26.7 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Nobel Ekonomi dan Kenaikan Upah Minimum

ANUGERAH Nobel Bidang Ekonomi Tahun 2021 telah diumumkan pada awal pekan kedua Oktober. Penghargaan tersebut jatuh ke tangan tiga ekonom, yaitu David Card, Joshua D. Angrist, dan Guido W. Imbens. David Card adalah seorang profesor ekonomi dari University of California, Berkeley. Dia mendapatkan anugerah Nobel berkat kontribusinya secara substansial dan metodologis pada bidang ilmu ekonomi ketenagakerjaan.

Sedangkan Joshua Angrist (MIT) dan Guido Imbens (Stanford) berkontribusi pada sisi metodologi mengenai hubungan sebab akibat (causal relationship) dan juga merupakan penguatan dari metodologi eksperimen alamiah (natural experiment) yang awalnya dikembangkan David Card.

Salah satu kontribusi substansial yang disumbangkan David Card pada awal 1990-an adalah mengenai dampak kenaikan upah minimum. Bersama almarhum Alan Krueger, David Card melakukan sebuah studi eksperimental tentang dampak kenaikan upah minimum di Negara Bagian New Jersey, Amerika Serikat. Kenaikan upah minimum di New Jersey tersebut kemudian dibandingkan dengan daerah tetangganya, yaitu Pennsylvania, yang secara kontras tidak terdapat kenaikan upah minimum.

Berdasar teori kompetitif, mudah diprediksi bahwa kenaikan upah minimum akan membebani biaya operasional perusahaan dan akhirnya menurunkan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pengangguran. Namun, studi dari David Card menghasilkan temuan yang cukup kontroversial. Dengan menggunakan data dari pekerja di 410 restoran cepat saji di New Jersey dan Pennsylvania, Card menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja dan pengangguran.

Pastinya temuan ini memberikan wacana baru bagi para peneliti maupun pengambil kebijakan di banyak negara. Meskipun, kondisi ini juga sangat bergantung pada banyak hal. Seperti bagaimana kondisi pasar kerja, karakteristik dan profil pasar kerja, serta kondisi persaingan usaha pada wilayah tersebut. Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antarwilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antarwilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.

Baca Juga :  Dilema Rencana Impor Beras

Mengapa Hal Ini Dapat Terjadi?

Ada beberapa skenario penyebab naiknya upah minimum tidak selalu menurunkan kesempatan kerja atau menambah angka pengangguran. Pertama, kemungkinan ada kekuatan monopsoni atau pemberi kerja dominan di pasar kerja dibandingkan dengan kekuatan pasar kerja yang cenderung kompetitif. Keberadaan dominasi pemberi kerja akan memberikan keleluasaan bagi pemberi kerja tersebut dalam mengatur tingkat upah yang diberikan. Dan tentu dapat memaksimalkan keuntungan. Dalam studi kasus di New Jersey, ini sangat dimungkinkan karena Card mengambil sampel dari pekerja di restoran cepat saji. Dalam konteks New Jersey, restoran cepat saji merupakan salah satu tempat rujukan utama bagi pencari kerja baru ataupun pekerja kerah biru yang mengharapkan upah di sekitar level minimum.

 

Kemungkinan kedua adalah pemberi kerja merespons kenaikan upah minimum dengan mengurangi atau menghemat pengeluaran operasional di luar upah. Seperti dijelaskan Card bahwa pemberi kerja merespons kenaikan upah dengan mengurangi fringe benefits bagi karyawan ataupun biaya on-the-job training yang harus dikeluarkan untuk menyiapkan tenaga kerja baru. Demikian juga apabila biaya pemutusan kontrak (PHK) ataupun biaya pesangon cukup tinggi, pengurangan kesempatan kerja bukanlah solusi yang tepat bagi banyak pemberi kerja.

Implikasi bagi Indonesia

Secara umum, temuan David Card ini memberikan wawasan baru dalam perdebatan ilmiah tentang dampak kenaikan upah minimum yang selama ini cenderung konvensional. Temuan substansial ini juga dapat menjadi sebuah amunisi bagi para pejuang pro kenaikan upah minimum. Meski kemudian pertanyaannya adalah sampai berapa tinggi upah minimum tersebut layak untuk dinaikkan.

Bagaimana implikasi temuan David Card bagi Indonesia? Indonesia adalah sebuah laboratorium ekonomika ketenagakerjaan yang menarik di mana tingkat upah minimum berbeda antarwilayah. Bahkan, tingkat upah minimum di Indonesia berbeda di level wilayah yang lebih kecil daripada kasus negara bagian di Amerika Serikat, yaitu sampai pada tingkat kabupaten atau kota.

Pemikiran David Card ini, pertama, memberikan pelajaran mengenai pentingnya mencermati dinamika tingkat upah minimum daerah di sekitar ataupun daerah periferi. Mungkin karakteristik pasar kerja di New Jersey dan Pennsylvania kuranglah tepat apabila dibandingkan apple-to-apple dengan Jakarta dengan Bodetabek-nya ataupun Surabaya dengan daerah penyangganya dalam Gerbangkertosusila. Namun, ketidakcermatan dalam melihat dinamika pasar tenaga kerja di wilayah sekitar, apalagi ditambah dengan ego wilayah dalam penetapan upah minimum, dapat memberikan dampak yang kurang positif bagi pasar kerja suatu wilayah.

Baca Juga :  Menahan Kerinduan Beribadah Haji

Kedua, secara metodologis, studi eksperimental alamiah yang dilakukan David Card ini membuka peluang untuk dilakukan kajian-kajian serupa untuk melihat seberapa efektif kebijakan upah minimum di banyak daerah. Apalagi mencermati dinamika terkini semasa pandemi di mana tidak semua wilayah di Indonesia secara seragam menaikkan tingkat upah minimum. Ada daerah yang memutuskan tidak menaikkan upah minimum akibat lesunya perekonomian, namun terdapat pula provinsi yang memutuskan untuk tetap menaikkan upah minimum karena membengkaknya biaya hidup pekerja. Studi eksperimental memungkinkan untuk mengevaluasi dua kebijakan yang kontras tersebut.

Ketiga, temuan David Card tentang dampak kenaikan upah minimum yang tidak selalu berdampak negatif terhadap kesempatan kerja ini mungkin saja ditemukan di banyak tempat di Indonesia. Meskipun tentu dengan argumentasi yang berbeda.

Indonesia dengan kondisi pasar kerja yang unik dan tersegmentasi antara sektor formal dan informal memungkinkan terjadinya pergeseran pekerja dari sektor formal (sektor yang diatur dengan kebijakan upah minimum) ke sektor informal (sektor yang tidak diatur dengan kebijakan upah minimum) ketika upah minimum naik. Sehingga secara agregat, kenaikan upah minimum belum tentu berakibat pada naiknya angka pengangguran atau penurunan penyerapan tenaga kerja. Meskipun demikian, pergeseran pekerja ke sektor informal ini juga patut diwaspadai. Mengingat apabila porsi dari sektor informal terlalu besar, akan berdampak pada tekanan upah atau tingkat kesejahteraan yang semakin turun. (*)

 

DEVANTO SHASTA PRATOMO, Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang

ANUGERAH Nobel Bidang Ekonomi Tahun 2021 telah diumumkan pada awal pekan kedua Oktober. Penghargaan tersebut jatuh ke tangan tiga ekonom, yaitu David Card, Joshua D. Angrist, dan Guido W. Imbens. David Card adalah seorang profesor ekonomi dari University of California, Berkeley. Dia mendapatkan anugerah Nobel berkat kontribusinya secara substansial dan metodologis pada bidang ilmu ekonomi ketenagakerjaan.

Sedangkan Joshua Angrist (MIT) dan Guido Imbens (Stanford) berkontribusi pada sisi metodologi mengenai hubungan sebab akibat (causal relationship) dan juga merupakan penguatan dari metodologi eksperimen alamiah (natural experiment) yang awalnya dikembangkan David Card.

Salah satu kontribusi substansial yang disumbangkan David Card pada awal 1990-an adalah mengenai dampak kenaikan upah minimum. Bersama almarhum Alan Krueger, David Card melakukan sebuah studi eksperimental tentang dampak kenaikan upah minimum di Negara Bagian New Jersey, Amerika Serikat. Kenaikan upah minimum di New Jersey tersebut kemudian dibandingkan dengan daerah tetangganya, yaitu Pennsylvania, yang secara kontras tidak terdapat kenaikan upah minimum.

Berdasar teori kompetitif, mudah diprediksi bahwa kenaikan upah minimum akan membebani biaya operasional perusahaan dan akhirnya menurunkan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pengangguran. Namun, studi dari David Card menghasilkan temuan yang cukup kontroversial. Dengan menggunakan data dari pekerja di 410 restoran cepat saji di New Jersey dan Pennsylvania, Card menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja dan pengangguran.

Pastinya temuan ini memberikan wacana baru bagi para peneliti maupun pengambil kebijakan di banyak negara. Meskipun, kondisi ini juga sangat bergantung pada banyak hal. Seperti bagaimana kondisi pasar kerja, karakteristik dan profil pasar kerja, serta kondisi persaingan usaha pada wilayah tersebut. Penelitian Card juga menunjukkan bahwa perbedaan tingkat upah minimum antarwilayah, terutama wilayah yang berdekatan, tidak selalu menimbulkan guncangan pada pasar kerja. Tidak juga mendorong migrasi tenaga kerja yang berlebih antarwilayah yang akhirnya berdampak negatif pada pasar kerja.

Baca Juga :  Dilema Rencana Impor Beras

Mengapa Hal Ini Dapat Terjadi?

Ada beberapa skenario penyebab naiknya upah minimum tidak selalu menurunkan kesempatan kerja atau menambah angka pengangguran. Pertama, kemungkinan ada kekuatan monopsoni atau pemberi kerja dominan di pasar kerja dibandingkan dengan kekuatan pasar kerja yang cenderung kompetitif. Keberadaan dominasi pemberi kerja akan memberikan keleluasaan bagi pemberi kerja tersebut dalam mengatur tingkat upah yang diberikan. Dan tentu dapat memaksimalkan keuntungan. Dalam studi kasus di New Jersey, ini sangat dimungkinkan karena Card mengambil sampel dari pekerja di restoran cepat saji. Dalam konteks New Jersey, restoran cepat saji merupakan salah satu tempat rujukan utama bagi pencari kerja baru ataupun pekerja kerah biru yang mengharapkan upah di sekitar level minimum.

 

Kemungkinan kedua adalah pemberi kerja merespons kenaikan upah minimum dengan mengurangi atau menghemat pengeluaran operasional di luar upah. Seperti dijelaskan Card bahwa pemberi kerja merespons kenaikan upah dengan mengurangi fringe benefits bagi karyawan ataupun biaya on-the-job training yang harus dikeluarkan untuk menyiapkan tenaga kerja baru. Demikian juga apabila biaya pemutusan kontrak (PHK) ataupun biaya pesangon cukup tinggi, pengurangan kesempatan kerja bukanlah solusi yang tepat bagi banyak pemberi kerja.

Implikasi bagi Indonesia

Secara umum, temuan David Card ini memberikan wawasan baru dalam perdebatan ilmiah tentang dampak kenaikan upah minimum yang selama ini cenderung konvensional. Temuan substansial ini juga dapat menjadi sebuah amunisi bagi para pejuang pro kenaikan upah minimum. Meski kemudian pertanyaannya adalah sampai berapa tinggi upah minimum tersebut layak untuk dinaikkan.

Bagaimana implikasi temuan David Card bagi Indonesia? Indonesia adalah sebuah laboratorium ekonomika ketenagakerjaan yang menarik di mana tingkat upah minimum berbeda antarwilayah. Bahkan, tingkat upah minimum di Indonesia berbeda di level wilayah yang lebih kecil daripada kasus negara bagian di Amerika Serikat, yaitu sampai pada tingkat kabupaten atau kota.

Pemikiran David Card ini, pertama, memberikan pelajaran mengenai pentingnya mencermati dinamika tingkat upah minimum daerah di sekitar ataupun daerah periferi. Mungkin karakteristik pasar kerja di New Jersey dan Pennsylvania kuranglah tepat apabila dibandingkan apple-to-apple dengan Jakarta dengan Bodetabek-nya ataupun Surabaya dengan daerah penyangganya dalam Gerbangkertosusila. Namun, ketidakcermatan dalam melihat dinamika pasar tenaga kerja di wilayah sekitar, apalagi ditambah dengan ego wilayah dalam penetapan upah minimum, dapat memberikan dampak yang kurang positif bagi pasar kerja suatu wilayah.

Baca Juga :  Menahan Kerinduan Beribadah Haji

Kedua, secara metodologis, studi eksperimental alamiah yang dilakukan David Card ini membuka peluang untuk dilakukan kajian-kajian serupa untuk melihat seberapa efektif kebijakan upah minimum di banyak daerah. Apalagi mencermati dinamika terkini semasa pandemi di mana tidak semua wilayah di Indonesia secara seragam menaikkan tingkat upah minimum. Ada daerah yang memutuskan tidak menaikkan upah minimum akibat lesunya perekonomian, namun terdapat pula provinsi yang memutuskan untuk tetap menaikkan upah minimum karena membengkaknya biaya hidup pekerja. Studi eksperimental memungkinkan untuk mengevaluasi dua kebijakan yang kontras tersebut.

Ketiga, temuan David Card tentang dampak kenaikan upah minimum yang tidak selalu berdampak negatif terhadap kesempatan kerja ini mungkin saja ditemukan di banyak tempat di Indonesia. Meskipun tentu dengan argumentasi yang berbeda.

Indonesia dengan kondisi pasar kerja yang unik dan tersegmentasi antara sektor formal dan informal memungkinkan terjadinya pergeseran pekerja dari sektor formal (sektor yang diatur dengan kebijakan upah minimum) ke sektor informal (sektor yang tidak diatur dengan kebijakan upah minimum) ketika upah minimum naik. Sehingga secara agregat, kenaikan upah minimum belum tentu berakibat pada naiknya angka pengangguran atau penurunan penyerapan tenaga kerja. Meskipun demikian, pergeseran pekerja ke sektor informal ini juga patut diwaspadai. Mengingat apabila porsi dari sektor informal terlalu besar, akan berdampak pada tekanan upah atau tingkat kesejahteraan yang semakin turun. (*)

 

DEVANTO SHASTA PRATOMO, Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang

Terpopuler

Artikel Terbaru