30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Memanggil Roh Singa

Dua hari sebelum saya dibawa ke tepi sungai, Ardi tegang mendengar
hasrat Rusli yang menggebu-gebu ingin akkammala.

—————

RITUAL yang menuntut keberanian. Dilakukan seorang diri dengan
telanjang seraya mengapit seekor ayam putih jantan. Tengah malam, sebelum Jumat
subuh masuk, waktu yang tepat untuk memulai. Rusli ingin memanggil roh singa
yang dipercaya beberapa warga masih terlihat di desa ini.

Mereka berbincang sambil
mengamati diri saya. Karena itu, pengakuan Rusli pada Ardi begitu jelas
terdengar. Ternyata, saya sudah jadi incaran untuk dicuri. Di persabungan,
selama sebulan lebih saya selalu menunjukkan taji. Saya ayam putih jantan yang
gagah mengipas lawan-lawan. Saya jadi perbincangan orang-orang yang bertaruh
atau sekadar datang menyaksikan pertarungan ayam. Kemenangan demi kemenangan
saya capai. Hal ini mungkin mengetuk pikiran orang-orang untuk memiliki saya
dengan berbagai cara. Rusli paling berhasil memanfaatkan keadaan.

Ia tega mencuri saya dari
Karring, sekaligus menjauhkan saya dari persabungan. Saya berharap bisa segera
kembali pada Karring. Saya yakin, Karring begitu menyayangi saya dan pasti
berjuang untuk menemukan diri ini. Semoga ia menyesal telah lalai menaruh saya
di kandang kolong rumah. Sebab, seharusnya ia langsung mengandang saya di atas
rumah. Tentu saja, berkeliaran di alam bebas adalah sesuatu yang diharapkan
oleh banyak ayam. Namun, perhatian Karring membuat saya bersabar menjalani
takdir.

Mungkin inilah imbas dari rencana
buruk saya pada Karring. Beberapa kali sesaat sebelum bertarung, saya berencana
tak ingin mengerahkan seluruh tenaga agar bisa kalah. Saya lelah dengan keadaan
yang ada. Ketika saya kalah, Karring pasti malu dan tak akan mengandang saya
lagi. Dengan begitu, saya bisa bebas berkeliaran. Terhindar dari lawan yang
sewaktu-waktu lebih kuat dan membunuh saya.

Rencana itu tak saya lanjutkan.
Saya mempertimbangkan kemungkinan yang lebih parah. Bisa saja karena merasa
dipermalukan, Karring bakal membunuh saya dengan keji.

Malam itu, saat Karring pulang ke
rumah dan membawa uang jutaan, letihnya serasa tak tampak. Ia mungkin tak
bermaksud menaruh saya begitu saja, kemudian buru-buru naik ke rumah. Ia
telanjur larut dalam kemenangan. Sebab, saya konsisten menunjukkan ketangguhan.

Waktu yang tak lama dimanfaatkan
Rusli untuk mencuri saya. Ia pasti sudah beberapa kali mengintai gerak-gerik
Karring. Begitu leher saya dicekik, tak lama mata saya juga perih. Seperti ada
sesuatu yang dioleskan Rusli ke sepasang tangannya, agar saya tak berdaya.

Kini, Ardi mencoba percaya,
tepatnya ingin menghargai ucapan teman sepantarnya ini, bahwa saya, ayam putih
jantan yang tak terkalahkan di persabungan, akan menyempurnakan ritualnya.

“Kau sangat nekat, Li.’’

Ardi seakan tak percaya dengan
tindakan gila yang bakal dilakukan oleh Rusli.

“Niat saya sudah bulat. Semuanya
baru menemukan jalan. Saya berharap bisa berjumpa dengan roh itu.”

Rusli berusaha membuat Ardi
percaya.

***

Rusli termasuk orang yang paling beruntung
mendapatkan saya. Sebelumnya, terhitung dua kali ada orang yang hampir mencuri
saya. Namun, selalu gagal karena saya memberontak di kandang. Bukan berarti
saya juga tak memberontak sewaktu diambil oleh Rusli, melainkan Karring
benar-benar lengah. Karring terlalu senang dengan kemenangannya hari itu.

Baca Juga :  Waduh! Meski Bodi Istri Kinyis-kinyis, Ternyata Kalah Saing dengan Jan

Padahal, selama ini, Karring
selalu sigap jika mendengar ayam-ayam peliharaannya ribut di kandang kolong
rumah dan belakangan selalu peka jika menyangkut diri saya. Karena itu, ia
akhirnya berpikir memindahkan satu kandang kurungan bambu untuk saya di atas
rumah. Perlahan, perasaannya mulai tenang. Ketakutan akan kehilangan saya mulai
redup. Ia merasa saya aman dari jangkauan orang-orang.

Sialnya, kini saya jatuh di
tangan Rusli dengan cuma-cuma.

Saya malah berpikir, andai
Karring mengiyakan pinangan Asdar yang hendak membeli saya, mungkin ia akan
memiliki cukup keuntungan. Namun, ia menolak halus tawaran, karena saya
dianggap membawa berkah dan keberuntungan.

***

Rusli mendatangi jembatan seorang
diri. Ia menapaki jalan setapak untuk mendekat ke tepi sungai. Ia memandang ke
segala arah. Ia melepas seluruh pakaian yang membalut tubuhnya. Suara nyamuk
dan serangga saling bersaing. Kaki saya telah ia ikat kuat. Mungkin ia takut,
gerakan kecil saya bisa membuat ritual yang direncanakannya gagal. Kini, ia
menaruh saya ke tanah dan menginjak kaki hingga paha saya. Ia sedang mengolesi
seluruh tubuhnya sesuatu. Aromanya cukup harum.

Setelah itu, ia kembali meraih
tubuh saya. Leher saya dicekik. Kemudian menjepit tubuh saya di pinggang
kanannya. Ia amat menjaga suasana tetap aman, tak menimbulkan kegaduhan yang
sewaktu-waktu bakal saya munculkan di tengah malam ini. Ia telah membentangkan
kain putih. Didudukinya sebagai alas. Saya sungguh kesulitan bernapas. Begitu
kejam perlakuannya.

Ia yakin, setelah mendapat
pengakuan beberapa orang, bahwa roh singa itu bisa ia jumpai di sekitar
jembatan ini. Beberapa detik kemudian, saya mendengar Rusli bersuara, terus
bersuara, tetapi tak jelas. Nadanya cukup rendah. Tampaknya ia sudah memulai
ritual memanggil roh, agar datang menghampirinya.

Angin bertiup pelan. Terdengar
air mengalir dengan tenang. Saya masih tersiksa, bisa-bisa saya mati karena
tenggorokan saya sengaja ditekan. Belum pernah Karring memperlakukan saya
seperti ini. Tangan Karring selalu lemah lembut mengelus-elus tubuh saya. Ia
beri saya minum, kasih obat, hingga memandikan tubuh saya. Jika terluka, saya
segera dirawat.

Rusli tak banyak gerak. Bisa
dikatakan dari tadi ia menjaga posisi. Betah ia berlama-lama seorang diri di
sini. Ia seperti tak takut ada kejadian lain menghampirinya. Misal digigit
ular. Di sekelilingnya, banyak tumbuhan rimbun. Dengan tubuh telanjang, hewan
apa saja juga bebas menggigit kulitnya. Tapi, ia kelihatan siap menghadapi
masalah seperti ini.

Saya belum melihat kejadian aneh.
Saya hanya melihat di atas jembatan ada kendaraan berhenti. Tiba-tiba seseorang
muncul. Merapatkan tubuh bagian depannya di pagar jembatan. Tak lama terdengar
jelas air jatuh ke sungai. Rusli tetap tak terganggu dengan kejadian itu.
Pikirannya telah terpusat. Apa roh singa itu bakal datang? Saya tak melihat ada
tanda-tanda. Sekarang, terdengar dua lolongan anjing. Tubuh Rusli bergetar
sedikit. Perlahan getarannya meningkat. Tubuh saya pun ikut bergetar. Tangannya
di leherku mulai merenggang. Namun, saya masih megap-megap.

