26.5 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

KPK Minta PPATK Lacak Sumber dan Aliran Dana Paslon

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Menumpuknya sejumlah laporan yang diterima
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait sumber dana calon kepala daerah
dalam Pilkada 2020, harus segera direspon Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK). Anggaran yang mengucur deras dewasa ini memantik
kecurigaan bahwa besaran anggaran itu berasal dari dana harap alias korupsi.

”KPK meminta PPATK untuk menelusuru ini. Minimal mencegah politik uang.
PPATK punya kemampuan untuk melacak transaksi keuangan yang digunakankarena
kajian KPK sebelumnya 82 persen peserta pilkada didanai sponsor, bukan dari
pribadi, jadi ada aliran dana dari sponsor ke calon pemimpin daerah,” terang
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di gedung KPK Jakarta, Jumat (11/9).

Rekomendasi selanjut hal ini ke PPATK adalah pembuatan peta risiko daerah
peserta pilkada berbasis karakteristik wilayah karena daerah-daerah di
Indonesia mulai Aceh sampai Papua jenis kerawanannya berbeda, ada yang berbasis
suku, agama, hingga ketimpangan sosial. Rekomendasi adalah melakukan pengawasan
ketat dalam berbagai program penanganan Covid-19 dan distribusi bantuan sosial.

Di banyak daerah KPK memantau, kalau ada petahana yang akan ikut pilkada
lagi, petahana menggunakan momen Covid-19 dengan memberikan bansos untuk
kampanye terselubung. Meski KPK sudah melarang beras para petahana menempeli
foto mereka di bansos tapi momen pilkada tetap bisa ditumpangi kampanye
terselubung.

Rekomendasi KPK lainnya (selengkapnya lihat grafis) menegaskan kepala
daerah yang ikut Pilkada Serentak 2020 agar dilarang menjadi ketua satuan tugas
penanganan Covid-19 di daerah. ”Agar satgas murni berkegiatan untuk kemanusiaan
tidak ada sangkutan pilkada, tapi ini kami lihat memang masih belum mungkin
dilakukan,” jelas Ghufron.

Rekomendasi-rekomendasi KPK tersebut pun diberikan kepada Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukum) Mahfud MD yang juga
ikut dalam konferensi pers virtual tersebut.

Menanggapi hal ini, Mahfud MD menegaskan, Pilkada sejauh ini berjalan
dengan cara eksperimen yang tidak pernah selesai. Tapi Mahfud menegaskan
pemerintah menyatakan tidak akan kembali menunda pilkada serentak 2020 karena
Covid-19.

Baca Juga :  Jangan Sampai Ada yang Dirugikan

”Karena tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk penundaan tersebut,
kalau alasannya pandemi, lalu apakah tidak ada pemerintahan kalau pandemi?
Apakah semuanya sembunyi? Ada yang mengatakan menunggu sampai selesai pandemi,
tapi tidak ada yang tahu kapan pandemi selesai,” ungkap Mahfud.

Ia pun menilai bahwa pilkada tetap harus dilaksanakan dengan protokol
kesehatan. ”Pilkada pada masa pandemi berarti menjaga protokol kesehatan, tetap
mengusahakan demokrasi berkualitas dan tidak boleh ada korupsi,” tambah Mahfud.

Menanggapi hal ini Pakar Otonomi Daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan MA
mengatakan, bahwa dalam pilkada memiliki larangan. Jelas bahwa tidak boleh
calon memberi uang dan pemilih termasuk partai tidak boleh menerima uang
(politik uang).

”Jadi kalau si calon untuk mendapatkan sesuatu, bisa diartikan antara lain
suara, rekomendasi partai, tapi dengan cara membeli. Ini namanya politik
transaksi, politik jual beli. Saya minta rekomendasi dari partai dan anda minta
apa dari saya. Kata partai, kami minta uang terlepas uang itu dipakai untuk apa
misalnya untuk kepentingan kampanye si calon. Tetapi apakah itu benar adanya?
Selama ini tidak pernah ada catatan di keuangan partai kalau dia menerima uang
dari si calon,” paparnya.

Hal ini, kata Guru besar IPDN ini, dinamakan transaksi vehicle buying, ada
transaksi untuk beli kendaraan yang kita sebut juga mahar politik. Calon
meminta partai untuk memilihnya kemudian partai minta uang mahar.

”Itu sebenarnya menyalahi prinsip pemilu yang bebas dari kecurangan. Karena
itu namanya curang. Karena itu tidak masuk ke kas partai tapi masuk ke kantong
oknum-oknum pengurus partai. Ini merupakan pendidikan politik yang buruk dari
para pemimpin partai,” terang pria peraih Sarjana Adhi Praja Nugraha
(penghargaan bagi lulusan terbaik lIP) tahun 1984 itu.

Fenomena akhir akhir ini ada calon yang lebih memilih maju  sebagai calon independen saja. Karena tidak
mau dimintai uang oleh partai. Dari segi itu juga menyebabkan orang-orang
idealis tidak bisa menjadi pemimpin padahal dia merasa pantas tapi tidak mau
mengikuti cara-cara praktek membeli rekomendasi partai itu, membeli kendaraan,
atau memberi mahar.

Baca Juga :  Mengalkulasi Ujung Mundurnya Cawagub

”Prakteknya yang saya ketahui, untuk mengusung harus memenuhi minimal 20
persen kursi atau 25 persen suara. Misalnya, 10 kursi DPRD Provinsi lalu 1
kursi DPRD itu dihargai 1 miliar,  dikali
10 kursi nilainya 10 miliar. Dalihnya kami untuk mendapatkan kursi DPRD dalam
pemilihan umum  menghabiskan ongkos yang
besar. Oleh karena itu anda harus beri kontribusi senilai harga kursi itu.
Tentu bila benar, maka itu adalah praktek yang menyimpang,” ungkapnya.

Maka untuk perbaikan kedepan, Prof Djo menyarankan, supaya tidak lagi
dihargai kursi DPRD seperti itu, yang punya efek negatif pada pilkada.
Sebaiknya kedepan jangan lagi sistem pemilihan anggota DPRD atau DPR RI dengan
cara proporsional dengan daftar calon terbuka. ”Kembali saja ke model yang lama
proporsional dengan daftar calon tertutup. Jadi sistem pemilu mendatang coblos
tanda gambar bukan coblos orang,”ujar Pj Gubernur Riau 2013-2014 itu.

Prof Djo menegaskan, bentuk penyuapan pembelian suara baik  yang memberi maupun yang menerima dua duanya
kena sanksi pidana. Dalam aturan main normatif UU Pilkada No 10 Tahun 2016 jo
UU sebelumnya No 8 Tahun 2015 dalam pengaturannya ada larangan kepada partai
atau gabungan partai  menerima imbalan
dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah.

Untuk diketahui Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia,
meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Semula, hari pemungutan suara
Pilkada akan digelar pada 23 September namun akibat pandemi Covid-19, hari
pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.

Tahap pendaftaran pasangan bakal calon peserta pilkada 2020 sudah dilakukan
pada 4-6 September 2020, selanjutnya KPUD akan melakukan verifikasi dan
mengumumkan peserta pilkada pada 23 September. Masa kampanye akan berlangsung
pada 26 September sampai 5 Desember 2020 atau selama 71 hari.

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Menumpuknya sejumlah laporan yang diterima
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait sumber dana calon kepala daerah
dalam Pilkada 2020, harus segera direspon Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK). Anggaran yang mengucur deras dewasa ini memantik
kecurigaan bahwa besaran anggaran itu berasal dari dana harap alias korupsi.

”KPK meminta PPATK untuk menelusuru ini. Minimal mencegah politik uang.
PPATK punya kemampuan untuk melacak transaksi keuangan yang digunakankarena
kajian KPK sebelumnya 82 persen peserta pilkada didanai sponsor, bukan dari
pribadi, jadi ada aliran dana dari sponsor ke calon pemimpin daerah,” terang
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di gedung KPK Jakarta, Jumat (11/9).

Rekomendasi selanjut hal ini ke PPATK adalah pembuatan peta risiko daerah
peserta pilkada berbasis karakteristik wilayah karena daerah-daerah di
Indonesia mulai Aceh sampai Papua jenis kerawanannya berbeda, ada yang berbasis
suku, agama, hingga ketimpangan sosial. Rekomendasi adalah melakukan pengawasan
ketat dalam berbagai program penanganan Covid-19 dan distribusi bantuan sosial.

Di banyak daerah KPK memantau, kalau ada petahana yang akan ikut pilkada
lagi, petahana menggunakan momen Covid-19 dengan memberikan bansos untuk
kampanye terselubung. Meski KPK sudah melarang beras para petahana menempeli
foto mereka di bansos tapi momen pilkada tetap bisa ditumpangi kampanye
terselubung.

Rekomendasi KPK lainnya (selengkapnya lihat grafis) menegaskan kepala
daerah yang ikut Pilkada Serentak 2020 agar dilarang menjadi ketua satuan tugas
penanganan Covid-19 di daerah. ”Agar satgas murni berkegiatan untuk kemanusiaan
tidak ada sangkutan pilkada, tapi ini kami lihat memang masih belum mungkin
dilakukan,” jelas Ghufron.

Rekomendasi-rekomendasi KPK tersebut pun diberikan kepada Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukum) Mahfud MD yang juga
ikut dalam konferensi pers virtual tersebut.

Menanggapi hal ini, Mahfud MD menegaskan, Pilkada sejauh ini berjalan
dengan cara eksperimen yang tidak pernah selesai. Tapi Mahfud menegaskan
pemerintah menyatakan tidak akan kembali menunda pilkada serentak 2020 karena
Covid-19.

Baca Juga :  Jangan Sampai Ada yang Dirugikan

”Karena tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk penundaan tersebut,
kalau alasannya pandemi, lalu apakah tidak ada pemerintahan kalau pandemi?
Apakah semuanya sembunyi? Ada yang mengatakan menunggu sampai selesai pandemi,
tapi tidak ada yang tahu kapan pandemi selesai,” ungkap Mahfud.

Ia pun menilai bahwa pilkada tetap harus dilaksanakan dengan protokol
kesehatan. ”Pilkada pada masa pandemi berarti menjaga protokol kesehatan, tetap
mengusahakan demokrasi berkualitas dan tidak boleh ada korupsi,” tambah Mahfud.

Menanggapi hal ini Pakar Otonomi Daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan MA
mengatakan, bahwa dalam pilkada memiliki larangan. Jelas bahwa tidak boleh
calon memberi uang dan pemilih termasuk partai tidak boleh menerima uang
(politik uang).

”Jadi kalau si calon untuk mendapatkan sesuatu, bisa diartikan antara lain
suara, rekomendasi partai, tapi dengan cara membeli. Ini namanya politik
transaksi, politik jual beli. Saya minta rekomendasi dari partai dan anda minta
apa dari saya. Kata partai, kami minta uang terlepas uang itu dipakai untuk apa
misalnya untuk kepentingan kampanye si calon. Tetapi apakah itu benar adanya?
Selama ini tidak pernah ada catatan di keuangan partai kalau dia menerima uang
dari si calon,” paparnya.

Hal ini, kata Guru besar IPDN ini, dinamakan transaksi vehicle buying, ada
transaksi untuk beli kendaraan yang kita sebut juga mahar politik. Calon
meminta partai untuk memilihnya kemudian partai minta uang mahar.

”Itu sebenarnya menyalahi prinsip pemilu yang bebas dari kecurangan. Karena
itu namanya curang. Karena itu tidak masuk ke kas partai tapi masuk ke kantong
oknum-oknum pengurus partai. Ini merupakan pendidikan politik yang buruk dari
para pemimpin partai,” terang pria peraih Sarjana Adhi Praja Nugraha
(penghargaan bagi lulusan terbaik lIP) tahun 1984 itu.

Fenomena akhir akhir ini ada calon yang lebih memilih maju  sebagai calon independen saja. Karena tidak
mau dimintai uang oleh partai. Dari segi itu juga menyebabkan orang-orang
idealis tidak bisa menjadi pemimpin padahal dia merasa pantas tapi tidak mau
mengikuti cara-cara praktek membeli rekomendasi partai itu, membeli kendaraan,
atau memberi mahar.

Baca Juga :  Mengalkulasi Ujung Mundurnya Cawagub

”Prakteknya yang saya ketahui, untuk mengusung harus memenuhi minimal 20
persen kursi atau 25 persen suara. Misalnya, 10 kursi DPRD Provinsi lalu 1
kursi DPRD itu dihargai 1 miliar,  dikali
10 kursi nilainya 10 miliar. Dalihnya kami untuk mendapatkan kursi DPRD dalam
pemilihan umum  menghabiskan ongkos yang
besar. Oleh karena itu anda harus beri kontribusi senilai harga kursi itu.
Tentu bila benar, maka itu adalah praktek yang menyimpang,” ungkapnya.

Maka untuk perbaikan kedepan, Prof Djo menyarankan, supaya tidak lagi
dihargai kursi DPRD seperti itu, yang punya efek negatif pada pilkada.
Sebaiknya kedepan jangan lagi sistem pemilihan anggota DPRD atau DPR RI dengan
cara proporsional dengan daftar calon terbuka. ”Kembali saja ke model yang lama
proporsional dengan daftar calon tertutup. Jadi sistem pemilu mendatang coblos
tanda gambar bukan coblos orang,”ujar Pj Gubernur Riau 2013-2014 itu.

Prof Djo menegaskan, bentuk penyuapan pembelian suara baik  yang memberi maupun yang menerima dua duanya
kena sanksi pidana. Dalam aturan main normatif UU Pilkada No 10 Tahun 2016 jo
UU sebelumnya No 8 Tahun 2015 dalam pengaturannya ada larangan kepada partai
atau gabungan partai  menerima imbalan
dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah.

Untuk diketahui Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia,
meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Semula, hari pemungutan suara
Pilkada akan digelar pada 23 September namun akibat pandemi Covid-19, hari
pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.

Tahap pendaftaran pasangan bakal calon peserta pilkada 2020 sudah dilakukan
pada 4-6 September 2020, selanjutnya KPUD akan melakukan verifikasi dan
mengumumkan peserta pilkada pada 23 September. Masa kampanye akan berlangsung
pada 26 September sampai 5 Desember 2020 atau selama 71 hari.

Terpopuler

Artikel Terbaru