penulis dan
novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016)

Exit mobile version