27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Merawat Ingatan Djoko Pekik

Seniman Djoko Pekik berpulang pada 12 Agustus lalu. Dan, akhir November lalu bertepatan dengan 100 hari berpulangnya seniman yang terkenal dengan lukisan Berburu Celeng itu. Ratusan seniman pun menggelar pameran bersama sebagai wujud ”kirim doa” kepada sang maestro.

PARA seniman yang berpartisipasi pada pameran Nguntapke Djoko Pekik punya kenangan masing-masing terhadap sosok Djoko Pekik. Sebagai bentuk penghormatan kepada perupa anggota Sanggar Bumi Tarung tersebut, senimanseniman itu menggelar pameran di Bentara Budaya Jogja pada 22–28 November lalu.

Karya-karya ratusan seniman yang berpameran tersebut tak hanya tertuang di kanvas dan berwujud lukisan. Ada juga yang mewujudkan kenangannya lewat seni patung seperti yang dikerjakan Dunadi.

Dalam karya bertajuk Kolaborasi, Dunadi membuat patung seorang bocah menaiki punggung celeng emas dan dua ekor tikus terdapat di bawah celeng itu. Celeng memang banyak hadir dalam karya-karya Djoko Pekik. Pelukis yang berpulang pada usia 86 tahun itu dalam banyak wawancara menyebut celeng adalah metafora sifat buruk manusia.

Seniman cum penulis Agus Noor mempersembahkan sosok Djoko Pekik terbang menunggangi celeng saat matahari tenggelam. Lukisan berjudul Pada Suatu Senja Penghabisan itu menyiratkan hari sudah tua, senja datang, dan waktu berganti malam. Waktu beristirahat telah tiba bagi Djoko Pekik.

Baca Juga :  Galeri DKS Surabaya Pamerkan Karya Lukis Batik Anak Zaman Now

Perupa Budi Ubrux pun ikut berpartisipasi. Goresan cat merah berbentuk Djoko Pekik sedang duduk berhadapan dengan sebuah sosok. Entah siapa sosok itu, barangkali Ubrux mencoba memperlihatkan dialog Pekik dengan diri sendiri atau bisa saja representasi Tuhan. Lukisan itu diberi judul Dialog Nganu oleh seniman yang terkenal dengan lukisan koran tersebut.

Mahdi Abdullah, seniman kelahiran Aceh, juga ikut serta. Mahdi melukis Pekik dengan sederhana, tapi tak sederhana. Tatapan Pekik dalam dan kuat, berada di antara pusara dan salib.

”Saya buat saat almarhum Pak Djoko Pekik di rumah, sudah di dalam keranda. Jadi, kami waktu itu melukis bersama untuk mengantar Pak Djoko Pekik ke kuburan. Nah, lukisan ini saya selesaikan di tempat, pakai charcoal,” kenang Mahdi. Mahdi memberi judul Amor Fati pada lukisannya. Sebuah frasa Latin yang berarti mencintai nasib, mencintai takdir.

Al Makin, seniman yang juga rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja, mempersembahkan Pekik yang sedang berdiri tegak. Berbeda dari mayoritas perupa yang memasukkan gambar celeng, Al Makin justru menonjolkan hal yang tak pernah lepas dari Pekik. Yakni, tongkat yang selalu dibawa ke mana-mana. Al Makin memberi judul karyanya Tongkat Siaga Djoko Pekik.

Baca Juga :  Eksplorasi Seni Lintas Disiplin dalam Pameran Seni Kolektif Continuum

”Pegangan hidup. Kan saat ini kita perlu berpegangan pada sesuatu, bukan hanya soal berburu celeng, tetapi pegangan buat diri sendiri atau bahkan masyarakat dan bangsa. Saya kira kita butuh tongkat, butuh agar tegak, butuh berdiri, butuh percaya diri,” papar Al Makin.

Tongkat yang dimaknai pegangan hidup diperlukan dalam kehidupan saat ini. Era saat ini berbeda. Zaman bergerak sangat cepat. Al Makin menilai alhasil banyak manusia yang ragu, galau, bingung, dan tidak tahu harus bagaimana melihat situasi.

”Pegangannya eling, akal sehat, waspada, tidak ikut-ikutan sembarangan. Mampu berpikir untuk diri sendiri, melihat keadaan sekitar dengan sadar, dan tetap berpikir sehat,” papar Al Makin.

