28.1 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Jeihan

SETAHUN sudah berlalu, lebih satu bulan, sejak
kami terakhir bertemu. Jumat malam silam, 29 November 2019, saya jumpai dia
dalam khidmat yang menusuk dada: antara senang dan sedih. Senang karena
kematian yang dia dambakan telah dianugerahkan oleh Allah, pada akhirnya. Sedih
karena takkan lagi kami berdebat tentang lebih dulu mana antara rindu dan
cinta. Selamat jalan, Mas Jeihan Sukmantoro. Sugeng kondur.

Kami jauh secara jarak dan umur. Ia berusia dua kali lipat dari saya. Mas
Jeihan sudah 81 tahun hingga wafatnya, sedangkan saya 41 tahun. Lebih tepat
saya memanggil maestro pelukis sufi ini eyang, namun sejak pertama bersua di
rumahnya pada akhir 2013, saya dan Mas Jeihan lebih seperti adik dan kakak. Ia
memanggil saya, รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขCanรขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข, sedangkan saya panggil dia, รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขMasรขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข. Mas Jeihan tinggal
di Bandung, saya di Depok, selatan Jakarta.

Kamis masih pagi pada 25 Oktober setahun lalu ketika tiba-tiba pesan pendek
dari Mas Jeihan masuk. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขBisa ke Bandung sekarang?รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข tulisnya. Entah dia
sendiri yang menulis atau penjaga studio di Padasuka yang disuruhnya, yang
jelas dia tak mau berkompromi bahwa saya tergagap dan sebenarnya tidak bisa
berangkat. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขSaya sedang sibuk beberapa urusan di Jakarta,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข dalih saya via
telepon. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขYa. Saya tunggu,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข jawab Mas Jeihan, datar.

Akhirnya, saya mengalah untuk memenuhi permintaannya. Astaga, belum lagi
duduk dengan tenang di Studio Jeihan, dia sudah mencecar saya dengan
kebahagiaan yang luar biasa mendalam. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขAku sido arep mati, Can. Sido!รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข
serunya tanpa ekspresi sedih sedikit pun. Malah sambil menyeringaikan tawa dan
memicingkan dua matanya yang misterius. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขNanti dulu. Ini ada apa?รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข tanya
saya. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขAku jadi akan mati!รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข ujar Mas Jeihan.

Baca Juga :  Awas Bahaya Laten 'Edukasi Massal' VPN

Setelah ia meletakkan buku-bukunya, dan lagi-lagi mengisahkan perjalanan
kreatif dan spiritualitasnya, dari seorang pemikir, lalu penyair, dan perupa,
serta yang terakhir tentang kesufiannya, Mas Jeihan memberi kabar mengejutkan.
รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขAlhamdulillah, Allah menghadiahiku ini, benjolan di leherku ini, untuk
mempercepat mati,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข serunya. Setelah belasan tahun cuci darah karena sakit ginjal,
dia terkena kanker kelenjar getah bening.

Sudah terlalu sering saya mendengar Mas Jeihan bercerita tentang bagaimana
dia mengalahkan S. Sudjojono, gurunya sendiri, dalam sebuah pameran bertajuk
รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขTemunya 2 Ekspresionis Besarรขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข di Jakarta pada 1985. Gara-garanya, Jeihan
membanderol lukisan-lukisannya dengan harga selangit, namun ternyata laku
keras. Dia memang sangat suka memaparkan ulang renungan-renungan dan
pandangannya yang jauh.

Saya juga terlalu sering mendengarnya mengulang-ulang perkataan yang dia
hafal di luar kepala. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขPuncak seni itu puisi, puncak puisi itu filsafat, dan
puncak filsafat itu sufisme,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข tutur Mas Jeihan. Namun, kali itu saya tertegun
ketika dia membaca lagi selarik puisinya dengan tatapan berbinar-binar dan
wajah yang terbahak. Puisi itu ungkapan perasaannya yang amat dalam pada
kematian, yang lama dirindukannya.

Hati tenang,

bunga kembang,

burung terbang,

jalan terang,

aku pulang.

Jika kelahiran dan pernikahan disambut bahagia, menurut Mas Jeihan,
demikian pula seharusnya kematian. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขKelak jika aku mati, anakku sulung sudah
di pintu surga menanti, empat anakku laki-laki mengangkat peti jenazah, dua
anakku perempuan membawa bunga,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข ujarnya. Sejak lama, Mas Jeihan bahkan telah
menyiapkan makamnya sendiri di belakang studio, dengan batu nisan dari
Muntilan, Jawa Tengah, dan menziarahinya.

Baca Juga :  Transformasi Bonek

Mas Jeihan pernah mati suri pada umur 4 tahun setelah jatuh dari tangga.
Sejak saat itu, pelukis kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, 26 September
1938, ini merasa berbeda dari anak-anak lain. Dia mengaku menikmati kehidupan
yang menyepi, tidak benar-benar punya teman yang karib, dan menikmati
kesendiriannya di depan kanvas dengan daya hidup, daya tahan, daya lawan, dan
daya mati. Dengan suwung. Kosong.

Di bulan Ramadan, pada 20 Juni 2017, Mas Jeihan memanggil saya untuk
dilukisnya di studio. Tidak sampai setengah jam, dia telah abadikan saya dengan
sepasang mata hitam, seperti gua gaib yang entah menuju ke mana. Dia pulaskan
warna merah, biru, dan kuning, memberi aura di badan saya dalam kanvas. Lukisan
itu hadiah terbaiknya dan menjadi satu di antara 14 lukisannya yang menghiasi
buku puisi saya, Surat Cinta dari Rindu.

Satu petuah Mas Jeihan terngiang di benak saya hingga kini. Dia berkata,
รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขHidup adalah tentang mitologi dan metodologi. Mitologi diciptakan dengan
spiritualitas, sedangkan metodologi diciptakan dengan kebudayaan.รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข Saya
bersila menghadap jenazah si pelukis mata kucing, yang diselimuti selembar kain
batik. Potretnya seperti menatap, teduh tapi tajam. Terima kasih pernah
menerima saya belajar. Terima kasih untuk hidupmu. (*)

(Penulis adalah budayawan)

SETAHUN sudah berlalu, lebih satu bulan, sejak
kami terakhir bertemu. Jumat malam silam, 29 November 2019, saya jumpai dia
dalam khidmat yang menusuk dada: antara senang dan sedih. Senang karena
kematian yang dia dambakan telah dianugerahkan oleh Allah, pada akhirnya. Sedih
karena takkan lagi kami berdebat tentang lebih dulu mana antara rindu dan
cinta. Selamat jalan, Mas Jeihan Sukmantoro. Sugeng kondur.

Kami jauh secara jarak dan umur. Ia berusia dua kali lipat dari saya. Mas
Jeihan sudah 81 tahun hingga wafatnya, sedangkan saya 41 tahun. Lebih tepat
saya memanggil maestro pelukis sufi ini eyang, namun sejak pertama bersua di
rumahnya pada akhir 2013, saya dan Mas Jeihan lebih seperti adik dan kakak. Ia
memanggil saya, รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขCanรขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข, sedangkan saya panggil dia, รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขMasรขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข. Mas Jeihan tinggal
di Bandung, saya di Depok, selatan Jakarta.

Kamis masih pagi pada 25 Oktober setahun lalu ketika tiba-tiba pesan pendek
dari Mas Jeihan masuk. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขBisa ke Bandung sekarang?รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข tulisnya. Entah dia
sendiri yang menulis atau penjaga studio di Padasuka yang disuruhnya, yang
jelas dia tak mau berkompromi bahwa saya tergagap dan sebenarnya tidak bisa
berangkat. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขSaya sedang sibuk beberapa urusan di Jakarta,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข dalih saya via
telepon. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขYa. Saya tunggu,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข jawab Mas Jeihan, datar.

Akhirnya, saya mengalah untuk memenuhi permintaannya. Astaga, belum lagi
duduk dengan tenang di Studio Jeihan, dia sudah mencecar saya dengan
kebahagiaan yang luar biasa mendalam. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขAku sido arep mati, Can. Sido!รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข
serunya tanpa ekspresi sedih sedikit pun. Malah sambil menyeringaikan tawa dan
memicingkan dua matanya yang misterius. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขNanti dulu. Ini ada apa?รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข tanya
saya. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขAku jadi akan mati!รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข ujar Mas Jeihan.

Baca Juga :  Awas Bahaya Laten 'Edukasi Massal' VPN

Setelah ia meletakkan buku-bukunya, dan lagi-lagi mengisahkan perjalanan
kreatif dan spiritualitasnya, dari seorang pemikir, lalu penyair, dan perupa,
serta yang terakhir tentang kesufiannya, Mas Jeihan memberi kabar mengejutkan.
รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขAlhamdulillah, Allah menghadiahiku ini, benjolan di leherku ini, untuk
mempercepat mati,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข serunya. Setelah belasan tahun cuci darah karena sakit ginjal,
dia terkena kanker kelenjar getah bening.

Sudah terlalu sering saya mendengar Mas Jeihan bercerita tentang bagaimana
dia mengalahkan S. Sudjojono, gurunya sendiri, dalam sebuah pameran bertajuk
รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขTemunya 2 Ekspresionis Besarรขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข di Jakarta pada 1985. Gara-garanya, Jeihan
membanderol lukisan-lukisannya dengan harga selangit, namun ternyata laku
keras. Dia memang sangat suka memaparkan ulang renungan-renungan dan
pandangannya yang jauh.

Saya juga terlalu sering mendengarnya mengulang-ulang perkataan yang dia
hafal di luar kepala. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขPuncak seni itu puisi, puncak puisi itu filsafat, dan
puncak filsafat itu sufisme,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข tutur Mas Jeihan. Namun, kali itu saya tertegun
ketika dia membaca lagi selarik puisinya dengan tatapan berbinar-binar dan
wajah yang terbahak. Puisi itu ungkapan perasaannya yang amat dalam pada
kematian, yang lama dirindukannya.

Hati tenang,

bunga kembang,

burung terbang,

jalan terang,

aku pulang.

Jika kelahiran dan pernikahan disambut bahagia, menurut Mas Jeihan,
demikian pula seharusnya kematian. รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขKelak jika aku mati, anakku sulung sudah
di pintu surga menanti, empat anakku laki-laki mengangkat peti jenazah, dua
anakku perempuan membawa bunga,รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข ujarnya. Sejak lama, Mas Jeihan bahkan telah
menyiapkan makamnya sendiri di belakang studio, dengan batu nisan dari
Muntilan, Jawa Tengah, dan menziarahinya.

Baca Juga :  Transformasi Bonek

Mas Jeihan pernah mati suri pada umur 4 tahun setelah jatuh dari tangga.
Sejak saat itu, pelukis kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, 26 September
1938, ini merasa berbeda dari anak-anak lain. Dia mengaku menikmati kehidupan
yang menyepi, tidak benar-benar punya teman yang karib, dan menikmati
kesendiriannya di depan kanvas dengan daya hidup, daya tahan, daya lawan, dan
daya mati. Dengan suwung. Kosong.

Di bulan Ramadan, pada 20 Juni 2017, Mas Jeihan memanggil saya untuk
dilukisnya di studio. Tidak sampai setengah jam, dia telah abadikan saya dengan
sepasang mata hitam, seperti gua gaib yang entah menuju ke mana. Dia pulaskan
warna merah, biru, dan kuning, memberi aura di badan saya dalam kanvas. Lukisan
itu hadiah terbaiknya dan menjadi satu di antara 14 lukisannya yang menghiasi
buku puisi saya, Surat Cinta dari Rindu.

Satu petuah Mas Jeihan terngiang di benak saya hingga kini. Dia berkata,
รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ขHidup adalah tentang mitologi dan metodologi. Mitologi diciptakan dengan
spiritualitas, sedangkan metodologi diciptakan dengan kebudayaan.รขโ‚ฌโ„ขรขโ‚ฌโ„ข Saya
bersila menghadap jenazah si pelukis mata kucing, yang diselimuti selembar kain
batik. Potretnya seperti menatap, teduh tapi tajam. Terima kasih pernah
menerima saya belajar. Terima kasih untuk hidupmu. (*)

(Penulis adalah budayawan)

Terpopuler

Artikel Terbaru