Baca Juga :  Lain Hati, Lain Kekasih

Beberapa menit kemudian, Rusli
berhenti bergetar. Perlahan, ia menggerak-gerakkan badan. Berdiri. Saya masih
setia diapit. Kehadiran saya amat penting untuk melancarkan ritual. Ia berusaha
untuk tidak melepaskan diri ini. Saya sadar, ia menjadikan saya pancingan agar
roh singa itu datang. Namun, sampai sekarang tak ada sesuatu yang muncul.
Karena putus asa dan keletihan, Rusli memutuskan menyudahi ritual. Ia memaki
dan melampiaskan kemarahannya dengan mencekik leher saya.

***

Roh singa ini dianggap jelmaan
seorang dukun. Dari cerita yang dipercaya beberapa orang, awal 1962, sang dukun
berusaha keras mengerahkan kemampuannya dan singa peliharaannya untuk melindungi
kampung dari gerombolan pemberontak yang senantiasa melawan tentara pemerintah.
Gerombolan ini, pada malam hari, kadang tiba-tiba keluar hutan untuk meminta
paksa kebutuhan makanan dengan menyusup ke rumah-rumah penduduk.

Pada malam hari, sang dukun akan
berjaga bersama singa peliharaannya untuk mengamati kampung. Penduduk
diharapkan tak berkeliaran jika tak ada sesuatu yang penting. Pintu harus
selalu terkunci. Entah bagaimana, singa ini amat jinak di tangan sang dukun.
Pun tak ada yang tahu pasti dari mana sang dukun mendapat hewan buas ini.
Semuanya sekadar praduga. Misteri. Ada yang bilang, singa itu tersesat ke
perkampungan hingga dijinakkan oleh sang dukun. Ada juga yang mengatakan,
hadiah seorang pedagang dari negeri jauh yang pernah ia sembuhkan.

Rusli menjelaskan riwayat singkat
roh singa itu kepada Ardi yang kembali datang bertamu sore ini. Di kolong
rumah, Rusli mencoba memberi tahu detail cerita. Ardi datang ke sini karena
penasaran dengan pengalaman Rusli yang telah selesai menjalani ritual. Saya
mulai paham kenapa Rusli ingin berjumpa roh singa itu yang tak lain roh seorang
dukun. Rusli sangat berharap mendapat sesuatu pada roh leluhur kampung ini.

’’Li, katanya bukan singa, tetapi
harimau. Ada warga yang usianya hampir seratus tahun angkat bicara.”

Ardi memunculkan misteri baru.
Berusaha mengusik pikiran Rusli, tetapi Rusli tak peduli menanggapi. Malah, ia
meraih sesuatu di kantong celananya. Kemudian menunjukkan pada Ardi sebuah
batu. Saya penasaran dengan kelanjutan dari ucapan Ardi. Rusli sengaja
mengalihkan pembicaraan.

’’Saya belum tahu apa kegunaan
batu ini. Tapi, yang saya harap, saya bisa tahan banting dari pukulan maupun
benda tajam.”

Ardi seperti takjub pada Rusli.
Entah batu dari mana diambil oleh Rusli. Itu hanya penguat alasan. Bukan batu
yang diserahkan atau ia cari atas petunjuk roh dukun. Saat ritual berlangsung,
tak ada sesuatu yang terjadi.

Bulukumba, 2020

———

ALFIAN DIPPAHATANG

Lahir di Bulukumba, 3 Desember
1994. Buku-bukunya, kumpulan cerpen Bertarung dalam Sarung (KPG, 2019), novel
Manusia Belang (Basabasi, 2020), dan terbaru kumpulan puisi Jari Tengah
(Basabasi, 2020). Baru-baru ini merampungkan magister di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin.

Dua hari sebelum saya dibawa ke tepi sungai, Ardi tegang mendengar
hasrat Rusli yang menggebu-gebu ingin akkammala.

—————

RITUAL yang menuntut keberanian. Dilakukan seorang diri dengan
telanjang seraya mengapit seekor ayam putih jantan. Tengah malam, sebelum Jumat
subuh masuk, waktu yang tepat untuk memulai. Rusli ingin memanggil roh singa
yang dipercaya beberapa warga masih terlihat di desa ini.

Mereka berbincang sambil
mengamati diri saya. Karena itu, pengakuan Rusli pada Ardi begitu jelas
terdengar. Ternyata, saya sudah jadi incaran untuk dicuri. Di persabungan,
selama sebulan lebih saya selalu menunjukkan taji. Saya ayam putih jantan yang
gagah mengipas lawan-lawan. Saya jadi perbincangan orang-orang yang bertaruh
atau sekadar datang menyaksikan pertarungan ayam. Kemenangan demi kemenangan
saya capai. Hal ini mungkin mengetuk pikiran orang-orang untuk memiliki saya
dengan berbagai cara. Rusli paling berhasil memanfaatkan keadaan.

Ia tega mencuri saya dari
Karring, sekaligus menjauhkan saya dari persabungan. Saya berharap bisa segera
kembali pada Karring. Saya yakin, Karring begitu menyayangi saya dan pasti
berjuang untuk menemukan diri ini. Semoga ia menyesal telah lalai menaruh saya
di kandang kolong rumah. Sebab, seharusnya ia langsung mengandang saya di atas
rumah. Tentu saja, berkeliaran di alam bebas adalah sesuatu yang diharapkan
oleh banyak ayam. Namun, perhatian Karring membuat saya bersabar menjalani
takdir.

Mungkin inilah imbas dari rencana
buruk saya pada Karring. Beberapa kali sesaat sebelum bertarung, saya berencana
tak ingin mengerahkan seluruh tenaga agar bisa kalah. Saya lelah dengan keadaan
yang ada. Ketika saya kalah, Karring pasti malu dan tak akan mengandang saya
lagi. Dengan begitu, saya bisa bebas berkeliaran. Terhindar dari lawan yang
sewaktu-waktu lebih kuat dan membunuh saya.

Rencana itu tak saya lanjutkan.
Saya mempertimbangkan kemungkinan yang lebih parah. Bisa saja karena merasa
dipermalukan, Karring bakal membunuh saya dengan keji.

Malam itu, saat Karring pulang ke
rumah dan membawa uang jutaan, letihnya serasa tak tampak. Ia mungkin tak
bermaksud menaruh saya begitu saja, kemudian buru-buru naik ke rumah. Ia
telanjur larut dalam kemenangan. Sebab, saya konsisten menunjukkan ketangguhan.

Waktu yang tak lama dimanfaatkan
Rusli untuk mencuri saya. Ia pasti sudah beberapa kali mengintai gerak-gerik
Karring. Begitu leher saya dicekik, tak lama mata saya juga perih. Seperti ada
sesuatu yang dioleskan Rusli ke sepasang tangannya, agar saya tak berdaya.

Kini, Ardi mencoba percaya,
tepatnya ingin menghargai ucapan teman sepantarnya ini, bahwa saya, ayam putih
jantan yang tak terkalahkan di persabungan, akan menyempurnakan ritualnya.

“Kau sangat nekat, Li.’’

Ardi seakan tak percaya dengan
tindakan gila yang bakal dilakukan oleh Rusli.

“Niat saya sudah bulat. Semuanya
baru menemukan jalan. Saya berharap bisa berjumpa dengan roh itu.”

Rusli berusaha membuat Ardi
percaya.

***

Rusli termasuk orang yang paling beruntung
mendapatkan saya. Sebelumnya, terhitung dua kali ada orang yang hampir mencuri
saya. Namun, selalu gagal karena saya memberontak di kandang. Bukan berarti
saya juga tak memberontak sewaktu diambil oleh Rusli, melainkan Karring
benar-benar lengah. Karring terlalu senang dengan kemenangannya hari itu.