Seniman lain yang turut mengambil bagian dari pameran ini, antara lain, Butet Kartaredjasa, Astuti Kusumo, Nasirun, Putu Sutawijaya, Subandi Giyanto, Herjaka, Hermanu, hingga Heru Dodot. (lan/c19/dra/jpg)

Seniman Djoko Pekik berpulang pada 12 Agustus lalu. Dan, akhir November lalu bertepatan dengan 100 hari berpulangnya seniman yang terkenal dengan lukisan Berburu Celeng itu. Ratusan seniman pun menggelar pameran bersama sebagai wujud ”kirim doa” kepada sang maestro.

PARA seniman yang berpartisipasi pada pameran Nguntapke Djoko Pekik punya kenangan masing-masing terhadap sosok Djoko Pekik. Sebagai bentuk penghormatan kepada perupa anggota Sanggar Bumi Tarung tersebut, senimanseniman itu menggelar pameran di Bentara Budaya Jogja pada 22–28 November lalu.

Karya-karya ratusan seniman yang berpameran tersebut tak hanya tertuang di kanvas dan berwujud lukisan. Ada juga yang mewujudkan kenangannya lewat seni patung seperti yang dikerjakan Dunadi.

Dalam karya bertajuk Kolaborasi, Dunadi membuat patung seorang bocah menaiki punggung celeng emas dan dua ekor tikus terdapat di bawah celeng itu. Celeng memang banyak hadir dalam karya-karya Djoko Pekik. Pelukis yang berpulang pada usia 86 tahun itu dalam banyak wawancara menyebut celeng adalah metafora sifat buruk manusia.

Seniman cum penulis Agus Noor mempersembahkan sosok Djoko Pekik terbang menunggangi celeng saat matahari tenggelam. Lukisan berjudul Pada Suatu Senja Penghabisan itu menyiratkan hari sudah tua, senja datang, dan waktu berganti malam. Waktu beristirahat telah tiba bagi Djoko Pekik.

Baca Juga :  Galeri DKS Surabaya Pamerkan Karya Lukis Batik Anak Zaman Now

Perupa Budi Ubrux pun ikut berpartisipasi. Goresan cat merah berbentuk Djoko Pekik sedang duduk berhadapan dengan sebuah sosok. Entah siapa sosok itu, barangkali Ubrux mencoba memperlihatkan dialog Pekik dengan diri sendiri atau bisa saja representasi Tuhan. Lukisan itu diberi judul Dialog Nganu oleh seniman yang terkenal dengan lukisan koran tersebut.

Mahdi Abdullah, seniman kelahiran Aceh, juga ikut serta. Mahdi melukis Pekik dengan sederhana, tapi tak sederhana. Tatapan Pekik dalam dan kuat, berada di antara pusara dan salib.

”Saya buat saat almarhum Pak Djoko Pekik di rumah, sudah di dalam keranda. Jadi, kami waktu itu melukis bersama untuk mengantar Pak Djoko Pekik ke kuburan. Nah, lukisan ini saya selesaikan di tempat, pakai charcoal,” kenang Mahdi. Mahdi memberi judul Amor Fati pada lukisannya. Sebuah frasa Latin yang berarti mencintai nasib, mencintai takdir.

Al Makin, seniman yang juga rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja, mempersembahkan Pekik yang sedang berdiri tegak. Berbeda dari mayoritas perupa yang memasukkan gambar celeng, Al Makin justru menonjolkan hal yang tak pernah lepas dari Pekik. Yakni, tongkat yang selalu dibawa ke mana-mana. Al Makin memberi judul karyanya Tongkat Siaga Djoko Pekik.

Baca Juga :  Eksplorasi Seni Lintas Disiplin dalam Pameran Seni Kolektif Continuum

”Pegangan hidup. Kan saat ini kita perlu berpegangan pada sesuatu, bukan hanya soal berburu celeng, tetapi pegangan buat diri sendiri atau bahkan masyarakat dan bangsa. Saya kira kita butuh tongkat, butuh agar tegak, butuh berdiri, butuh percaya diri,” papar Al Makin.

Tongkat yang dimaknai pegangan hidup diperlukan dalam kehidupan saat ini. Era saat ini berbeda. Zaman bergerak sangat cepat. Al Makin menilai alhasil banyak manusia yang ragu, galau, bingung, dan tidak tahu harus bagaimana melihat situasi.

”Pegangannya eling, akal sehat, waspada, tidak ikut-ikutan sembarangan. Mampu berpikir untuk diri sendiri, melihat keadaan sekitar dengan sadar, dan tetap berpikir sehat,” papar Al Makin.

Seniman lain yang turut mengambil bagian dari pameran ini, antara lain, Butet Kartaredjasa, Astuti Kusumo, Nasirun, Putu Sutawijaya, Subandi Giyanto, Herjaka, Hermanu, hingga Heru Dodot. (lan/c19/dra/jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru