29.9 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Menuju Kemenangan Sejati Melawan Pandemi Covid-19

KEHENINGAN, kekhidmatan, dan kekhusyukan
Ramadan ternoda oleh aksi OTT KPK terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat
(10/5/2021). Dia dikenal luas sebagai pejabat publik yang bersih, kaya raya,
dan tidak mengambil gaji, serta calon pemimpin masa depan. Di tengah kerja keras
bangsa ini keluar dari kubangan pandemi Covid-19, berita OTT tersebut ibarat
palu godam yang mengentakkan kesadaran terdalam nurani bangsa ini. Ternyata
kita tengah dikepung oleh dua jenis pandemi yang sama-sama ”mematikan”: pandemi
Covid-19 yang menyerang fisik-jasmani kita dan pandemi moral yang menggerogoti
psikis-spiritual kita.

Pelajaran moral yang bisa kita petik dari
peristiwa OTT tersebut adalah setiap individu dari bangsa ini tidak boleh
terlalu percaya diri atau jemawa terhadap sistem imunitas spiritual kita.
Kepercayaan diri yang overdosis justru dapat menjadi toksin tambahan yang
menyerupai penyakit autoimun. Alih-alih sistem antibodi kita mampu
mengidentifikasi dan menghadang gempuran virus dari luar, sistem imunitas tubuh
kita justru menyerang sel-sel sehat dari dalam. Selain itu, sistem deteksi
internal terhadap kemunculan ancaman virus pandemi moral harus dihidupkan
sepanjang hayat.

 

Kejatuhan Peradaban

Dahsyatnya pandemi Covid-19 sebenarnya tidak
mampu menandingi dahsyatnya pandemi moral. Jika pandemi Covid-19 merontokkan
sendi-sendi kehidupan yang bersifat fisik dan tangible (kasatmata), pandemi
moral siap meluluhlantakkan kehidupan yang bersifat nonfisik dan intangible
(tidak kasatmata). Dampak kerusakan pandemi moral dapat melipatgandakan efek
penderitaan dan kesengsaraan yang bersifat masif-sistemik. Artinya, dampak
kerusakan pandemi moral memiliki efek domino yang jauh lebih dahsyat ketimbang
dampak pandemi Covid-19.

Dalam pandangan kaum pesimistis seperti
Christopher Gowans (Innocence Lost, 1994), tragedi moral dapat menyebabkan
dampak kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (irreversible damages). Kehancuran
dan kepunahan bangsa-bangsa dari panggung peradaban umat manusia selalu diawali
defisit moral. Dalam konteks ini, Alquran banyak menginformasikan punahnya
bangsa-bangsa terdahulu akibat degradasi moral yang telah mereka perbuat.
Contoh, hancurnya Bani Rasib umat Nabi Nuh AS (QS Hud: 43), kaum Sodom umat
Nabi Luth AS (QS Al-A’raf: 80), kaum Tsamud umat Nabi Saleh AS (QS Hud: 61), kaum
Aad umat Nabi Hud AS (QS Fushilat: 15), dan sebagainya berawal dari dekadensi
moral yang mengabaikan pesan Tuhan.

Baca Juga :  Mural Politik dan Perebutan Ruang Publik

 

Selain narasi kitab suci, cerita hancur dan
punahnya bangsa-bangsa besar juga telah dinarasikan oleh banyak sejarawan (Ibnu
Khaldun, 1377; F. Guizot, 1878; J. Diamond, 2013). Berbagai dinasti, kerajaan,
dan bangsa datang silih berganti mengisi lembaran sejarah peradaban manusia.
Tetapi, ada satu benang merah yang membuat bangsa-bangsa tersebut hancur dan
punah: faktor internal berupa sikap mental kolektif yang mengabaikan
nilai-nilai moral sebagai pemandu utama kehidupan. Sikap mental semacam ini
menyebabkan pembusukan dari dalam yang mengantarkan mereka pada
kehancuran-kepunahan.

