29.1 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

Komitmen Orang Tua Menghindarkannya dari Tradisi Nikah Muda

Saat Titi Anggraini
sempat mempertimbangkan kuliah di luar negeri, Komarudin Hidayat menasihati,
’’Pemilu 2004 terlalu menarik untuk ditinggalkan.’’ Keluarga yang egaliter
menguatkan dia di tengah dunia kerja yang kerap patriarkis.

 

BAYU PUTRA, Jakarta

 

’’KALAU tidak sekolah
di Jakarta, Titi pasti akan kena perkawinan usia dini.’’ Sepenggal pesan dari
sang bunda itu turut membawa Titi Anggraini ke jalan perjuangan mengawal
liku-liku demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru.


Titi Anggraini


Karir terakhir Titi
adalah menggawangi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau yang biasa
disebut Perludem. Sebuah organisasi non pemerintah yang perhatian terhadap
perkembangan kepemiluan di tanah air.

Dalam 10 tahun
terakhir, Titi menjadi direktur eksekutif Perludem. Sebelum dia berhasil
lengser dari posisi tersebut pada 23 Agustus lalu. Keinginan yang dia
perjuangkan sejak dua tahun silam.

Total sudah 21 tahun
Titi bergelut dengan pemilu. Dia memulainya di bangku kuliah, saat masih
menempuh tiga semester di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 1999.
Itulah tahun penentuan bagi Indonesia. Pemilu pertama pasca tumbangnya Orde
Baru.

Kala itu Titi ditunjuk
mewakili angkatannya di UI untuk menjadi bagian dari Panwaslu (sekarang
Bawaslu) Pusat. Dari situlah Titi mulai melihat secara utuh bagaimana sebuah
proses pemilu. Setelah sekian lama, pemilu Indonesia diikuti banyak partai
politik. Ada 48 partai politik yang menjadi peserta dalam Pemilu 1999.

Pada tahun tersebut,
masyarakat sedang dilanda euforia perubahan. Sistemnya masih tetap proporsional
tertutup. Namun, untuk kali pertama pemilu Indonesia membuka keran kepesertaan
multipartai.

’’Meski harus diakui,
aktor-aktor politik yang terlibat juga adalah bagian dari kekuasaan masa
lalu,’’ ujar Titi saat berbincang dengan Jawa Pos Rabu pekan lalu (9/9).

Apa pun itu, Pemilu
1999 menjadi tonggak sejarah. Sebab, menghasilkan orang-orang yang melahirkan
amandemen UUD 1945 beserta berbagai turunannya. Misalnya, pembentukan Mahkamah
Konstitusi dan KPK. Termasuk yang paling krusial adalah pilpres langsung dan
embrio pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka.

Pada Pemilu 2004,
khususnya pileg, sistem yang digunakan adalah proporsional semi terbuka. Untuk
bisa terpilih, setiap caleg harus mendapat suara sebanyak harga satu kursi atau
bilangan pembagi pemilih.

Itulah yang dirasa
berat bagi para caleg untuk memenuhinya. Baru pada Pemilu 2009, sistem
proporsional terbuka benar-benar dijalankan.

Selama tiga kali pemilu
tersebut, Titi menjadi bagian dari penyelenggara, yakni Bawaslu. Pemilu 2009
menjadi yang terberat.

Sebab, banyak perubahan
krusial yang terjadi pada detik-detik akhir melalui pengadilan. Namun, dari
keseluruhan pemilu pascareformasi, bagi Titi yang paling berat adalah pemilu
serentak 2019.

Baca Juga :  Mengenang Markis Kido: Lucu, Gigih, dan Ngemong Pemain Muda

Dinamisnya pemilu di
Indonesia jugalah yang akhirnya membuat Titi membuang keinginan studi di luar
negeri. Adalah Komarudin Hidayat, ketua Panwaslu Pusat saat itu, yang
meyakinkan Titi agar bertahan di Indonesia. ’’Untuk apa kamu studi di luar.
Pemilu 2004 itu terlalu menarik untuk ditinggalkan,’’ ucap Titi menirukan pesan
mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Akhirnya Titi memilih
studi di Pascasarjana Universitas Indonesia. Pada 2010, Titi mulai menjadi
direktur eksekutif Perludem.