Baca Juga :  Waduh! Meski Bodi Istri Kinyis-kinyis, Ternyata Kalah Saing dengan Jan

Padahal, selama ini, Karring
selalu sigap jika mendengar ayam-ayam peliharaannya ribut di kandang kolong
rumah dan belakangan selalu peka jika menyangkut diri saya. Karena itu, ia
akhirnya berpikir memindahkan satu kandang kurungan bambu untuk saya di atas
rumah. Perlahan, perasaannya mulai tenang. Ketakutan akan kehilangan saya mulai
redup. Ia merasa saya aman dari jangkauan orang-orang.

Sialnya, kini saya jatuh di
tangan Rusli dengan cuma-cuma.

Saya malah berpikir, andai
Karring mengiyakan pinangan Asdar yang hendak membeli saya, mungkin ia akan
memiliki cukup keuntungan. Namun, ia menolak halus tawaran, karena saya
dianggap membawa berkah dan keberuntungan.

***

Rusli mendatangi jembatan seorang
diri. Ia menapaki jalan setapak untuk mendekat ke tepi sungai. Ia memandang ke
segala arah. Ia melepas seluruh pakaian yang membalut tubuhnya. Suara nyamuk
dan serangga saling bersaing. Kaki saya telah ia ikat kuat. Mungkin ia takut,
gerakan kecil saya bisa membuat ritual yang direncanakannya gagal. Kini, ia
menaruh saya ke tanah dan menginjak kaki hingga paha saya. Ia sedang mengolesi
seluruh tubuhnya sesuatu. Aromanya cukup harum.

Setelah itu, ia kembali meraih
tubuh saya. Leher saya dicekik. Kemudian menjepit tubuh saya di pinggang
kanannya. Ia amat menjaga suasana tetap aman, tak menimbulkan kegaduhan yang
sewaktu-waktu bakal saya munculkan di tengah malam ini. Ia telah membentangkan
kain putih. Didudukinya sebagai alas. Saya sungguh kesulitan bernapas. Begitu
kejam perlakuannya.

Ia yakin, setelah mendapat
pengakuan beberapa orang, bahwa roh singa itu bisa ia jumpai di sekitar
jembatan ini. Beberapa detik kemudian, saya mendengar Rusli bersuara, terus
bersuara, tetapi tak jelas. Nadanya cukup rendah. Tampaknya ia sudah memulai
ritual memanggil roh, agar datang menghampirinya.

Angin bertiup pelan. Terdengar
air mengalir dengan tenang. Saya masih tersiksa, bisa-bisa saya mati karena
tenggorokan saya sengaja ditekan. Belum pernah Karring memperlakukan saya
seperti ini. Tangan Karring selalu lemah lembut mengelus-elus tubuh saya. Ia
beri saya minum, kasih obat, hingga memandikan tubuh saya. Jika terluka, saya
segera dirawat.

Rusli tak banyak gerak. Bisa
dikatakan dari tadi ia menjaga posisi. Betah ia berlama-lama seorang diri di
sini. Ia seperti tak takut ada kejadian lain menghampirinya. Misal digigit
ular. Di sekelilingnya, banyak tumbuhan rimbun. Dengan tubuh telanjang, hewan
apa saja juga bebas menggigit kulitnya. Tapi, ia kelihatan siap menghadapi
masalah seperti ini.

Saya belum melihat kejadian aneh.
Saya hanya melihat di atas jembatan ada kendaraan berhenti. Tiba-tiba seseorang
muncul. Merapatkan tubuh bagian depannya di pagar jembatan. Tak lama terdengar
jelas air jatuh ke sungai. Rusli tetap tak terganggu dengan kejadian itu.
Pikirannya telah terpusat. Apa roh singa itu bakal datang? Saya tak melihat ada
tanda-tanda. Sekarang, terdengar dua lolongan anjing. Tubuh Rusli bergetar
sedikit. Perlahan getarannya meningkat. Tubuh saya pun ikut bergetar. Tangannya
di leherku mulai merenggang. Namun, saya masih megap-megap.

Baca Juga :  Lain Hati, Lain Kekasih

Beberapa menit kemudian, Rusli
berhenti bergetar. Perlahan, ia menggerak-gerakkan badan. Berdiri. Saya masih
setia diapit. Kehadiran saya amat penting untuk melancarkan ritual. Ia berusaha
untuk tidak melepaskan diri ini. Saya sadar, ia menjadikan saya pancingan agar
roh singa itu datang. Namun, sampai sekarang tak ada sesuatu yang muncul.
Karena putus asa dan keletihan, Rusli memutuskan menyudahi ritual. Ia memaki
dan melampiaskan kemarahannya dengan mencekik leher saya.

***

Roh singa ini dianggap jelmaan
seorang dukun. Dari cerita yang dipercaya beberapa orang, awal 1962, sang dukun
berusaha keras mengerahkan kemampuannya dan singa peliharaannya untuk melindungi
kampung dari gerombolan pemberontak yang senantiasa melawan tentara pemerintah.
Gerombolan ini, pada malam hari, kadang tiba-tiba keluar hutan untuk meminta
paksa kebutuhan makanan dengan menyusup ke rumah-rumah penduduk.

Pada malam hari, sang dukun akan
berjaga bersama singa peliharaannya untuk mengamati kampung. Penduduk
diharapkan tak berkeliaran jika tak ada sesuatu yang penting. Pintu harus
selalu terkunci. Entah bagaimana, singa ini amat jinak di tangan sang dukun.
Pun tak ada yang tahu pasti dari mana sang dukun mendapat hewan buas ini.
Semuanya sekadar praduga. Misteri. Ada yang bilang, singa itu tersesat ke
perkampungan hingga dijinakkan oleh sang dukun. Ada juga yang mengatakan,
hadiah seorang pedagang dari negeri jauh yang pernah ia sembuhkan.

Rusli menjelaskan riwayat singkat
roh singa itu kepada Ardi yang kembali datang bertamu sore ini. Di kolong
rumah, Rusli mencoba memberi tahu detail cerita. Ardi datang ke sini karena
penasaran dengan pengalaman Rusli yang telah selesai menjalani ritual. Saya
mulai paham kenapa Rusli ingin berjumpa roh singa itu yang tak lain roh seorang
dukun. Rusli sangat berharap mendapat sesuatu pada roh leluhur kampung ini.

’’Li, katanya bukan singa, tetapi
harimau. Ada warga yang usianya hampir seratus tahun angkat bicara.”

Ardi memunculkan misteri baru.
Berusaha mengusik pikiran Rusli, tetapi Rusli tak peduli menanggapi. Malah, ia
meraih sesuatu di kantong celananya. Kemudian menunjukkan pada Ardi sebuah
batu. Saya penasaran dengan kelanjutan dari ucapan Ardi. Rusli sengaja
mengalihkan pembicaraan.

’’Saya belum tahu apa kegunaan
batu ini. Tapi, yang saya harap, saya bisa tahan banting dari pukulan maupun
benda tajam.”

Ardi seperti takjub pada Rusli.
Entah batu dari mana diambil oleh Rusli. Itu hanya penguat alasan. Bukan batu
yang diserahkan atau ia cari atas petunjuk roh dukun. Saat ritual berlangsung,
tak ada sesuatu yang terjadi.

Bulukumba, 2020

———

ALFIAN DIPPAHATANG

Lahir di Bulukumba, 3 Desember
1994. Buku-bukunya, kumpulan cerpen Bertarung dalam Sarung (KPG, 2019), novel
Manusia Belang (Basabasi, 2020), dan terbaru kumpulan puisi Jari Tengah
(Basabasi, 2020). Baru-baru ini merampungkan magister di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin.

Terpopuler

Artikel Terbaru