28.6 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Begitu sang Ayah Melirik, Segera Sadar Telah Salah Intro

Menyamakan rasa dan menekan ego, itulah kunci
bagi Doan Pujiatmoko serta Gilang Niko dalam memainkan lagu-lagu Koes Plus
bersama para senior. Kalau ada yang mencibir ”ah, seleramu lawas”, langsung
dijawab, ”Koes Plus itu sepanjang zaman.”

 

SILVESTER KURNIAWAN, Solo

 

POKOKNYA, kalau Djoko Sulistyo sudah melotot,
Doan Pujiatmoko segera tahu apa yang terjadi. Dia salah nada atau salah intro.

Djoko memang ayahanda Doan. Tapi, Djoko juga
leader sekaligus pemain gitar bas Solofans, band pelestari Koes Plus. Dan, bagi
pria 61 tahun itu, tak ada ruang sedikit pun untuk kesalahan tiap kali
memainkan lagu-lagu band pujaannya tersebut.

”Dari sana saya antisipasi buat nulis semua
intro lagu-lagu yang rutin kami bawakan. Sampai saya tulis notasinya. Jadi,
kalau-kalau lupa, bisa langsung buka sontekan,” kelakar Doan.

Enam belas tahun sudah Doan yang kini berusia
35 tahun berkiprah bersama Solofans. Ayahnya membentuk band tersebut secara
dadakan di dalam mobil L300 carteran dalam perjalanan menuju Jakarta pada 2003.

”Ketika itu bersama sejumlah pencinta musik
Koes Plus dari Solo akan menghadiri parade di Ancol. Nah, katanya Solofans
dibikin mendadak buat jaga-jaga kalau diminta manggung waktu itu,” jelas Doan
kepada Jawa Pos Radar Solo yang menemuinya di kediamannya di Kampung Margosukan,
Gumpang, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin lalu (8/6).

Tapi, bukan sang ayah yang memintanya bergabung
setahun setelah Solofans terbentuk. Melainkan kedua personel lain. Kini, selain
Doan (lead guitar dan keyboard) serta Djoko (bas), Solofans digawangi pula oleh
Kori (drum) dan Garin (rhythm guitar). Garin adalah darah muda lain di
Solofans, bahkan 11 tahun lebih muda daripada Doan. Sayangnya, saat wawancara
dilangsungkan, dia tengah sakit.

Sebagaimana umumnya band-band pelestari Koes
Plus, selain pegang instrumen, semua personel merangkap vokal. Keterampilan
yang tak dimiliki sembarang band, bahkan sampai sekarang.

Tapi, bukan keharusan menyanyi itu yang
merepotkan Doan semasa awal bergabung. Melainkan harus memegang gitar dan
keyboard, dua instrumen yang sebenarnya bukan spesialisasinya. ”Major saya
(waktu kuliah) itu bas, tapi sudah kadung dipegang bapak,” katanya.

Awalnya Doan merasa sangat tidak nyaman. Masih
berusia belasan tahun, pegang alat musik baru, dituntut bermain tanpa kesalahan
lagi. Waktu itu Doan kebetulan juga punya band lain di luar. Di band satunya
tersebut, kalau pas ada personel yang bikin salah, kesalahan itu jadi bahan
evaluasi bersama.

”Kalau bapak saya beda. Salah sedikit itu
langsung ditunjukkan dari gesturnya. Entah langsung melirik atau langsung
komentar kalau salah. Jadi, agak ngeri juga,” kenang lulusan fakultas seni
pertunjukan salah satu universitas swasta di Salatiga, Jawa Tengah, tersebut.

Baca Juga :  Sehari Tanpa Asap Kendaraan Bermotor di SMAN 1 Dramaga

Djoko yang mendampingi sang putra saat
wawancara hanya tersenyum. ”Tapi, ada hasilnya kan didikan keras bapak?” kata
Djoko yang wajahnya mirip pembetot bas Koes Plus Yok Koeswoyo –dan karena itu
pula dia memilih bas– sembari melirik sang anak.