Sejumlah perubahan
kebijakan yang krusial di bidang kepemiluan berhasil diperjuangkan Perludem
bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil lain. Di antaranya, perubahan
syarat menjadi calon anggota penyelenggara pemilu. Calon asal parpol harus
sudah keluar dari keanggotaan partai minimal lima tahun.

Gerakan advokasi
kebijakan pemilu terus berlanjut. Perludem menginisiasi petisi daring untuk
mengegolkan pilkada langsung. Setelah DPR mengesahkan UU yang menjadikan
pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD.

Usaha itu membuahkan
hasil. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu 1/2014 yang
mengatur pilkada langsung beberapa pekan sebelum lengser.

Advokasi krusial lain
adalah uji materi keserentakan pemilu. Mahkamah Konstitusi memberikan enam
model pemilu yang bisa dipilih pembuat kebijakan.

Hasilnya, membuat
kebijakan memilih pemilu serentak lima kotak suara pada 2019. Termasuk ikut
merumuskan sejumlah UU, salah satunya UU 8/2012 tentang Pemilu Legislatif.

Selama berada di
Perludem, Titi acap kali diminta berbicara di berbagai forum. Baik di dalam
maupun luar negeri. Salah satunya menjadi speaker one of the session pada Open
Government Partnership (OGP) Global Summit 2019 di Ottawa, Kanada, 30 Mei 2019.
KTT itulah yang makin menguatkan Titi untuk segera melakukan regenerasi
kepemimpinan di Perludem.

Titi juga pernah
berbicara di OGP Global Summit di Paris, Prancis, pada7 Desember 2016. Kemudian
Second Forum of Citizen Observers pada 15-16 September 2016 di Brussel, Belgia.
Juga di Asian Electoral Stakeholder Forum IV, Colombo, Sri Lanka, 27-28 Agustus
2018 dan sejumlah forum lain.

Titi mengakui, kadang
memang muncul rasa jenuh kala berkutat di bidang kepemiluan. Beberapa tahun
belakangan, narasinya selalu sama. Politik uang, mahar politik, dan
pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Untuk mengusir bosan,
Titi memilih ’’pelarian’’ yang tidak jauh dari bidangnya. Misalnya, mengisi
pelatihan pemilu tentang keterwakilan perempuan. Selama kegiatannya dinamis,
itu akan mengusir jenuh.

Semua capaian tersebut
berawal dari sebuah dusun bernama Sungai Naik. Sebuah wilayah kecil di
Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Baca Juga :  Kanker Sempat Menyebar ke Otak dan Hati

Titi Lahir di dusun
tersebut pada 12 Oktober 1979. Pada masa itu, nilai-nilai yang dianut
masyarakat setempat masih sangat konservatif. Salah satunya terkait dengan
kehidupan perempuan.

Masyarakat di tanah
kelahiran Titi saat itu menganggap perempuan harus menikah di usia muda. ’’Ibu
saya menikah di usia belasan tahun, mungkin kalau saya tidak salah 19 tahun.
Dan itu (sudah) dianggap menikah di usia perawan tua,’’ kenang Titi.

Pasangan Dailami
Karim-Rosmala Dewi, orang tua Titi, tidak sepakat dengan nilai-nilai konservatif
tersebut. Karena itu, keduanya mengirim Titi ke Jakarta saat dia masih duduk di
kelas IV SD. Agar lulusan terbaik UI 2001 tersebut tidak terjebak pernikahan
dini.

Sejak saat itu,
kehidupan Titi berubah total. Sulung tiga bersaudara itu tinggal bersama
tantenya dengan mengontrak dari satu rumah ke rumah lain.

Intuisi Rosmala, sang
bunda, tepat. Bermodal kecemerlangan prestasinya, Titi berhasil masuk ke salah
satu SMA negeri paling elite di Jakarta kala itu, yakni SMAN 70.

