33.4 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Eksplorasi Seni Lintas Disiplin dalam Pameran Seni Kolektif Continuum

Di tangan sembilan seniman dan seorang arsitek, limbah justru menjadi material yang berharga. Abu, serpihan kayu, dan arang ”naik kelas” dan mengisi ruang pameran.

”SAYA justru mengembangkan teknik baru dengan limbah abu,” terang perupa Jemana Murti. Dua di antara tiga karyanya memanfaatkan bahan limbah. Yakni, Fiance serta Father, Mother, and Their Children. Sementara, satu karya lain berjudul Phantasma 4 menggunakan material nonlimbah.

Teknik baru itu digunakannya untuk membuat abu yang tidak memiliki bentuk menjadi punya bentuk. ”Ini menantang sekali, sungguh berbeda dengan karya biasanya yang menggunakan material padat,” kata Murti.

Perbedaan material dari tiga karya itu tidak berpengaruh. Ketiganya sama-sama indah dan menawan. Misalnya, karya berjudul Father, Mother, and Their Children yang merupakan empat relief berkesinambungan berwarna merah muda semu jingga. Relief ini menceritakan hubungan antara manusia dan budaya yang kadang cocok, tetapi kadang juga cekcok.

”Karena itu, hubungan antara manusia dan budaya itu saya representasikan dengan keluarga. Ada ayah, ibu, kakak, dan adik,” papar Murti.

Dia mengungkapkan, di Bali sudah terasa ada yang begitu peduli pada budaya. Namun, hal itu malah membuatnya tidak bisa bekerja. Pun sebaliknya, yakni bekerja, tetapi meninggalkan budayanya. ”Saya mengkritik harmoninya,” ujar Murti.

Baca Juga :  Kopi yang Berestetika

Sementara itu, Phantasma 4 tampil sebagai sebuah relief bermotif mandala saling tumpuk berwarna biru hampir ke ungu. Dilihat sekilas relief ini membuat bingung dan tampak blur. Namun, begitu relief ini terkena lampu, keindahannya terlihat. Akan muncul warna merah di atas relief biru tersebut dan tampak indah.

”Saya memang mengkritik anak muda Bali yang sudah tidak paham dengan budayanya lewat karya ini. Katarak dan buta dengan budayanya hanya karena teknologi,” tegas Murti.

Seniman Joko Avianto juga bereksplorasi dengan karyanya di pameran ini. Dalam karyanya yang berjudul Fold Perception, Avianto menggunakan treatment khusus dan tidak bermain aman. ”Perlakuan khususnya menyatukan kayu serpihan dan menyatukan kayu dengan bambu,” beber Avianto.

Dalam karyanya itu, memang Avianto berfokus dalam lipatan atau drapery. Karyanya adalah sebuah instalasi yang terlihat seakan kain tergantung. Memang, lipatan-lipatannya memberi keindahan tersendiri. Belum lagi karakter materialnya dari oakwood yang memberi kesan elegan. ”Lipatan itu merekam tubuh. Kenapa lipatan berbeda? Karena isinya juga berbeda,” jelas Avianto.

Baca Juga :  Angkat Isu Kekerasan Seksual, Seniman Indonesia Gelar Pentas Monolog di Norwegia

Dia menjelaskan, dalam budaya Timur, saat berhaji, jemaah hanya menggunakan satu kain. Lalu, dalam budaya Barat, dewa-dewa Yunani juga digambarkan mengenakan selembar kain. ”Ternyata lipatan dari sebuah kain itu universal,” kata Avianto.

Lipatan juga menggambarkan status sosial. Dia menuturkan, saat berkunjung ke keraton, ada jubah kebanggaan yang dipajang. Jubah menunjukkan status sosial. ”Tapi, di masyarakat umum juga ada lipatan seperti baju dicantelkan di belakang pintu. Hanya lipatan yang menunjukkan fungsinya,” ujar Avianto.

Kurator pameran Bob Edrian menyebut pameran ini sebagai sebuah kolaborasi yang membuat semua sadar bahwa material paling ekstrem pun bisa diolah menjadi karya seni. Juga diharapkan memicu seniman untuk menerapkan seni interdisiplin dalam pamerannya. ”Ini spektrum dari eksplorasinya seniman,” terang Bob.

Pameran seni kolektif yang bertajuk Continuum: Endless Cycle Creativity ini dihelat atas kerja sama Murai Art Projects beserta TEKA yang berakhir pada Rabu (1/11). Pameran ini dikuti sembilan seniman dan satu arsitek di TEKA Showroom, Serpong, Banten. Terdapat 35 karya berupa lukisan, relief, instalasi, dan sebagainya. (idr/c14/dra)

Di tangan sembilan seniman dan seorang arsitek, limbah justru menjadi material yang berharga. Abu, serpihan kayu, dan arang ”naik kelas” dan mengisi ruang pameran.