 

Pandemi Moral

Pandemi moral sebagai penyebab internal
kepunahan sebuah peradaban layak digarisbawahi di sini. Erich Fromm (1982)
menyebutnya sebagai ”sindrom pembusukan” (syndrome of decay), sementara
Mcfarland (2020) menyebutnya sebagai ”pembusukan moral” (moral decay), dan
Odunze (1983) menyebutnya sebagai ”dekadensi moral” (moral decadence).

Indonesia memang masih ada di peta sejarah
bangsa-bangsa dan berdiri kukuh sebagai sebuah negara. Tetapi, kepunahannya
bukan sesuatu yang mustahil jika pengeroposan dan pembusukan moral justru
dilakukan dari dalam oleh bangsa sendiri.

Yang justru memprihatinkan adalah kasus-kasus
OTT ternyata melibatkan figur publik yang memiliki rekam jejak ”mentereng”
secara moral. OTT terhadap mantan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah yang pernah
menerima penghargaan Antikorupsi Bung Hatta Award menjadi contoh yang paling
gamblang, selain tentu saja OTT terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat.
Ada juga OTT terhadap mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang mengorupsi
dana bantuan penanganan Covid-19.

Kasus-kasus OTT terhadap sejumlah figur
publik yang dicitrakan sebagai pejabat bersih menyisakan keprihatinan mendalam
dalam kamus kehidupan politik kita yang masih dikuasai sistem ”kartel” dan
oligarki politik. Pelajarannya adalah: figur-figur muda yang potensial tidak
boleh dimanjakan oleh pujian berlebihan karena perjalanan karier politik mereka
masih ”koma”, belum ”titik”. Di sepanjang karier politiknya, mereka masih
mungkin menghadapi lubang ujian yang dapat membuatnya terpeleset, terpelanting,
dan terjatuh di tengah jalan.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Dalam sistem politik ”kartel” dan oligarki,
isunya adalah pertarungan antara kekuatan moralitas individu versus sistem
politik korup yang koersif. Dalam sistem politik semacam ini, sekuat apa pun
mekanisme pertahanan moral yang dimiliki oleh seorang individu tidak bisa
menjamin kemenangan melawan korupnya sistem politik ”kartel” dan oligarki.
Siapa pun dan sesaleh apa pun seorang pejabat belum tentu tahan uji terhadap
godaan korupsi yang menghadang di depannya.

Menghadapi pandemi moral bangsa yang
sedemikian akut dan mengkhawatirkan, memaknai takwa sebagai vaksinasi sekaligus
detoksifikasi spiritual menemukan signifikansinya. Vaksinasi spiritual menjadi
kebutuhan mendesak untuk memenangkan pertarungan melawan pandemi moral yang
efeknya jauh lebih dahsyat dan sistemik. Diraihnya derajat takwa sebagai tujuan
ibadah puasa (QS Al Baqarah: 183) harus dimaknai sebagai upaya membentengi diri
dari segala mara bahaya yang dapat merusak diri sendiri maupun orang lain
(Fazlur Rahman, 1980).

Namun, apa lacur, kebanyakan pelaku puasa
masih berkutat pada pemaknaan puasa sebagai penggugur kewajiban. Imam Al
Ghazali menyebutnya sebagai ”puasa awam”. Kata Nabi SAW, puasa yang demikian
tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga. Takwa yang secara
harfiah bermakna ”penghindaran” dan ”pencegahan” dari berbagai mara bahaya
seharusnya diinternalisasi oleh para pelaku puasa sebagai nilai inti (core
value) yang melandasi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak sepanjang hidup.
Hanya dengan cara demikian bangsa ini akan dapat memenangi pertarungan melawan
berbagai macam pandemi, terutama pandemi dekadensi moral. Semoga! (*)

 