Para siswa di sekolah
itu, menurut Titi, didominasi kalangan menengah atas yang jelas berbeda dengan
dirinya. ’’Karena bisa dibilang (saya) berangkat dari kelompok marginal,’’
tutur istri Masudi tersebut.

Cita-cita Titi awalnya
bukan menjadi pegiat pemilu, apalagi menjadi aparat penegak hukum. ’’Waktu itu
cita-cita saya ingin menjadi wartawan,’’ sambung ibu Faris Naufal tersebut.

Saat itu dia tidak
mengetahui bahwa mayoritas wartawan kuliah di program studi ilmu komunikasi.
Tapi, pilihan Titi studi di fakultas hukum akhirnya berbuah manis dan
menjadikan dirinya seperti sekarang.

Dan sejak awal kuliah
sarjana sampai doktoral saat ini, Titi konsisten memilih studi hukum tata
negara. Tidak jauh dari dunia yang digelutinya saat ini.

Satu hal yang membuat
Titi kuat adalah lingkungan keluarganya yang egaliter. Semua saudara Titi
perempuan dan orang tuanya justru mendoktrin untuk menggapai pendidikan
setinggi-tingginya. Berlawanan dengan tradisi masyarakat setempat di tahun
1980-an yang masih konservatif terhadap perempuan.

Maka, Titi percaya diri
berbicara di hadapan kolega-kolega senior laki-laki. Awalnya memang tidak mudah
bertahan di tengah tradisi dunia kerja yang cenderung patriarkis. ’’Saya datang
ke DPR, sama resepsionisnya dikira mahasiswi magang,’’ kenangnya, lantas
tertawa.

Kuncinya, dia berbicara
langsung ke substansi dengan argumentasi dan basis data yang kuat. Dari situlah
Titi semakin diperhitungkan.

Titi menunjukkan contoh
praktikal bahwa kalangan perempuan dan anak muda sangat bisa berkontribusi
dalam kebijakan kepemiluan di Indonesia. Kuncinya adalah keberanian dalam
bersikap dan kemauan untuk terus belajar.

Saat Titi Anggraini
sempat mempertimbangkan kuliah di luar negeri, Komarudin Hidayat menasihati,
’’Pemilu 2004 terlalu menarik untuk ditinggalkan.’’ Keluarga yang egaliter
menguatkan dia di tengah dunia kerja yang kerap patriarkis.

 

BAYU PUTRA, Jakarta

 

’’KALAU tidak sekolah
di Jakarta, Titi pasti akan kena perkawinan usia dini.’’ Sepenggal pesan dari
sang bunda itu turut membawa Titi Anggraini ke jalan perjuangan mengawal
liku-liku demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru.


Titi Anggraini


Karir terakhir Titi
adalah menggawangi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau yang biasa
disebut Perludem. Sebuah organisasi non pemerintah yang perhatian terhadap
perkembangan kepemiluan di tanah air.

Dalam 10 tahun
terakhir, Titi menjadi direktur eksekutif Perludem. Sebelum dia berhasil
lengser dari posisi tersebut pada 23 Agustus lalu. Keinginan yang dia
perjuangkan sejak dua tahun silam.

Total sudah 21 tahun
Titi bergelut dengan pemilu. Dia memulainya di bangku kuliah, saat masih
menempuh tiga semester di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 1999.
Itulah tahun penentuan bagi Indonesia. Pemilu pertama pasca tumbangnya Orde
Baru.

Kala itu Titi ditunjuk
mewakili angkatannya di UI untuk menjadi bagian dari Panwaslu (sekarang
Bawaslu) Pusat. Dari situlah Titi mulai melihat secara utuh bagaimana sebuah
proses pemilu. Setelah sekian lama, pemilu Indonesia diikuti banyak partai
politik. Ada 48 partai politik yang menjadi peserta dalam Pemilu 1999.

Pada tahun tersebut,
masyarakat sedang dilanda euforia perubahan. Sistemnya masih tetap proporsional
tertutup. Namun, untuk kali pertama pemilu Indonesia membuka keran kepesertaan
multipartai.

’’Meski harus diakui,
aktor-aktor politik yang terlibat juga adalah bagian dari kekuasaan masa
lalu,’’ ujar Titi saat berbincang dengan Jawa Pos Rabu pekan lalu (9/9).

Apa pun itu, Pemilu
1999 menjadi tonggak sejarah. Sebab, menghasilkan orang-orang yang melahirkan
amandemen UUD 1945 beserta berbagai turunannya. Misalnya, pembentukan Mahkamah
Konstitusi dan KPK. Termasuk yang paling krusial adalah pilpres langsung dan
embrio pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka.

Pada Pemilu 2004,
khususnya pileg, sistem yang digunakan adalah proporsional semi terbuka. Untuk
bisa terpilih, setiap caleg harus mendapat suara sebanyak harga satu kursi atau
bilangan pembagi pemilih.

Itulah yang dirasa
berat bagi para caleg untuk memenuhinya. Baru pada Pemilu 2009, sistem
proporsional terbuka benar-benar dijalankan.

Selama tiga kali pemilu
tersebut, Titi menjadi bagian dari penyelenggara, yakni Bawaslu. Pemilu 2009
menjadi yang terberat.

Sebab, banyak perubahan
krusial yang terjadi pada detik-detik akhir melalui pengadilan. Namun, dari
keseluruhan pemilu pascareformasi, bagi Titi yang paling berat adalah pemilu
serentak 2019.

Baca Juga :  Mengenang Markis Kido: Lucu, Gigih, dan Ngemong Pemain Muda

Dinamisnya pemilu di
Indonesia jugalah yang akhirnya membuat Titi membuang keinginan studi di luar
negeri. Adalah Komarudin Hidayat, ketua Panwaslu Pusat saat itu, yang
meyakinkan Titi agar bertahan di Indonesia. ’’Untuk apa kamu studi di luar.
Pemilu 2004 itu terlalu menarik untuk ditinggalkan,’’ ucap Titi menirukan pesan
mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Akhirnya Titi memilih
studi di Pascasarjana Universitas Indonesia. Pada 2010, Titi mulai menjadi
direktur eksekutif Perludem.

Sejumlah perubahan
kebijakan yang krusial di bidang kepemiluan berhasil diperjuangkan Perludem
bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil lain. Di antaranya, perubahan
syarat menjadi calon anggota penyelenggara pemilu. Calon asal parpol harus
sudah keluar dari keanggotaan partai minimal lima tahun.

Gerakan advokasi
kebijakan pemilu terus berlanjut. Perludem menginisiasi petisi daring untuk
mengegolkan pilkada langsung. Setelah DPR mengesahkan UU yang menjadikan
pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD.

Usaha itu membuahkan
hasil. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu 1/2014 yang
mengatur pilkada langsung beberapa pekan sebelum lengser.

Advokasi krusial lain
adalah uji materi keserentakan pemilu. Mahkamah Konstitusi memberikan enam
model pemilu yang bisa dipilih pembuat kebijakan.

Hasilnya, membuat
kebijakan memilih pemilu serentak lima kotak suara pada 2019. Termasuk ikut
merumuskan sejumlah UU, salah satunya UU 8/2012 tentang Pemilu Legislatif.

Selama berada di
Perludem, Titi acap kali diminta berbicara di berbagai forum. Baik di dalam
maupun luar negeri. Salah satunya menjadi speaker one of the session pada Open
Government Partnership (OGP) Global Summit 2019 di Ottawa, Kanada, 30 Mei 2019.
KTT itulah yang makin menguatkan Titi untuk segera melakukan regenerasi
kepemimpinan di Perludem.

Titi juga pernah
berbicara di OGP Global Summit di Paris, Prancis, pada7 Desember 2016. Kemudian
Second Forum of Citizen Observers pada 15-16 September 2016 di Brussel, Belgia.
Juga di Asian Electoral Stakeholder Forum IV, Colombo, Sri Lanka, 27-28 Agustus
2018 dan sejumlah forum lain.

Titi mengakui, kadang
memang muncul rasa jenuh kala berkutat di bidang kepemiluan. Beberapa tahun
belakangan, narasinya selalu sama. Politik uang, mahar politik, dan
pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Untuk mengusir bosan,
Titi memilih ’’pelarian’’ yang tidak jauh dari bidangnya. Misalnya, mengisi
pelatihan pemilu tentang keterwakilan perempuan. Selama kegiatannya dinamis,
itu akan mengusir jenuh.

Semua capaian tersebut
berawal dari sebuah dusun bernama Sungai Naik. Sebuah wilayah kecil di
Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Baca Juga :  Kanker Sempat Menyebar ke Otak dan Hati

Titi Lahir di dusun
tersebut pada 12 Oktober 1979. Pada masa itu, nilai-nilai yang dianut
masyarakat setempat masih sangat konservatif. Salah satunya terkait dengan
kehidupan perempuan.

Masyarakat di tanah
kelahiran Titi saat itu menganggap perempuan harus menikah di usia muda. ’’Ibu
saya menikah di usia belasan tahun, mungkin kalau saya tidak salah 19 tahun.
Dan itu (sudah) dianggap menikah di usia perawan tua,’’ kenang Titi.

Pasangan Dailami
Karim-Rosmala Dewi, orang tua Titi, tidak sepakat dengan nilai-nilai konservatif
tersebut. Karena itu, keduanya mengirim Titi ke Jakarta saat dia masih duduk di
kelas IV SD. Agar lulusan terbaik UI 2001 tersebut tidak terjebak pernikahan
dini.

Sejak saat itu,
kehidupan Titi berubah total. Sulung tiga bersaudara itu tinggal bersama
tantenya dengan mengontrak dari satu rumah ke rumah lain.

Intuisi Rosmala, sang
bunda, tepat. Bermodal kecemerlangan prestasinya, Titi berhasil masuk ke salah
satu SMA negeri paling elite di Jakarta kala itu, yakni SMAN 70.

Para siswa di sekolah
itu, menurut Titi, didominasi kalangan menengah atas yang jelas berbeda dengan
dirinya. ’’Karena bisa dibilang (saya) berangkat dari kelompok marginal,’’
tutur istri Masudi tersebut.

Cita-cita Titi awalnya
bukan menjadi pegiat pemilu, apalagi menjadi aparat penegak hukum. ’’Waktu itu
cita-cita saya ingin menjadi wartawan,’’ sambung ibu Faris Naufal tersebut.

Saat itu dia tidak
mengetahui bahwa mayoritas wartawan kuliah di program studi ilmu komunikasi.
Tapi, pilihan Titi studi di fakultas hukum akhirnya berbuah manis dan
menjadikan dirinya seperti sekarang.

Dan sejak awal kuliah
sarjana sampai doktoral saat ini, Titi konsisten memilih studi hukum tata
negara. Tidak jauh dari dunia yang digelutinya saat ini.

Satu hal yang membuat
Titi kuat adalah lingkungan keluarganya yang egaliter. Semua saudara Titi
perempuan dan orang tuanya justru mendoktrin untuk menggapai pendidikan
setinggi-tingginya. Berlawanan dengan tradisi masyarakat setempat di tahun
1980-an yang masih konservatif terhadap perempuan.

Maka, Titi percaya diri
berbicara di hadapan kolega-kolega senior laki-laki. Awalnya memang tidak mudah
bertahan di tengah tradisi dunia kerja yang cenderung patriarkis. ’’Saya datang
ke DPR, sama resepsionisnya dikira mahasiswi magang,’’ kenangnya, lantas
tertawa.

Kuncinya, dia berbicara
langsung ke substansi dengan argumentasi dan basis data yang kuat. Dari situlah
Titi semakin diperhitungkan.

Titi menunjukkan contoh
praktikal bahwa kalangan perempuan dan anak muda sangat bisa berkontribusi
dalam kebijakan kepemiluan di Indonesia. Kuncinya adalah keberanian dalam
bersikap dan kemauan untuk terus belajar.

Terpopuler

Artikel Terbaru