Baru setahun terakhir inilah Doan merasa
benar-benar enjoy bermain di Solofans. Paham soal keinginan sang bapak saat
membawakan setiap lagu Koes Plus.

Orisinalitas merupakan nyawa dari Solofans yang
berupaya membawakan lagu-lagu band idola seperti aslinya. ”Hampir semua lagu
yang pernah kami bawakan diupayakan plek (sama persis, Red) seperti yang ada di
kaset,” katanya.

Tidak diubah dan tidak diaransemen ulang. Untuk
membangun memori pendengar akan kenangan lawas saat Koes Bersaudara (lalu
berubah menjadi Koes Plus) masih jaya-jayanya. ”Butuh waktu lama agar bisa menyamakan
rasa untuk menjadi salah satu pelestari seperti ini,” ungkapnya.

Tapi, tentu tak semuanya pahit. Banyak juga
momen mengesankan yang tak akan dia lupakan. Khususnya jika dirinya bisa
mengiringi secara langsung salah seorang personel dari Koes Bersaudara maupun
Koes Plus.

”Pengalaman paling berkesan mengiringi Nomo
Koeswoyo (drumer Koes Bersaudara, Red) di beberapa kota di Indonesia sekitar
2011 lalu. Mengiringi personel asli dari yang lagu-lagunya rutin kami bawakan
itu tidak bisa didapat semua orang,” katanya.

Solofans beruntung tumbuh di sekitar Solo,
pusat Koes Plus Mania paling fanatik. Solo kerap menjadi tuan rumah perhelatan
besar. Salah satunya Parade Band Pelestari Lagu-Lagu Koes Bersaudara-Koes Plus
pada Juli tahun lalu yang dimeriahkan 25 band dari Jawa Tengah, Jogjakarta, dan
Jawa Timur.

Di tengah perbincangan dengan Doan dan Djoko,
datanglah Leo Budhi. Pria 55 tahun itu dulu personel Solofans dan sejak 2007
mengibarkan KS Plus, band yang juga memainkan lagu-lagu Koes Plus. Leo mengajak
serta Gilang Niko, 24, personel termuda di band yang dimotorinya tersebut.

Pemuda asli Pengging, Boyolali, Jawa Tengah,
itu bergabung dengan KS Plus sejak menggantikan kakaknya pada 2010. Posisi yang
ditinggalkan sang kakak membuat dirinya bermain di posisi yang sama: sebagai
pemain keyboard dan lead guitar. ”Waktu itu saya masih SMP,” kenangnya.

Sang kakak bertanya sudah berapa lagu Koes Plus
yang bisa dia mainkan. ”Mungkin dirasa cukup, akhirnya diajak main,” katanya.

Kala itu Gilang memang sudah familier dengan
lagu-lagu Koes Plus –meski mungkin belum sampai tahap demen. Sebab, dia lebih
condong menyukai aliran musik dengan distorsi dan setingan sound gahar seperti
yang ada di musik classic rock maupun tone tebal dari genre blues rock.

Baca Juga :  Ubah Daun Kelor Jadi Bahan Kosmetik Hingga Obat Kuat

Perkenalannya dengan Koes Plus, band yang sejak
era Koes Bersaudara total telah merilis 89 album itu, dimulai ketika Gilang
mendapati sejumlah lagu band yang dimotori Tonny Koeswoyo tersebut, yang
ternyata juga nge-beat. ”Akhirnya saya makin penasaran dan ketemu kalau
musiknya Koes Plus itu beragam genre,” kata dia.

Tentu Gilang butuh penyesuaian. Maklum, kala
itu dia terbiasa dengan melodi panjang. Kemudian harus lebih bisa menyesuaikan
dengan alat musik lain agar dapat menciptakan harmoni apik seperti yang ada di
lagu-lagu hit Koes Bersaudara-Koes Plus.

”Jadi, harus menekan ego untuk tampil solo
melody. Makanya, saya akali dengan lagu-lagu yang tempo cepat dulu seperti
Waktu Cepat Berlalu, Rata-Rata, dan Rahasia Hatiku,” kenang Gilang.

Motivasinya kala itu hanya teguh pada
keyakinannya bahwa Tonny Koeswoyo merupakan representasi dari aliran rock and
roll yang ada di dalam Koes Bersaudara. Alhasil, dia hanya butuh lima tahun
sampai akhirnya bisa menyesuaikan diri dengan para personel yang lebih senior
dalam KS Plus.

”Kiblat saya Tonny Koeswoyo (waktu masih
bernama Koes Bersaudara, Red) itu orangnya rock and roll. Jadi, saya
betah-betah saja,” jelas Gilang yang mengaku bangga pernah mengiringi Nomo
Koeswoyo (2012), Murry (2013), serta Yok Koeswoyo (2018 dan 2020).

Menurut Leo, Koes Plus itu harmonisasi vokal,
baru musiknya yang mengiringi. Jadi, musiknya memang tidak boleh terlalu
dominan karena bisa menutup keelokan olah vokal khas Koes Plus.

”Ini yang selalu saya tekankan kepada kawan-kawan
yang masih muda. Dan yang paling penting paham histori lagunya biar rasanya
sampai,” jelas Leo.

Kini, Doan maupun Gilang sama-sama telah berada
dalam fase menikmati dunia Koes Plus. Doan telah melewati masa-masa kikuk
karena demikian takut melakukan kesalahan nada atau intro. Juga tak lagi
menganggap posisinya di Solofans ”sekadar bantu” seperti di awal berkiprah.

”Setelah sederet pengalaman itu, akhirnya saya
bisa bilang Koes Bersaudara-Koes Plus itu kiblat musik saya,” tegas Doan.

Gilang pun cuek saja
dengan cibiran dari sesama pemusik tiap kali dia mengunggah acara terkait Koes
Plus di media sosial. ”Biasanya ada yang komen, ’Wah, senengane tembang-tembang
lawas to? Cah kuno ik’ (Wah, kesukaannya lagu-lagu lama ya? Orang kuno, Red). Saya
jawab, tembang lawas, tembang kuno, itu abadi. Apalagi Koes Bersaudara dan Koes
Plus, itu sepanjang zaman,” ucapnya.

Menyamakan rasa dan menekan ego, itulah kunci
bagi Doan Pujiatmoko serta Gilang Niko dalam memainkan lagu-lagu Koes Plus
bersama para senior. Kalau ada yang mencibir ”ah, seleramu lawas”, langsung
dijawab, ”Koes Plus itu sepanjang zaman.”

 

SILVESTER KURNIAWAN, Solo

 

POKOKNYA, kalau Djoko Sulistyo sudah melotot,
Doan Pujiatmoko segera tahu apa yang terjadi. Dia salah nada atau salah intro.

Djoko memang ayahanda Doan. Tapi, Djoko juga
leader sekaligus pemain gitar bas Solofans, band pelestari Koes Plus. Dan, bagi
pria 61 tahun itu, tak ada ruang sedikit pun untuk kesalahan tiap kali
memainkan lagu-lagu band pujaannya tersebut.

”Dari sana saya antisipasi buat nulis semua
intro lagu-lagu yang rutin kami bawakan. Sampai saya tulis notasinya. Jadi,
kalau-kalau lupa, bisa langsung buka sontekan,” kelakar Doan.

Enam belas tahun sudah Doan yang kini berusia
35 tahun berkiprah bersama Solofans. Ayahnya membentuk band tersebut secara
dadakan di dalam mobil L300 carteran dalam perjalanan menuju Jakarta pada 2003.

”Ketika itu bersama sejumlah pencinta musik
Koes Plus dari Solo akan menghadiri parade di Ancol. Nah, katanya Solofans
dibikin mendadak buat jaga-jaga kalau diminta manggung waktu itu,” jelas Doan
kepada Jawa Pos Radar Solo yang menemuinya di kediamannya di Kampung Margosukan,
Gumpang, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin lalu (8/6).

Tapi, bukan sang ayah yang memintanya bergabung
setahun setelah Solofans terbentuk. Melainkan kedua personel lain. Kini, selain
Doan (lead guitar dan keyboard) serta Djoko (bas), Solofans digawangi pula oleh
Kori (drum) dan Garin (rhythm guitar). Garin adalah darah muda lain di
Solofans, bahkan 11 tahun lebih muda daripada Doan. Sayangnya, saat wawancara
dilangsungkan, dia tengah sakit.

Sebagaimana umumnya band-band pelestari Koes
Plus, selain pegang instrumen, semua personel merangkap vokal. Keterampilan
yang tak dimiliki sembarang band, bahkan sampai sekarang.

Tapi, bukan keharusan menyanyi itu yang
merepotkan Doan semasa awal bergabung. Melainkan harus memegang gitar dan
keyboard, dua instrumen yang sebenarnya bukan spesialisasinya. ”Major saya
(waktu kuliah) itu bas, tapi sudah kadung dipegang bapak,” katanya.

Awalnya Doan merasa sangat tidak nyaman. Masih
berusia belasan tahun, pegang alat musik baru, dituntut bermain tanpa kesalahan
lagi. Waktu itu Doan kebetulan juga punya band lain di luar. Di band satunya
tersebut, kalau pas ada personel yang bikin salah, kesalahan itu jadi bahan
evaluasi bersama.

”Kalau bapak saya beda. Salah sedikit itu
langsung ditunjukkan dari gesturnya. Entah langsung melirik atau langsung
komentar kalau salah. Jadi, agak ngeri juga,” kenang lulusan fakultas seni
pertunjukan salah satu universitas swasta di Salatiga, Jawa Tengah, tersebut.

Baca Juga :  Sehari Tanpa Asap Kendaraan Bermotor di SMAN 1 Dramaga

Djoko yang mendampingi sang putra saat
wawancara hanya tersenyum. ”Tapi, ada hasilnya kan didikan keras bapak?” kata
Djoko yang wajahnya mirip pembetot bas Koes Plus Yok Koeswoyo –dan karena itu
pula dia memilih bas– sembari melirik sang anak.

Baru setahun terakhir inilah Doan merasa
benar-benar enjoy bermain di Solofans. Paham soal keinginan sang bapak saat
membawakan setiap lagu Koes Plus.

Orisinalitas merupakan nyawa dari Solofans yang
berupaya membawakan lagu-lagu band idola seperti aslinya. ”Hampir semua lagu
yang pernah kami bawakan diupayakan plek (sama persis, Red) seperti yang ada di
kaset,” katanya.

Tidak diubah dan tidak diaransemen ulang. Untuk
membangun memori pendengar akan kenangan lawas saat Koes Bersaudara (lalu
berubah menjadi Koes Plus) masih jaya-jayanya. ”Butuh waktu lama agar bisa menyamakan
rasa untuk menjadi salah satu pelestari seperti ini,” ungkapnya.

Tapi, tentu tak semuanya pahit. Banyak juga
momen mengesankan yang tak akan dia lupakan. Khususnya jika dirinya bisa
mengiringi secara langsung salah seorang personel dari Koes Bersaudara maupun
Koes Plus.

”Pengalaman paling berkesan mengiringi Nomo
Koeswoyo (drumer Koes Bersaudara, Red) di beberapa kota di Indonesia sekitar
2011 lalu. Mengiringi personel asli dari yang lagu-lagunya rutin kami bawakan
itu tidak bisa didapat semua orang,” katanya.

Solofans beruntung tumbuh di sekitar Solo,
pusat Koes Plus Mania paling fanatik. Solo kerap menjadi tuan rumah perhelatan
besar. Salah satunya Parade Band Pelestari Lagu-Lagu Koes Bersaudara-Koes Plus
pada Juli tahun lalu yang dimeriahkan 25 band dari Jawa Tengah, Jogjakarta, dan
Jawa Timur.

Di tengah perbincangan dengan Doan dan Djoko,
datanglah Leo Budhi. Pria 55 tahun itu dulu personel Solofans dan sejak 2007
mengibarkan KS Plus, band yang juga memainkan lagu-lagu Koes Plus. Leo mengajak
serta Gilang Niko, 24, personel termuda di band yang dimotorinya tersebut.

Pemuda asli Pengging, Boyolali, Jawa Tengah,
itu bergabung dengan KS Plus sejak menggantikan kakaknya pada 2010. Posisi yang
ditinggalkan sang kakak membuat dirinya bermain di posisi yang sama: sebagai
pemain keyboard dan lead guitar. ”Waktu itu saya masih SMP,” kenangnya.

Sang kakak bertanya sudah berapa lagu Koes Plus
yang bisa dia mainkan. ”Mungkin dirasa cukup, akhirnya diajak main,” katanya.

Kala itu Gilang memang sudah familier dengan
lagu-lagu Koes Plus –meski mungkin belum sampai tahap demen. Sebab, dia lebih
condong menyukai aliran musik dengan distorsi dan setingan sound gahar seperti
yang ada di musik classic rock maupun tone tebal dari genre blues rock.

Baca Juga :  Ubah Daun Kelor Jadi Bahan Kosmetik Hingga Obat Kuat

Perkenalannya dengan Koes Plus, band yang sejak
era Koes Bersaudara total telah merilis 89 album itu, dimulai ketika Gilang
mendapati sejumlah lagu band yang dimotori Tonny Koeswoyo tersebut, yang
ternyata juga nge-beat. ”Akhirnya saya makin penasaran dan ketemu kalau
musiknya Koes Plus itu beragam genre,” kata dia.

Tentu Gilang butuh penyesuaian. Maklum, kala
itu dia terbiasa dengan melodi panjang. Kemudian harus lebih bisa menyesuaikan
dengan alat musik lain agar dapat menciptakan harmoni apik seperti yang ada di
lagu-lagu hit Koes Bersaudara-Koes Plus.

”Jadi, harus menekan ego untuk tampil solo
melody. Makanya, saya akali dengan lagu-lagu yang tempo cepat dulu seperti
Waktu Cepat Berlalu, Rata-Rata, dan Rahasia Hatiku,” kenang Gilang.

Motivasinya kala itu hanya teguh pada
keyakinannya bahwa Tonny Koeswoyo merupakan representasi dari aliran rock and
roll yang ada di dalam Koes Bersaudara. Alhasil, dia hanya butuh lima tahun
sampai akhirnya bisa menyesuaikan diri dengan para personel yang lebih senior
dalam KS Plus.

”Kiblat saya Tonny Koeswoyo (waktu masih
bernama Koes Bersaudara, Red) itu orangnya rock and roll. Jadi, saya
betah-betah saja,” jelas Gilang yang mengaku bangga pernah mengiringi Nomo
Koeswoyo (2012), Murry (2013), serta Yok Koeswoyo (2018 dan 2020).

Menurut Leo, Koes Plus itu harmonisasi vokal,
baru musiknya yang mengiringi. Jadi, musiknya memang tidak boleh terlalu
dominan karena bisa menutup keelokan olah vokal khas Koes Plus.

”Ini yang selalu saya tekankan kepada kawan-kawan
yang masih muda. Dan yang paling penting paham histori lagunya biar rasanya
sampai,” jelas Leo.

Kini, Doan maupun Gilang sama-sama telah berada
dalam fase menikmati dunia Koes Plus. Doan telah melewati masa-masa kikuk
karena demikian takut melakukan kesalahan nada atau intro. Juga tak lagi
menganggap posisinya di Solofans ”sekadar bantu” seperti di awal berkiprah.

”Setelah sederet pengalaman itu, akhirnya saya
bisa bilang Koes Bersaudara-Koes Plus itu kiblat musik saya,” tegas Doan.

Gilang pun cuek saja
dengan cibiran dari sesama pemusik tiap kali dia mengunggah acara terkait Koes
Plus di media sosial. ”Biasanya ada yang komen, ’Wah, senengane tembang-tembang
lawas to? Cah kuno ik’ (Wah, kesukaannya lagu-lagu lama ya? Orang kuno, Red). Saya
jawab, tembang lawas, tembang kuno, itu abadi. Apalagi Koes Bersaudara dan Koes
Plus, itu sepanjang zaman,” ucapnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru