30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kanker Sempat Menyebar ke Otak dan Hati

Fitriyani (42) memilih
pengobatan alternatif. Lagi-lagi, rasa takut terhadap pengobatan medis menjadi
alasan. Ia rela ke pelosok, untuk mencari tumbuhan yang katanya bisa
menyembuhkan. Karena tak cocok, kankernya bertambah parah. Kini ia kembali ke
pengobatan medis. 

MOHAMMAD
ISMAIL, Palangka Raya

PAGI itu
Fitriyani (42) sedang menjalani kemoterapi, saat ditemui Kalteng Pos di ruang
rawat inap Edelweis RSUD dr Doris Sylvanus. Persis di samping kiri ranjang, ada
tiga botol plastik yang berisi obat kemoterapi menggantung di tiang besi.
Cairan obat itu mengalir ke tubuhnya melalui selang impus yang masuk lewat
tangan kiri lewat jarum. Persis seperti infus. Suaminya, Dadang Bulan Purnawan
(45) dengan setia menemaninya.

Sambil menjalani
kemoterapi, ia bercerita tentang upayanya mengobati penyakit kanker yang
dideritanya sejak tahun 2010. Awalnya ia menemukan benjolan di payudara.
Benjolan itu membesar dan terasa sakit. Namun waktu itu ia tak mau ke rumah
sakit atau dokter untuk berobat. Pilihan jatuh pada pengobatan alternatif.
Minum daun dan akar-akaran.

“Setahun kemudian,
sakit semakin parah. Tapi saya tetap tidak mau berobat ke dokter. Pikiran saya
negatif. Saya takut operasi dan kemoterapi,” cerita wanita yang sehari-hari
bekerja sebagai ASN di salah satu instansi pemerintah ini. 

Diakui oleh Dadang,
memang istrinya saat itu takut jika berobat ke dokter atau rumah sakit.
Ketakutan itu diperparah lagi dengan 
pernyataan teman. Ada yang bilang jangan dikemoterapi, nanti bisa mati.
“Jadi, tambah down, dan takut ke dokter,” cerita Dadang.

Demi mencari obat
kanker, ia pun rela ke pelosok. Untuk mendapatkan tanaman yang dimaksud, ia
harus menggunakan perahu ke suatu tempat di Kabupaten Gunung Mas (Gumas).
Setelah dapat, ia pun mengonsumsi. “Mungkin tidak cocok,” ujar Fitriyani.

Baca Juga :  Nagoro, Desa yang Dihuni Ratusan Boneka Orang-orangan Sawah

Tahun  2012, kondisinya semakin parah. Tak ada
pilihan lagi. Akhirnya ia terpaksa ke dokter umum. Hasil pemeriksaan, kanker
yang awalnya di payudara sudah menyebar ke hati. Karena di Palangka Raya belum ada
dokter spesialis bedah onkologi (kanker), akhirnya ia ke Samarinda. Hasil
pemeriksaan, kanker sudah masuk stadium lanjut, yakni stadium empat.

Akhirnya mau tidak mau,
Fitriyani pun menjalani pengobatan medis. Ia mulai menjalani kemoterapi, yang
selama ini ditakutkan. Setelah dari Samarinda, ia memutuskan untuk berobat ke
salah satu rumah sakit swasta di Surabaya di tahun 2012 itu juga. Di Surabaya
ini, selain di  kemoterapi, ia juga
menjalani penyinaran.

“Tahun 2014, kanker
menyebar ke otak. Tak kurang  38 kali
kemoterapi. Kemudian 15 kali penyinaran, dan kemoterapi di payudara. Ketika itu
sempat muncul lagi bejolan di sekitar payudara. Sampai Juli 2017, masih berobat
ke Surabaya,” cerita Fitriyani.

Tak mudah bagi
Fitriyani untuk menjalani pengobatan. Namun dukungan dari suami, anak-anak dan
keluarganya membuatnya tetap semangat, untuk bisa sembuh, meski kanker sudah
menyebar ke hati dan otak. “Anak-anak butuh mamahnya, bukan papahnya. Jadi
mamah harus sembuh,” ujar Dadang suatu kali kepada istrinya. 

Selain pengobatan, Fitriyani
juga harus mengubah pola makan, menjadi pola makan yang sehat. Apa pun yang
dianjurkan dokter ia ikuti. Misalnya, harus makan buah ia ikut. Sebelumnya tak
bisa makan pepaya, sekarang sudah bisa makan pepaya.

Baca Juga :  Begitu sang Ayah Melirik, Segera Sadar Telah Salah Intro

Tahun 2015-2016, sempat
ada hasil dari pengobatan tersebut. Sel kanker di payudara, hati dan otak
sempat tidak aktif lagi. Selama satu tahun, kondisi kesehatannya bagus. Namun,
tiba-tiba tahun 2017, kambuh lagi. Sel kanker di payudara aktif kembali.

Memang seperti
disampaikan dr Faison SpB (k) Onk kepada Kalteng Pos, ukuran kesembuhan dari
seorang penderita kanker ada tingkat kekambuhan. Jika setelah menyelesaikan
pengobatan, kanker tidak kambut lagi dalam jangka waktu lama, bisa disebut
sembuh.

Kebetulan, tahun 2017,
RSUD dr Doris Sylvanus membuka Poliklinik Onkologi dengan dokter spesialis
bedah onkologi dr Faison SpB (K) Onk. Setelah berkonsultasi dengan dr Faison,
akhirnya penboatan di lanjutkan di Palangka Raya.

“Alhamdulillah, ada
spesialis onkologi di sini. Jadi lebih dekat, dan biaya lebih murah, karena
tidak perlu bolak balik ke Surabaya,” ujar Fitriyani.

Mulai pertengahan 2017,
Fitriyani menjalni pengobatan di RSUD dr Doris Sylvanus. Secara rutin yang
periksa ke dr Faison, SpB (K) Onk. Setiap 21 hari ia menjalani kemoterapi. Tak
terlihat rasa sakit, ketika menjalani kemoterapi, ketika ditemui Kalteng Pos,
dua pekan lalu. Ia masih bisa bercakap, dan membaca pesan dari ponsel
pintarnya.

“Efek kemoterapi
tergantung daya tahan tubuh masing-masing pasien. Saya biasanya, setelah
kemoterapi, ada mual, pusing. Biasanya akan diberi obat. Setelah tiga hari efek
itu akan hilang. Setelah itu, saya bisa beraktivitas kembali. Bisa turun kerja
lagi,” ujar Fitriyani, seraya mengatakan untuk pengobatan kanker perlu dukungan
keluarga, dan disiplin dalam pengobatan. 
(*/selesai)

Fitriyani (42) memilih
pengobatan alternatif. Lagi-lagi, rasa takut terhadap pengobatan medis menjadi
alasan. Ia rela ke pelosok, untuk mencari tumbuhan yang katanya bisa
menyembuhkan. Karena tak cocok, kankernya bertambah parah. Kini ia kembali ke
pengobatan medis. 

MOHAMMAD
ISMAIL, Palangka Raya

PAGI itu
Fitriyani (42) sedang menjalani kemoterapi, saat ditemui Kalteng Pos di ruang
rawat inap Edelweis RSUD dr Doris Sylvanus. Persis di samping kiri ranjang, ada
tiga botol plastik yang berisi obat kemoterapi menggantung di tiang besi.
Cairan obat itu mengalir ke tubuhnya melalui selang impus yang masuk lewat
tangan kiri lewat jarum. Persis seperti infus. Suaminya, Dadang Bulan Purnawan
(45) dengan setia menemaninya.

Sambil menjalani
kemoterapi, ia bercerita tentang upayanya mengobati penyakit kanker yang
dideritanya sejak tahun 2010. Awalnya ia menemukan benjolan di payudara.
Benjolan itu membesar dan terasa sakit. Namun waktu itu ia tak mau ke rumah
sakit atau dokter untuk berobat. Pilihan jatuh pada pengobatan alternatif.
Minum daun dan akar-akaran.

“Setahun kemudian,
sakit semakin parah. Tapi saya tetap tidak mau berobat ke dokter. Pikiran saya
negatif. Saya takut operasi dan kemoterapi,” cerita wanita yang sehari-hari
bekerja sebagai ASN di salah satu instansi pemerintah ini. 

Diakui oleh Dadang,
memang istrinya saat itu takut jika berobat ke dokter atau rumah sakit.
Ketakutan itu diperparah lagi dengan 
pernyataan teman. Ada yang bilang jangan dikemoterapi, nanti bisa mati.
“Jadi, tambah down, dan takut ke dokter,” cerita Dadang.

Demi mencari obat
kanker, ia pun rela ke pelosok. Untuk mendapatkan tanaman yang dimaksud, ia
harus menggunakan perahu ke suatu tempat di Kabupaten Gunung Mas (Gumas).
Setelah dapat, ia pun mengonsumsi. “Mungkin tidak cocok,” ujar Fitriyani.

Baca Juga :  Nagoro, Desa yang Dihuni Ratusan Boneka Orang-orangan Sawah

Tahun  2012, kondisinya semakin parah. Tak ada
pilihan lagi. Akhirnya ia terpaksa ke dokter umum. Hasil pemeriksaan, kanker
yang awalnya di payudara sudah menyebar ke hati. Karena di Palangka Raya belum ada
dokter spesialis bedah onkologi (kanker), akhirnya ia ke Samarinda. Hasil
pemeriksaan, kanker sudah masuk stadium lanjut, yakni stadium empat.

Akhirnya mau tidak mau,
Fitriyani pun menjalani pengobatan medis. Ia mulai menjalani kemoterapi, yang
selama ini ditakutkan. Setelah dari Samarinda, ia memutuskan untuk berobat ke
salah satu rumah sakit swasta di Surabaya di tahun 2012 itu juga. Di Surabaya
ini, selain di  kemoterapi, ia juga
menjalani penyinaran.

“Tahun 2014, kanker
menyebar ke otak. Tak kurang  38 kali
kemoterapi. Kemudian 15 kali penyinaran, dan kemoterapi di payudara. Ketika itu
sempat muncul lagi bejolan di sekitar payudara. Sampai Juli 2017, masih berobat
ke Surabaya,” cerita Fitriyani.

Tak mudah bagi
Fitriyani untuk menjalani pengobatan. Namun dukungan dari suami, anak-anak dan
keluarganya membuatnya tetap semangat, untuk bisa sembuh, meski kanker sudah
menyebar ke hati dan otak. “Anak-anak butuh mamahnya, bukan papahnya. Jadi
mamah harus sembuh,” ujar Dadang suatu kali kepada istrinya. 

Selain pengobatan, Fitriyani
juga harus mengubah pola makan, menjadi pola makan yang sehat. Apa pun yang
dianjurkan dokter ia ikuti. Misalnya, harus makan buah ia ikut. Sebelumnya tak
bisa makan pepaya, sekarang sudah bisa makan pepaya.

Baca Juga :  Begitu sang Ayah Melirik, Segera Sadar Telah Salah Intro

Tahun 2015-2016, sempat
ada hasil dari pengobatan tersebut. Sel kanker di payudara, hati dan otak
sempat tidak aktif lagi. Selama satu tahun, kondisi kesehatannya bagus. Namun,
tiba-tiba tahun 2017, kambuh lagi. Sel kanker di payudara aktif kembali.

Memang seperti
disampaikan dr Faison SpB (k) Onk kepada Kalteng Pos, ukuran kesembuhan dari
seorang penderita kanker ada tingkat kekambuhan. Jika setelah menyelesaikan
pengobatan, kanker tidak kambut lagi dalam jangka waktu lama, bisa disebut
sembuh.

Kebetulan, tahun 2017,
RSUD dr Doris Sylvanus membuka Poliklinik Onkologi dengan dokter spesialis
bedah onkologi dr Faison SpB (K) Onk. Setelah berkonsultasi dengan dr Faison,
akhirnya penboatan di lanjutkan di Palangka Raya.

“Alhamdulillah, ada
spesialis onkologi di sini. Jadi lebih dekat, dan biaya lebih murah, karena
tidak perlu bolak balik ke Surabaya,” ujar Fitriyani.

Mulai pertengahan 2017,
Fitriyani menjalni pengobatan di RSUD dr Doris Sylvanus. Secara rutin yang
periksa ke dr Faison, SpB (K) Onk. Setiap 21 hari ia menjalani kemoterapi. Tak
terlihat rasa sakit, ketika menjalani kemoterapi, ketika ditemui Kalteng Pos,
dua pekan lalu. Ia masih bisa bercakap, dan membaca pesan dari ponsel
pintarnya.

“Efek kemoterapi
tergantung daya tahan tubuh masing-masing pasien. Saya biasanya, setelah
kemoterapi, ada mual, pusing. Biasanya akan diberi obat. Setelah tiga hari efek
itu akan hilang. Setelah itu, saya bisa beraktivitas kembali. Bisa turun kerja
lagi,” ujar Fitriyani, seraya mengatakan untuk pengobatan kanker perlu dukungan
keluarga, dan disiplin dalam pengobatan. 
(*/selesai)

Terpopuler

Artikel Terbaru