”SAYA justru mengembangkan teknik baru dengan limbah abu,” terang perupa Jemana Murti. Dua di antara tiga karyanya memanfaatkan bahan limbah. Yakni, Fiance serta Father, Mother, and Their Children. Sementara, satu karya lain berjudul Phantasma 4 menggunakan material nonlimbah.

Teknik baru itu digunakannya untuk membuat abu yang tidak memiliki bentuk menjadi punya bentuk. ”Ini menantang sekali, sungguh berbeda dengan karya biasanya yang menggunakan material padat,” kata Murti.

Perbedaan material dari tiga karya itu tidak berpengaruh. Ketiganya sama-sama indah dan menawan. Misalnya, karya berjudul Father, Mother, and Their Children yang merupakan empat relief berkesinambungan berwarna merah muda semu jingga. Relief ini menceritakan hubungan antara manusia dan budaya yang kadang cocok, tetapi kadang juga cekcok.

”Karena itu, hubungan antara manusia dan budaya itu saya representasikan dengan keluarga. Ada ayah, ibu, kakak, dan adik,” papar Murti.

Dia mengungkapkan, di Bali sudah terasa ada yang begitu peduli pada budaya. Namun, hal itu malah membuatnya tidak bisa bekerja. Pun sebaliknya, yakni bekerja, tetapi meninggalkan budayanya. ”Saya mengkritik harmoninya,” ujar Murti.

Baca Juga :  Kopi yang Berestetika

Sementara itu, Phantasma 4 tampil sebagai sebuah relief bermotif mandala saling tumpuk berwarna biru hampir ke ungu. Dilihat sekilas relief ini membuat bingung dan tampak blur. Namun, begitu relief ini terkena lampu, keindahannya terlihat. Akan muncul warna merah di atas relief biru tersebut dan tampak indah.

”Saya memang mengkritik anak muda Bali yang sudah tidak paham dengan budayanya lewat karya ini. Katarak dan buta dengan budayanya hanya karena teknologi,” tegas Murti.

Seniman Joko Avianto juga bereksplorasi dengan karyanya di pameran ini. Dalam karyanya yang berjudul Fold Perception, Avianto menggunakan treatment khusus dan tidak bermain aman. ”Perlakuan khususnya menyatukan kayu serpihan dan menyatukan kayu dengan bambu,” beber Avianto.

Dalam karyanya itu, memang Avianto berfokus dalam lipatan atau drapery. Karyanya adalah sebuah instalasi yang terlihat seakan kain tergantung. Memang, lipatan-lipatannya memberi keindahan tersendiri. Belum lagi karakter materialnya dari oakwood yang memberi kesan elegan. ”Lipatan itu merekam tubuh. Kenapa lipatan berbeda? Karena isinya juga berbeda,” jelas Avianto.

Baca Juga :  Angkat Isu Kekerasan Seksual, Seniman Indonesia Gelar Pentas Monolog di Norwegia

Dia menjelaskan, dalam budaya Timur, saat berhaji, jemaah hanya menggunakan satu kain. Lalu, dalam budaya Barat, dewa-dewa Yunani juga digambarkan mengenakan selembar kain. ”Ternyata lipatan dari sebuah kain itu universal,” kata Avianto.

Lipatan juga menggambarkan status sosial. Dia menuturkan, saat berkunjung ke keraton, ada jubah kebanggaan yang dipajang. Jubah menunjukkan status sosial. ”Tapi, di masyarakat umum juga ada lipatan seperti baju dicantelkan di belakang pintu. Hanya lipatan yang menunjukkan fungsinya,” ujar Avianto.

Kurator pameran Bob Edrian menyebut pameran ini sebagai sebuah kolaborasi yang membuat semua sadar bahwa material paling ekstrem pun bisa diolah menjadi karya seni. Juga diharapkan memicu seniman untuk menerapkan seni interdisiplin dalam pamerannya. ”Ini spektrum dari eksplorasinya seniman,” terang Bob.

Pameran seni kolektif yang bertajuk Continuum: Endless Cycle Creativity ini dihelat atas kerja sama Murai Art Projects beserta TEKA yang berakhir pada Rabu (1/11). Pameran ini dikuti sembilan seniman dan satu arsitek di TEKA Showroom, Serpong, Banten. Terdapat 35 karya berupa lukisan, relief, instalasi, dan sebagainya. (idr/c14/dra)

Terpopuler

Artikel Terbaru