Masdar Hilmy, Guru Besar dan Rektor UIN
Sunan Ampel Surabaya

KEHENINGAN, kekhidmatan, dan kekhusyukan
Ramadan ternoda oleh aksi OTT KPK terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat
(10/5/2021). Dia dikenal luas sebagai pejabat publik yang bersih, kaya raya,
dan tidak mengambil gaji, serta calon pemimpin masa depan. Di tengah kerja keras
bangsa ini keluar dari kubangan pandemi Covid-19, berita OTT tersebut ibarat
palu godam yang mengentakkan kesadaran terdalam nurani bangsa ini. Ternyata
kita tengah dikepung oleh dua jenis pandemi yang sama-sama ”mematikan”: pandemi
Covid-19 yang menyerang fisik-jasmani kita dan pandemi moral yang menggerogoti
psikis-spiritual kita.

Pelajaran moral yang bisa kita petik dari
peristiwa OTT tersebut adalah setiap individu dari bangsa ini tidak boleh
terlalu percaya diri atau jemawa terhadap sistem imunitas spiritual kita.
Kepercayaan diri yang overdosis justru dapat menjadi toksin tambahan yang
menyerupai penyakit autoimun. Alih-alih sistem antibodi kita mampu
mengidentifikasi dan menghadang gempuran virus dari luar, sistem imunitas tubuh
kita justru menyerang sel-sel sehat dari dalam. Selain itu, sistem deteksi
internal terhadap kemunculan ancaman virus pandemi moral harus dihidupkan
sepanjang hayat.

 

Kejatuhan Peradaban

Dahsyatnya pandemi Covid-19 sebenarnya tidak
mampu menandingi dahsyatnya pandemi moral. Jika pandemi Covid-19 merontokkan
sendi-sendi kehidupan yang bersifat fisik dan tangible (kasatmata), pandemi
moral siap meluluhlantakkan kehidupan yang bersifat nonfisik dan intangible
(tidak kasatmata). Dampak kerusakan pandemi moral dapat melipatgandakan efek
penderitaan dan kesengsaraan yang bersifat masif-sistemik. Artinya, dampak
kerusakan pandemi moral memiliki efek domino yang jauh lebih dahsyat ketimbang
dampak pandemi Covid-19.

Dalam pandangan kaum pesimistis seperti
Christopher Gowans (Innocence Lost, 1994), tragedi moral dapat menyebabkan
dampak kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (irreversible damages). Kehancuran
dan kepunahan bangsa-bangsa dari panggung peradaban umat manusia selalu diawali
defisit moral. Dalam konteks ini, Alquran banyak menginformasikan punahnya
bangsa-bangsa terdahulu akibat degradasi moral yang telah mereka perbuat.
Contoh, hancurnya Bani Rasib umat Nabi Nuh AS (QS Hud: 43), kaum Sodom umat
Nabi Luth AS (QS Al-A’raf: 80), kaum Tsamud umat Nabi Saleh AS (QS Hud: 61), kaum
Aad umat Nabi Hud AS (QS Fushilat: 15), dan sebagainya berawal dari dekadensi
moral yang mengabaikan pesan Tuhan.

Baca Juga :  Mural Politik dan Perebutan Ruang Publik

 

Selain narasi kitab suci, cerita hancur dan
punahnya bangsa-bangsa besar juga telah dinarasikan oleh banyak sejarawan (Ibnu
Khaldun, 1377; F. Guizot, 1878; J. Diamond, 2013). Berbagai dinasti, kerajaan,
dan bangsa datang silih berganti mengisi lembaran sejarah peradaban manusia.
Tetapi, ada satu benang merah yang membuat bangsa-bangsa tersebut hancur dan
punah: faktor internal berupa sikap mental kolektif yang mengabaikan
nilai-nilai moral sebagai pemandu utama kehidupan. Sikap mental semacam ini
menyebabkan pembusukan dari dalam yang mengantarkan mereka pada
kehancuran-kepunahan.

 

Pandemi Moral

Pandemi moral sebagai penyebab internal
kepunahan sebuah peradaban layak digarisbawahi di sini. Erich Fromm (1982)
menyebutnya sebagai ”sindrom pembusukan” (syndrome of decay), sementara
Mcfarland (2020) menyebutnya sebagai ”pembusukan moral” (moral decay), dan
Odunze (1983) menyebutnya sebagai ”dekadensi moral” (moral decadence).

Indonesia memang masih ada di peta sejarah
bangsa-bangsa dan berdiri kukuh sebagai sebuah negara. Tetapi, kepunahannya
bukan sesuatu yang mustahil jika pengeroposan dan pembusukan moral justru
dilakukan dari dalam oleh bangsa sendiri.

Yang justru memprihatinkan adalah kasus-kasus
OTT ternyata melibatkan figur publik yang memiliki rekam jejak ”mentereng”
secara moral. OTT terhadap mantan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah yang pernah
menerima penghargaan Antikorupsi Bung Hatta Award menjadi contoh yang paling
gamblang, selain tentu saja OTT terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat.
Ada juga OTT terhadap mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang mengorupsi
dana bantuan penanganan Covid-19.

Kasus-kasus OTT terhadap sejumlah figur
publik yang dicitrakan sebagai pejabat bersih menyisakan keprihatinan mendalam
dalam kamus kehidupan politik kita yang masih dikuasai sistem ”kartel” dan
oligarki politik. Pelajarannya adalah: figur-figur muda yang potensial tidak
boleh dimanjakan oleh pujian berlebihan karena perjalanan karier politik mereka
masih ”koma”, belum ”titik”. Di sepanjang karier politiknya, mereka masih
mungkin menghadapi lubang ujian yang dapat membuatnya terpeleset, terpelanting,
dan terjatuh di tengah jalan.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Dalam sistem politik ”kartel” dan oligarki,
isunya adalah pertarungan antara kekuatan moralitas individu versus sistem
politik korup yang koersif. Dalam sistem politik semacam ini, sekuat apa pun
mekanisme pertahanan moral yang dimiliki oleh seorang individu tidak bisa
menjamin kemenangan melawan korupnya sistem politik ”kartel” dan oligarki.
Siapa pun dan sesaleh apa pun seorang pejabat belum tentu tahan uji terhadap
godaan korupsi yang menghadang di depannya.

Menghadapi pandemi moral bangsa yang
sedemikian akut dan mengkhawatirkan, memaknai takwa sebagai vaksinasi sekaligus
detoksifikasi spiritual menemukan signifikansinya. Vaksinasi spiritual menjadi
kebutuhan mendesak untuk memenangkan pertarungan melawan pandemi moral yang
efeknya jauh lebih dahsyat dan sistemik. Diraihnya derajat takwa sebagai tujuan
ibadah puasa (QS Al Baqarah: 183) harus dimaknai sebagai upaya membentengi diri
dari segala mara bahaya yang dapat merusak diri sendiri maupun orang lain
(Fazlur Rahman, 1980).

Namun, apa lacur, kebanyakan pelaku puasa
masih berkutat pada pemaknaan puasa sebagai penggugur kewajiban. Imam Al
Ghazali menyebutnya sebagai ”puasa awam”. Kata Nabi SAW, puasa yang demikian
tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga. Takwa yang secara
harfiah bermakna ”penghindaran” dan ”pencegahan” dari berbagai mara bahaya
seharusnya diinternalisasi oleh para pelaku puasa sebagai nilai inti (core
value) yang melandasi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak sepanjang hidup.
Hanya dengan cara demikian bangsa ini akan dapat memenangi pertarungan melawan
berbagai macam pandemi, terutama pandemi dekadensi moral. Semoga! (*)

 

Masdar Hilmy, Guru Besar dan Rektor UIN
Sunan Ampel Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru