26.5 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Kenapa Telepon Berdering di Hari Minggu?

KELUARGA itu hanya hidup bahagia di hari Minggu –seperti juga,
barangkali, keluarga lain di dunia ini. Pada hari Minggu mereka boleh bangun
pukul sembilan atau sepuluh. Malas-malasan di atas kasur hingga siang, tidak
perlu buru-buru mandi, dan tak harus mengangkat telepon yang berdering
berkali-kali.

Senya, yang sedang asyik
membuka-buka majalah di tempat tidur, berpikir bagaimana bisa seseorang masih
mengingat nomor telepon rumah mereka? Telepon yang sekarang lebih mirip barang
antik di sebuah meja kecil di sudut ruang keluarga. Jimi asyik membuka situs
berita olahraga di layar ponselnya, mengeluhkan nasib tim sepak bola
kesayangannya yang harus kalah lagi dalam permainan kandang yang semalam dia
tinggal tidur pada menit ke-70, dan mencoba tidak terganggu dengan bunyi
telepon itu. Tanis, anak satu-satunya keluarga itu, masih tidur memeluk guling
dan bermimpi sedang memanjat sebatang pohon raksasa yang membawanya pergi ke
atas awan yang mirip es krim dalam sebuah iklan di televisi. Dan, dia
menjejakkan kakinya di sana, di atas es krim itu. Dan, dia tak bisa menahan
tawanya, antara takjub dan merasa konyol.

Telepon tidak juga berhenti
berdering. Bahkan, rasanya tambah nyaring. Senya mengembuskan napasnya. Pada
hari Minggu mereka tidak harus mengerjakan apa pun yang tak membahagiakan. Pada
hari itu mereka boleh mengabaikan semua kejadian di luar, termasuk suara serak
tukang roti keliling langganan Tanis yang bertubuh terlalu kurus –dan Senya
bilang kepada Tanis, apa tukang roti itu selalu kelaparan dan tidak pernah
makan roti jualannya sendiri? Hari itu mereka tidak perlu bersih-bersih atau
membuka jendela dan tirai atau menyapu halaman yang dipenuhi daun jambu. Sebab,
semua itu nantinya akan dibereskan pada hari mereka kehilangan rasa bahagia
sejak pagi-pagi sekali. Pada hari seluruh hidup mereka dihabiskan untuk
bertempur dengan jadwal-jadwal yang ketat dan keharusan ini-itu.

Mereka memang tak membuat
peraturan melarang mengangkat telepon pada hari Minggu. Tapi, bunyi telepon
yang terdengar sengit dan memaksa seperti itu kemungkinan besar mengantarkan
kabar tidak menyenangkan yang dapat mengacaukan hari Minggu mereka. Sudah
sekian kabar buruk yang mereka terima lewat telepon rumah itu pada tahun-tahun
dulu. Karena itu, sekarang mereka merasa beruntung karena dunia telekomunikasi
menemukan telepon pintar. Sehingga mereka bisa menyiasati segala sesuatunya;
bunyi panggilan yang dikecilkan atau dimatikan, bunyi pesan yang cukup diberi
nada ”beep” atau diganti dengan getar saja dan mereka bisa menunda sebuah kabar
buruk sampai kepada mereka hingga waktu yang mereka inginkan.

Mungkin ada sesuatu yang
benar-benar penting, Jimi akhirnya menyerah dan berkata kepada Senya yang masih
menekuri majalahnya.

Senya agak kesal dan mendongak,
”Tidak ada yang lebih penting selain yang ingin kita lakukan pada hari Minggu,”
katanya, seakan mengingatkan Jimi tentang peraturan dalam keluarga mereka.
Setelah berkata begitu, Senya buru-buru keluar dari kamar dan mencabut kabel
telepon. Seharusnya sudah lama dia melakukannya. Rekan kerja dan teman-temannya
nyaris tak ada lagi yang menghubungi lewat telepon rumah itu. Semua sudah lama
berubah. Dia tidak tahu kenapa telepon itu masih ada di rumah mereka. Tahun ini
hanya beberapa kali ada yang menelepon ke sana dan dua di antaranya panggilan
salah sambung.

”Bagaimana jika itu penting?”
kata Jimi bersikeras ketika Senya kembali ke kamar dan memberi tahu apa yang
baru dia lakukan. ”Bagaimana jika itu telepon darurat?”

Baca Juga :  Bulu Bergincu

”Tidak ada yang lebih penting
selain yang ingin kita lakukan!” kata Senya, mengulang dengan tegas peraturan
hari Minggu di rumah mereka. ”Jangan merusak semuanya, Jim, tolonglah,”
sambungnya mendesah.

Senya tidak mau berdebat panjang.
Mereka sudah terlalu banyak berdebat pada hari-hari lain; tentang siapa yang
membuat sarapan, siapa yang mengantar Tanis ke sekolah, pukul berapa sebaiknya
menghubungi Go-Clean dan siapa yang harus menunggu di rumah selama petugasnya
bersih-bersih. Asuransi kesehatan sebaiknya dibayar tanggal tiga atau lima.
Kenapa harus ke dokter gigi secara rutin. Kenapa hari Sabtu tetap mesti ke
kantor, kenapa dan kenapa lainnya.

Tanis tertawa-tawa dalam mimpinya
saat kedua orang tuanya nyaris bertengkar. Jika ditanya apa yang paling dia
senangi dalam hidup ini, maka jawabannya: tidur dan bermimpi. Kebetulan sekali
Tanis memang kerap bermimpi indah. Kalaupun ada yang buruk, paling tidak
seberapa, dan itu bisa dihadapinya dengan biasa saja.

”Sebaiknya kau memasang kabelnya
lagi,” kata Jimi gelisah. Kepalanya mendadak dipenuhi pikiran horor. Bagaimana
kalau itu telepon dari salah seorang saudara mereka yang mau mengabarkan berita
kematian dan sebaiknya mereka mendengarnya saat ini juga? Bagaimana kalau itu
seorang petugas yang ingin memberi tahu soal badai yang akan menyerang kota ini
pada sore atau malam nanti? Bagaimana kalau seseorang ingin memberi tahu soal
kejahatan yang mungkin terjadi di sekitar rumah mereka –perampokan, misalnya–
dan mereka diminta waspada?

Jimi tak tahan memikirkan
penjahat itu menempelkan ujung senjata di kepala Tanis dan meminta dia dan Senya
untuk tidak mendekat. Tanis memang masih tidur saat ini, tapi bisa saja
tiba-tiba dia terbangun dan membukakan jendela kamar tanpa sadar apa yang dia
lakukan dan membiarkan rombongan penjahat masuk. Tanis bisa melakukan hal
seperti itu. Sama seperti dia bisa berada di atap rumah tetangga dan bilang
sedang mengejar seekor kucing. Tanis tidak mengerti soal bahaya. Bagi Tanis,
dunia ini selalu baik padanya dan yang dia pikirkan hanya bersenang-senang.

”Tenangkan dirimu, Jim,” kata
Senya memelas. Dia sungguh khawatir semua akan berantakan dan hari Minggu
mereka yang indah berubah menjadi neraka. Jika itu terjadi, tak ada lagi yang
tersisa dari kehidupan mereka yang membosankan, yang nyaris membuat tidak bisa
bernapas dengan lega. Apa itu yang kamu inginkan, Jim, pikir Senya sembari
memutar badannya. Kini dia membelakangi Jimi dan membalik-balik halaman
majalahnya untuk menenangkan diri. Umur dua belas tahun, Senya pernah melihat
orang tuanya bertengkar pada hari mereka sedang liburan dan dia membuka komik dengan
cara yang sama seperti yang dilakukannya sekarang. Sebab, dia mencemaskan
sesuatu melayang atau dibanting, benda-benda yang mudah pecah, rusak, dan
menimbulkan suara gaduh. Suara yang menghantuinya dan selalu datang dalam
mimpi-mimpi buruknya.

Jimi bangkit dari tempat tidur
dan menghidupkan televisi. Program masak-memasak. Jimi mengganti saluran.
Program musik yang diwarnai drama para pembawa acaranya. Senya berkata, ”Apa
lagi yang kau lakukan, Jim?” Suara Senya persis seorang ibu yang mengontrol sikap
anaknya dalam sebuah pertemuan keluarga besar. ”Volumenya terlalu kencang,
Jim,” kata Senya lagi. Jimi langsung mematikan televisi dan kini
menjentik-jentikkan jemarinya yang gemuk ke tepi tempat tidur dan berpikir
segalanya sudah berakhir, hari Minggu yang indah sudah berakhir, dan dia keluar
dari kamar, lalu menyambungkan kabel telepon dan menunggunya kembali berdering.

Baca Juga :  Memanggil Roh Singa

”Apa-apaan, Jim!” Senya terus
mencecar. Dia sudah melepaskan majalahnya. Kini dia bahkan telah berdiri di
depan Jimi dan berkata, ”Seharusnya tidak seperti ini.” Senya hampir menangis.
Dan dia berkata lagi, ”Seharusnya tidak seperti ini.”

Hari Minggu sebagai hari yang
membahagiakan selesai sudah. Kini Senya ikut-ikutan duduk di sisi Jimi dan
menunggu telepon itu berdering. Senya juga membiarkan kepalanya berpikir
macam-macam. Hal-hal yang umumnya buruk.

”Seseorang mungkin jatuh ke dalam
sumur,” kata Senya. Seseorang itu bisa bapak atau ibu atau kakak Jimi yang
punya keterbelakangan mental dan tinggal di sebuah rumah dengan sumur yang,
kata Tanis, kemungkinan besar berhantu.

”Hentikan, Senya,” tegur Jimi.
”Tidak ada yang jatuh ke dalam sumur.”

”Bagaimana kalau Digu bermain di
sana dan tidak sengaja terjatuh?” Senya berkata.

Jimi berdiri dan menuding Senya
sedang melakukan teror kepadanya. Senya berkata, ”Digu yang malang.”

Dan telepon itu tak pernah
berbunyi lagi. Bahkan setelah berjam-jam Jimi menunggunya dan Senya terus
menudingnya membuat kacau semuanya dan Tanis akhirnya terbangun dari tidur
dengan wajah puas, siap menanti kedatangan tukang roti keliling yang sengaja
lewat berkali-kali di depan rumah. Lalu nanti –setelah mendapatkan roti yang
diinginkan itu– segera kembali ke kamar lagi, makan roti, tidur, dan bermimpi.

”Sekarang apa yang akan kita
lakukan?” tanya Senya, lebih ditujukan kepada diri sendiri. Lalu, dia melihat
ke gorden yang belum dibuka dan buru-buru bangkit, lalu menggeser semua gorden
itu ke pinggir dan sinar matahari memantul ke arahnya dan dia melihat tukang
roti keliling yang makin tampak kurus itu melintas dan memanggil-manggil
pembeli.

Senya tahu, hanya Tanis yang akan
membeli roti itu. Orang-orang di kompleks rumah mereka sudah lama tak berminat
pada roti pedagang keliling yang tidak higienis, tidak seempuk roti yang dijual
di outlet atau sebuah toko. Tapi, kata Tanis, kalau tukang roti keliling itu
mati di jalan karena tidak punya uang, memangnya kita mau bilang apa pada Tuhan?
Senya berpikir, tukang roti itu tidak akan mati karena tak punya uang asal dia
mau memakan roti jualannya. Namun, dia tidak ingin bertengkar dengan Tanis.
Sekali lagi, hidup mereka sudah terlalu berat dan banyak masalah.

Maka, dia meminta Tanis agar segera
menyelamatkan tukang rotinya.

Jimi masih duduk di dekat telepon
dan mungkin masih akan di sana sampai telepon itu kembali berdering.

***

Satu pagi, tiga hari setelah hari
Minggu yang berantakan itu, Senya kembali membuka gorden dan memandang keluar. Dia
baru menyadari, ada sebuah pintu yang terus tertutup rapat selama beberapa hari
ini. Senya tidak terlalu dekat dengan para tetangga. Namun, dia kenal baik
dengan Luma, perempuan eksentrik berusia 80 tahun yang sudah lama hidup
sendirian dan tinggal persis di depan rumahnya. Luma yang setiap pagi –bahkan
pada hari Minggu– membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan menawari siapa pun
untuk minum teh bersamanya.

Senya teringat panggilan telepon
pada hari Minggu itu. (*)

Rumah Kinoli, 19/20

=================

YETTI A.KA. Lahir di Bengkulu. Kumcer terbarunya, Ketua
Klub Gosip dan Anggota Kongsi Kematian (2020). Selain menulis, dia bekerja dan
menjadi relawan di lembaga nirlaba Yayasan Jortah Indonesia yang fokus
menggalang dana publik untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga
tidak mampu. Saat ini dia menetap di Kota Padang, Sumatera Barat.

KELUARGA itu hanya hidup bahagia di hari Minggu –seperti juga,
barangkali, keluarga lain di dunia ini. Pada hari Minggu mereka boleh bangun
pukul sembilan atau sepuluh. Malas-malasan di atas kasur hingga siang, tidak
perlu buru-buru mandi, dan tak harus mengangkat telepon yang berdering
berkali-kali.

Senya, yang sedang asyik
membuka-buka majalah di tempat tidur, berpikir bagaimana bisa seseorang masih
mengingat nomor telepon rumah mereka? Telepon yang sekarang lebih mirip barang
antik di sebuah meja kecil di sudut ruang keluarga. Jimi asyik membuka situs
berita olahraga di layar ponselnya, mengeluhkan nasib tim sepak bola
kesayangannya yang harus kalah lagi dalam permainan kandang yang semalam dia
tinggal tidur pada menit ke-70, dan mencoba tidak terganggu dengan bunyi
telepon itu. Tanis, anak satu-satunya keluarga itu, masih tidur memeluk guling
dan bermimpi sedang memanjat sebatang pohon raksasa yang membawanya pergi ke
atas awan yang mirip es krim dalam sebuah iklan di televisi. Dan, dia
menjejakkan kakinya di sana, di atas es krim itu. Dan, dia tak bisa menahan
tawanya, antara takjub dan merasa konyol.

Telepon tidak juga berhenti
berdering. Bahkan, rasanya tambah nyaring. Senya mengembuskan napasnya. Pada
hari Minggu mereka tidak harus mengerjakan apa pun yang tak membahagiakan. Pada
hari itu mereka boleh mengabaikan semua kejadian di luar, termasuk suara serak
tukang roti keliling langganan Tanis yang bertubuh terlalu kurus –dan Senya
bilang kepada Tanis, apa tukang roti itu selalu kelaparan dan tidak pernah
makan roti jualannya sendiri? Hari itu mereka tidak perlu bersih-bersih atau
membuka jendela dan tirai atau menyapu halaman yang dipenuhi daun jambu. Sebab,
semua itu nantinya akan dibereskan pada hari mereka kehilangan rasa bahagia
sejak pagi-pagi sekali. Pada hari seluruh hidup mereka dihabiskan untuk
bertempur dengan jadwal-jadwal yang ketat dan keharusan ini-itu.

Mereka memang tak membuat
peraturan melarang mengangkat telepon pada hari Minggu. Tapi, bunyi telepon
yang terdengar sengit dan memaksa seperti itu kemungkinan besar mengantarkan
kabar tidak menyenangkan yang dapat mengacaukan hari Minggu mereka. Sudah
sekian kabar buruk yang mereka terima lewat telepon rumah itu pada tahun-tahun
dulu. Karena itu, sekarang mereka merasa beruntung karena dunia telekomunikasi
menemukan telepon pintar. Sehingga mereka bisa menyiasati segala sesuatunya;
bunyi panggilan yang dikecilkan atau dimatikan, bunyi pesan yang cukup diberi
nada ”beep” atau diganti dengan getar saja dan mereka bisa menunda sebuah kabar
buruk sampai kepada mereka hingga waktu yang mereka inginkan.

Mungkin ada sesuatu yang
benar-benar penting, Jimi akhirnya menyerah dan berkata kepada Senya yang masih
menekuri majalahnya.

Senya agak kesal dan mendongak,
”Tidak ada yang lebih penting selain yang ingin kita lakukan pada hari Minggu,”
katanya, seakan mengingatkan Jimi tentang peraturan dalam keluarga mereka.
Setelah berkata begitu, Senya buru-buru keluar dari kamar dan mencabut kabel
telepon. Seharusnya sudah lama dia melakukannya. Rekan kerja dan teman-temannya
nyaris tak ada lagi yang menghubungi lewat telepon rumah itu. Semua sudah lama
berubah. Dia tidak tahu kenapa telepon itu masih ada di rumah mereka. Tahun ini
hanya beberapa kali ada yang menelepon ke sana dan dua di antaranya panggilan
salah sambung.

”Bagaimana jika itu penting?”
kata Jimi bersikeras ketika Senya kembali ke kamar dan memberi tahu apa yang
baru dia lakukan. ”Bagaimana jika itu telepon darurat?”

Baca Juga :  Bulu Bergincu

”Tidak ada yang lebih penting
selain yang ingin kita lakukan!” kata Senya, mengulang dengan tegas peraturan
hari Minggu di rumah mereka. ”Jangan merusak semuanya, Jim, tolonglah,”
sambungnya mendesah.

Senya tidak mau berdebat panjang.
Mereka sudah terlalu banyak berdebat pada hari-hari lain; tentang siapa yang
membuat sarapan, siapa yang mengantar Tanis ke sekolah, pukul berapa sebaiknya
menghubungi Go-Clean dan siapa yang harus menunggu di rumah selama petugasnya
bersih-bersih. Asuransi kesehatan sebaiknya dibayar tanggal tiga atau lima.
Kenapa harus ke dokter gigi secara rutin. Kenapa hari Sabtu tetap mesti ke
kantor, kenapa dan kenapa lainnya.

Tanis tertawa-tawa dalam mimpinya
saat kedua orang tuanya nyaris bertengkar. Jika ditanya apa yang paling dia
senangi dalam hidup ini, maka jawabannya: tidur dan bermimpi. Kebetulan sekali
Tanis memang kerap bermimpi indah. Kalaupun ada yang buruk, paling tidak
seberapa, dan itu bisa dihadapinya dengan biasa saja.

”Sebaiknya kau memasang kabelnya
lagi,” kata Jimi gelisah. Kepalanya mendadak dipenuhi pikiran horor. Bagaimana
kalau itu telepon dari salah seorang saudara mereka yang mau mengabarkan berita
kematian dan sebaiknya mereka mendengarnya saat ini juga? Bagaimana kalau itu
seorang petugas yang ingin memberi tahu soal badai yang akan menyerang kota ini
pada sore atau malam nanti? Bagaimana kalau seseorang ingin memberi tahu soal
kejahatan yang mungkin terjadi di sekitar rumah mereka –perampokan, misalnya–
dan mereka diminta waspada?

Jimi tak tahan memikirkan
penjahat itu menempelkan ujung senjata di kepala Tanis dan meminta dia dan Senya
untuk tidak mendekat. Tanis memang masih tidur saat ini, tapi bisa saja
tiba-tiba dia terbangun dan membukakan jendela kamar tanpa sadar apa yang dia
lakukan dan membiarkan rombongan penjahat masuk. Tanis bisa melakukan hal
seperti itu. Sama seperti dia bisa berada di atap rumah tetangga dan bilang
sedang mengejar seekor kucing. Tanis tidak mengerti soal bahaya. Bagi Tanis,
dunia ini selalu baik padanya dan yang dia pikirkan hanya bersenang-senang.

”Tenangkan dirimu, Jim,” kata
Senya memelas. Dia sungguh khawatir semua akan berantakan dan hari Minggu
mereka yang indah berubah menjadi neraka. Jika itu terjadi, tak ada lagi yang
tersisa dari kehidupan mereka yang membosankan, yang nyaris membuat tidak bisa
bernapas dengan lega. Apa itu yang kamu inginkan, Jim, pikir Senya sembari
memutar badannya. Kini dia membelakangi Jimi dan membalik-balik halaman
majalahnya untuk menenangkan diri. Umur dua belas tahun, Senya pernah melihat
orang tuanya bertengkar pada hari mereka sedang liburan dan dia membuka komik dengan
cara yang sama seperti yang dilakukannya sekarang. Sebab, dia mencemaskan
sesuatu melayang atau dibanting, benda-benda yang mudah pecah, rusak, dan
menimbulkan suara gaduh. Suara yang menghantuinya dan selalu datang dalam
mimpi-mimpi buruknya.

Jimi bangkit dari tempat tidur
dan menghidupkan televisi. Program masak-memasak. Jimi mengganti saluran.
Program musik yang diwarnai drama para pembawa acaranya. Senya berkata, ”Apa
lagi yang kau lakukan, Jim?” Suara Senya persis seorang ibu yang mengontrol sikap
anaknya dalam sebuah pertemuan keluarga besar. ”Volumenya terlalu kencang,
Jim,” kata Senya lagi. Jimi langsung mematikan televisi dan kini
menjentik-jentikkan jemarinya yang gemuk ke tepi tempat tidur dan berpikir
segalanya sudah berakhir, hari Minggu yang indah sudah berakhir, dan dia keluar
dari kamar, lalu menyambungkan kabel telepon dan menunggunya kembali berdering.

Baca Juga :  Memanggil Roh Singa

”Apa-apaan, Jim!” Senya terus
mencecar. Dia sudah melepaskan majalahnya. Kini dia bahkan telah berdiri di
depan Jimi dan berkata, ”Seharusnya tidak seperti ini.” Senya hampir menangis.
Dan dia berkata lagi, ”Seharusnya tidak seperti ini.”

Hari Minggu sebagai hari yang
membahagiakan selesai sudah. Kini Senya ikut-ikutan duduk di sisi Jimi dan
menunggu telepon itu berdering. Senya juga membiarkan kepalanya berpikir
macam-macam. Hal-hal yang umumnya buruk.

”Seseorang mungkin jatuh ke dalam
sumur,” kata Senya. Seseorang itu bisa bapak atau ibu atau kakak Jimi yang
punya keterbelakangan mental dan tinggal di sebuah rumah dengan sumur yang,
kata Tanis, kemungkinan besar berhantu.

”Hentikan, Senya,” tegur Jimi.
”Tidak ada yang jatuh ke dalam sumur.”

”Bagaimana kalau Digu bermain di
sana dan tidak sengaja terjatuh?” Senya berkata.

Jimi berdiri dan menuding Senya
sedang melakukan teror kepadanya. Senya berkata, ”Digu yang malang.”

Dan telepon itu tak pernah
berbunyi lagi. Bahkan setelah berjam-jam Jimi menunggunya dan Senya terus
menudingnya membuat kacau semuanya dan Tanis akhirnya terbangun dari tidur
dengan wajah puas, siap menanti kedatangan tukang roti keliling yang sengaja
lewat berkali-kali di depan rumah. Lalu nanti –setelah mendapatkan roti yang
diinginkan itu– segera kembali ke kamar lagi, makan roti, tidur, dan bermimpi.

”Sekarang apa yang akan kita
lakukan?” tanya Senya, lebih ditujukan kepada diri sendiri. Lalu, dia melihat
ke gorden yang belum dibuka dan buru-buru bangkit, lalu menggeser semua gorden
itu ke pinggir dan sinar matahari memantul ke arahnya dan dia melihat tukang
roti keliling yang makin tampak kurus itu melintas dan memanggil-manggil
pembeli.

Senya tahu, hanya Tanis yang akan
membeli roti itu. Orang-orang di kompleks rumah mereka sudah lama tak berminat
pada roti pedagang keliling yang tidak higienis, tidak seempuk roti yang dijual
di outlet atau sebuah toko. Tapi, kata Tanis, kalau tukang roti keliling itu
mati di jalan karena tidak punya uang, memangnya kita mau bilang apa pada Tuhan?
Senya berpikir, tukang roti itu tidak akan mati karena tak punya uang asal dia
mau memakan roti jualannya. Namun, dia tidak ingin bertengkar dengan Tanis.
Sekali lagi, hidup mereka sudah terlalu berat dan banyak masalah.

Maka, dia meminta Tanis agar segera
menyelamatkan tukang rotinya.

Jimi masih duduk di dekat telepon
dan mungkin masih akan di sana sampai telepon itu kembali berdering.

***

Satu pagi, tiga hari setelah hari
Minggu yang berantakan itu, Senya kembali membuka gorden dan memandang keluar. Dia
baru menyadari, ada sebuah pintu yang terus tertutup rapat selama beberapa hari
ini. Senya tidak terlalu dekat dengan para tetangga. Namun, dia kenal baik
dengan Luma, perempuan eksentrik berusia 80 tahun yang sudah lama hidup
sendirian dan tinggal persis di depan rumahnya. Luma yang setiap pagi –bahkan
pada hari Minggu– membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan menawari siapa pun
untuk minum teh bersamanya.

Senya teringat panggilan telepon
pada hari Minggu itu. (*)

Rumah Kinoli, 19/20

=================

YETTI A.KA. Lahir di Bengkulu. Kumcer terbarunya, Ketua
Klub Gosip dan Anggota Kongsi Kematian (2020). Selain menulis, dia bekerja dan
menjadi relawan di lembaga nirlaba Yayasan Jortah Indonesia yang fokus
menggalang dana publik untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga
tidak mampu. Saat ini dia menetap di Kota Padang, Sumatera Barat.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru