25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dilema Rencana Impor Beras

MENJELANG panen raya, hati petani justru
gundah gulana. Rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras membuat petani
resah. Dalih pemerintah impor beras untuk mengamankan stok beras nasional sulit
dicerna nalar petani.

Proyeksi produksi beras Januari–April 2021
sebesar 14,54 juta ton belum dianggap cukup. Untuk memastikan agar stok beras
aman, menteri perdagangan mengalkulasi masih dibutuhkan lagi 1 juta ton beras
dari keran impor. Cadangan beras Bulog, menurut catatan, hanya 500 ribu ton.
Jumlah itu riskan. Agar tidak muncul ulah spekulan yang berpotensi memainkan
harga beras di pasaran, solusinya adalah impor beras.

 

Overstock

Rencana impor 1 juta ton beras dengan cepat mengundang
kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak menuduh pemerintah kurang sensitif
dan berempati pada nasib petani. Waktu pengumuman rencana impor beras yang
dilakukan menjelang panen raya berpotensi membuat petani kolaps.

Efek psikologis rencana impor beras dengan
cepat membuat harga gabah di pasaran merosot. Di berbagai daerah, harga kering
gabah (GKP) jatuh hanya dalam kisaran Rp 3.400 hingga Rp 3.600 per kilogram.
Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, harga kering gabah biasanya di kisaran Rp
4.000. Bahkan sempat naik hingga Rp 4.700 per kilogram pada 2020.

Dengan mengimpor beras, stok cadangan pangan
nasional memang cepat terpenuhi. Selama ini, stok yang aman dikalkulasi sekitar
1,7 juta ton. Artinya, dengan mengimpor 1 juta ton, sebetulnya jumlah itu belum
bisa memastikan stok pangan nasional benar-benar aman. Saat ini stok beras
Bulog hanya 800 ribu ton, di mana 270–300 ribu ton berasal dari sisa impor
beras tahun 2018. Jadi, stok beras Bulog sebetulnya hanya 500 ribu ton.

Menurut pemerintah, itu tidak cukup.
Pengalaman telah membuktikan, ketika stok beras terbatas, yang terjadi adalah
permainan harga di pasaran. Para spekulan dan pengusaha beras biasanya akan
mengeluarkan beras yang mereka timbun ketika beras di pasar langka. Pada titik
ini, wajar bila pemerintah berencana impor beras.

Baca Juga :  FIFA Lebih Pilih Prestasi

Cuma, yang menjadi masalah, apa dampak impor
beras ini bagi petani? Pertanyaan ini perlu dikaji secara mendalam. Sebab, efek
domino impor beras bukan tidak mungkin akan membuat petani menanggung derita
pukulan ganda. Mengimpor beras menjelang panen raya jelas membuat petani
waswas.

Bagi petani, makin sedikit stok beras di
Bulog sebenarnya dinilai makin baik. Gabah dan beras milik mereka akan lebih
berpeluang terjual di pasar maupun terserap Bulog. Tetapi, pertimbangan
pemerintah tampaknya berbeda. Beras yang berlimpah dan stok yang cukup di Bulog
dinilai lebih baik untuk membangun ketahanan pangan nasional.

Ketika stok beras berlimpah, justru itu
adalah masa-masa petani rawan mengalami kerugian. Harga akan turun, bahkan
dalam skala yang tidak lagi menguntungkan bila dibandingkan biaya produksi yang
dikeluarkan.

 

Nilai Tukar Petani

 

Petani kerap berada dalam posisi yang
dilematis. Ketika cadangan pangan berkurang, mereka dituntut terus memproduksi
gabah dan beras. Sementara itu, saat harga gabah dan beras naik, pemerintah
turun tangan menggelar operasi pasar mencegah harga tidak naik. Pada posisi
seperti ini, berharap petani dapat meraih keuntungan dari komoditas yang mereka
hasilkan rasanya memang mustahil.

Selama ini, banyak bukti menunjukkan petani
sering kali dihadapkan pada berbagai masalah. Pertama, akibat posisi bargaining
yang lemah, petani biasanya selalu menerima pembagian margin keuntungan yang
paling kecil.

Pada saat panen tiba, petani menjual hasil
produksinya dalam bentuk gabah kering. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, petani membeli kembali gabah miliknya yang telah diselep menjadi
beras dengan harga berlipat.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika
petani menjual gabah miliknya hanya sekitar Rp 3.500 per kilogram. Sementara,
ketika membeli beras untuk makan keluarganya, mereka harus mengeluarkan uang sekitar
Rp 10 ribu sampai Rp 12 ribu per kilogram.

Baca Juga :  Afirmasi Pajak, Mungkinkah?

Kedua, berkaitan dengan nilai tukar produk
pertanian dibandingkan produk lain kebutuhan sehari-hari keluarga petani. Nilai
tukar petani (NTP) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It)
terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP adalah salah satu indikator
untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. NTP juga
menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan
jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

Menurut data BPS, NTP nasional Mei 2020
sebesar 99,47 atau turun 0,85 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan
NTP disebabkan indeks harga yang diterima petani (It) turun 0,86 persen, lebih
besar dari penurunan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang turun 0,01
persen. Artinya, dengan biaya produksi dan tenaga yang telah dikeluarkan,
termasuk risiko gagal panen, hasil yang diterima petani ternyata tidaklah
sepadan.

Uang yang diterima petani dari hasil menjual
gabah ternyata tidak seimbang dengan kenaikan produk-produk lain kebutuhan
sehari-hari mereka. Akibatnya, daya tarik bekerja di sektor pertanian dari
tahun ke tahun makin turun. Di berbagai daerah, bukan rahasia lagi animo anak
muda untuk bertani terus turun. Bekerja sebagai petani tidak lagi menarik,
karena disadari hasilnya kurang memadai.

Memastikan agar petani tidak menjadi korban
kebijakan impor beras benar-benar harus menjadi perhatian pemerintah. Tetapi,
di luar itu, jangan lupa bahwa nasib petani tidak otomatis membaik meski
rencana impor beras dibatalkan. Untuk membantu memperbaiki kesejahteraan
petani, pemerintah harus membantu petani memperoleh apa yang menjadi hak
mereka. Mendorong agar petani benar-benar berdaya dan bisa menikmati hasil
jerih payahnya hanya bisa dilakukan jika pemerintah serius berpihak pada nasib
petani. (*)



Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas
Airlangga

MENJELANG panen raya, hati petani justru
gundah gulana. Rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras membuat petani
resah. Dalih pemerintah impor beras untuk mengamankan stok beras nasional sulit
dicerna nalar petani.

Proyeksi produksi beras Januari–April 2021
sebesar 14,54 juta ton belum dianggap cukup. Untuk memastikan agar stok beras
aman, menteri perdagangan mengalkulasi masih dibutuhkan lagi 1 juta ton beras
dari keran impor. Cadangan beras Bulog, menurut catatan, hanya 500 ribu ton.
Jumlah itu riskan. Agar tidak muncul ulah spekulan yang berpotensi memainkan
harga beras di pasaran, solusinya adalah impor beras.

 

Overstock

Rencana impor 1 juta ton beras dengan cepat mengundang
kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak menuduh pemerintah kurang sensitif
dan berempati pada nasib petani. Waktu pengumuman rencana impor beras yang
dilakukan menjelang panen raya berpotensi membuat petani kolaps.

Efek psikologis rencana impor beras dengan
cepat membuat harga gabah di pasaran merosot. Di berbagai daerah, harga kering
gabah (GKP) jatuh hanya dalam kisaran Rp 3.400 hingga Rp 3.600 per kilogram.
Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, harga kering gabah biasanya di kisaran Rp
4.000. Bahkan sempat naik hingga Rp 4.700 per kilogram pada 2020.

Dengan mengimpor beras, stok cadangan pangan
nasional memang cepat terpenuhi. Selama ini, stok yang aman dikalkulasi sekitar
1,7 juta ton. Artinya, dengan mengimpor 1 juta ton, sebetulnya jumlah itu belum
bisa memastikan stok pangan nasional benar-benar aman. Saat ini stok beras
Bulog hanya 800 ribu ton, di mana 270–300 ribu ton berasal dari sisa impor
beras tahun 2018. Jadi, stok beras Bulog sebetulnya hanya 500 ribu ton.

Menurut pemerintah, itu tidak cukup.
Pengalaman telah membuktikan, ketika stok beras terbatas, yang terjadi adalah
permainan harga di pasaran. Para spekulan dan pengusaha beras biasanya akan
mengeluarkan beras yang mereka timbun ketika beras di pasar langka. Pada titik
ini, wajar bila pemerintah berencana impor beras.

Baca Juga :  FIFA Lebih Pilih Prestasi

Cuma, yang menjadi masalah, apa dampak impor
beras ini bagi petani? Pertanyaan ini perlu dikaji secara mendalam. Sebab, efek
domino impor beras bukan tidak mungkin akan membuat petani menanggung derita
pukulan ganda. Mengimpor beras menjelang panen raya jelas membuat petani
waswas.

Bagi petani, makin sedikit stok beras di
Bulog sebenarnya dinilai makin baik. Gabah dan beras milik mereka akan lebih
berpeluang terjual di pasar maupun terserap Bulog. Tetapi, pertimbangan
pemerintah tampaknya berbeda. Beras yang berlimpah dan stok yang cukup di Bulog
dinilai lebih baik untuk membangun ketahanan pangan nasional.

Ketika stok beras berlimpah, justru itu
adalah masa-masa petani rawan mengalami kerugian. Harga akan turun, bahkan
dalam skala yang tidak lagi menguntungkan bila dibandingkan biaya produksi yang
dikeluarkan.

 

Nilai Tukar Petani

 

Petani kerap berada dalam posisi yang
dilematis. Ketika cadangan pangan berkurang, mereka dituntut terus memproduksi
gabah dan beras. Sementara itu, saat harga gabah dan beras naik, pemerintah
turun tangan menggelar operasi pasar mencegah harga tidak naik. Pada posisi
seperti ini, berharap petani dapat meraih keuntungan dari komoditas yang mereka
hasilkan rasanya memang mustahil.

Selama ini, banyak bukti menunjukkan petani
sering kali dihadapkan pada berbagai masalah. Pertama, akibat posisi bargaining
yang lemah, petani biasanya selalu menerima pembagian margin keuntungan yang
paling kecil.

Pada saat panen tiba, petani menjual hasil
produksinya dalam bentuk gabah kering. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, petani membeli kembali gabah miliknya yang telah diselep menjadi
beras dengan harga berlipat.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika
petani menjual gabah miliknya hanya sekitar Rp 3.500 per kilogram. Sementara,
ketika membeli beras untuk makan keluarganya, mereka harus mengeluarkan uang sekitar
Rp 10 ribu sampai Rp 12 ribu per kilogram.

Baca Juga :  Afirmasi Pajak, Mungkinkah?

Kedua, berkaitan dengan nilai tukar produk
pertanian dibandingkan produk lain kebutuhan sehari-hari keluarga petani. Nilai
tukar petani (NTP) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It)
terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP adalah salah satu indikator
untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. NTP juga
menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan
jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

Menurut data BPS, NTP nasional Mei 2020
sebesar 99,47 atau turun 0,85 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan
NTP disebabkan indeks harga yang diterima petani (It) turun 0,86 persen, lebih
besar dari penurunan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang turun 0,01
persen. Artinya, dengan biaya produksi dan tenaga yang telah dikeluarkan,
termasuk risiko gagal panen, hasil yang diterima petani ternyata tidaklah
sepadan.

Uang yang diterima petani dari hasil menjual
gabah ternyata tidak seimbang dengan kenaikan produk-produk lain kebutuhan
sehari-hari mereka. Akibatnya, daya tarik bekerja di sektor pertanian dari
tahun ke tahun makin turun. Di berbagai daerah, bukan rahasia lagi animo anak
muda untuk bertani terus turun. Bekerja sebagai petani tidak lagi menarik,
karena disadari hasilnya kurang memadai.

Memastikan agar petani tidak menjadi korban
kebijakan impor beras benar-benar harus menjadi perhatian pemerintah. Tetapi,
di luar itu, jangan lupa bahwa nasib petani tidak otomatis membaik meski
rencana impor beras dibatalkan. Untuk membantu memperbaiki kesejahteraan
petani, pemerintah harus membantu petani memperoleh apa yang menjadi hak
mereka. Mendorong agar petani benar-benar berdaya dan bisa menikmati hasil
jerih payahnya hanya bisa dilakukan jika pemerintah serius berpihak pada nasib
petani. (*)



Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas
Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru