26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mengalkulasi Ujung Mundurnya Cawagub

DINAMIKA perpolitikan
di Kalteng berkembang dinamis. Hal ini menyusul mundurnya Habib Ismail Bin
Yahya dari bursa pencalonan wakil gubernur (wagub) di provinsi kita ini.
Tepatnya, bertepatan dengan peringatan empat tahun masa kepemimpinan Gubernur
dan Wakil Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran-Habib Ismail Bin Yahya, atau
dikenal dengan SOHIB.

Pernyataan mengejutkan
justru dilontarkan orang nomor dua di Pemprov Kalteng tersebut. Dirinya mundur dari
pencalonan berpasangan dengan Sugianto Sabran.

Dengan memberi legitimasi
sebagai alasan berdasarkan hasil dari berbagai pertimbangan dan salat
istikharah, melalui momen yang bahagia dan bertepatan dengan empat tahun
dirinya bersama Sugianto Sabran dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur, ia
menyatakan mundur dari pencalonan sebagai bakal calon wagub. Menurut wagub ini,
keputusan diambi untuk kebaikan semua.

Pernyataan itu dinilai
berbagai kalangan sebagai mengejutkan. Sebab, Sugianto Sabran dan Habib Ismail
sempat menyatakan akan maju kembali sebagai pasangan calon gubernur dan calon
wakil gubernur di Pilkada Kalteng yang semula akan digelar tahun ini.
Pernyataan akan kembali berpasangannya SOHIB jilid II itu disampaikan di depan
publik saat Safari Dakwah Habib Umar bin Hafidz pada 2019 lalu.

Hal itu pertama
kali disampaikan Sugianto Sabran yang menyatakan SOHIB akan kembali
berpasangan. Hal yang dinilai wajar, karena dalam kepemimpinan keduanya, bisa
disebut tak ada problem selama perjalanan kepemimpinannya.

Pernyataan mengejutkan yang disampaikan oleh
Ketua Dewan Tanfidziah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kalteng ini menarik.
Sebab, di samping selama kepemimpinan empat tahun tak ada masalah yang prinsipil,
juga dinilai banyak kalangan sebagai sebuah langkah yang konservatif. Pasalnya
dari perkembangan pencalonan kepala daerah tingkat provinsi, tercatat selama
ini pasangan petahana atau incumbent lebih diuntungkan dalam pencalonan periode
kedua.

Hal ini diperkuat
dengan kenyataan bahwa infrastruktur dan suprastruktur politik di tingkat lokal
lebih mereka kuasai. Jajaran birokrasi pun seantero wilayah berada dalam
kendali, dan para birokrat umumnya tidak mau ambil risiko untuk beralih suara,
karena sifat kemapanan yang selama ini tanpa masalah. Jumlah mereka bersama
keluarganya cukup besar.

Baca Juga :  Mendagri Kembali Janji Kepala Daerah

Di samping hal tersebut,
banyak calon yang datang sebagai pesaing belum teruji kepiawaiannya mengemas
kepemimpinan pada tingkat provinsi. Jadi, dengan memilih calon dari petahana
biasanya lebih aman daripada memilih calon baru yang berisiko untuk
kemenangannya. Sebutlah memilih petahana lebih menyelamatkan.

Mendukung status
quo lebih nyaman dibandingkan dengan berspekulasi mendukung calon yang masih
belum pasti kapasitas dan kapabilitasnya.

Kecuali jika dalam masa
kepemimpinannya tedapat hal-hal yang secara kasat mata menjadi hal yang
dipertimbangkan karena rekam jejak yang tidak baik. Apalagi jika ada rekam
jejak terlibat dalam kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), yang kemudian
menjadikan namanya tercemar atau setidaknya terdegradasi karena berurusan
dengan hukum.

Sekali lagi, untuk
konkretnya, selama empat tahun memimpin Kalteng kedua tokoh ini tidak memiliki
rekam jejak seperti itu. Apalagi sebagai tokoh partai dalam percaturan politik,
kapabiltas keduanya tidak diragukan. Belum lagi dalam kekuatan finansial,
khususnya Gubernur Sugianto Sabran. Melimpahnya logistik dalam pencalonan
merupakan hal yang memegang persentase menentukan dalam pencalonan kepala
daerah. Itu ada pada calon gubernur petahana ini.

Artinya, bagi Sugianto
Sabran, berdasarkan kalkulasi sederhana tidak akan bermasalah dengan mundurnya
sang calon pendamping ini. Ibarat sebuah pasangan pengantin, siapa pun yang
akan dijadikan sebagai pasangan, tidak akan berpengaruh besar. Kalkulasi
sederhana ini tentunya dengan catatan, masa yang masih tersisa ini tidak akan
muncul permasalahan hukum yang menjeratnya.

Terhadap penyataan
mundur dari pencalonan oleh Habib, ia didampingi sejumlah pengurus parpol. Di antaranya,
Basirun selaku kader Partai Demokrat dan Andi Karyadi selaku kader Partai
Gerindra. Ada juga kader dari PDIP, PAN, dan Partai Buruh, yang mengisyaratkan
mendukung mundurnya Habib Ismail sebagai bakal wagub mendampingi Sugianto
Sabran dalam Pilgub Kalteng mendatang.

Baca Juga :  Ganjar Pranowo Rencanakan Program Mengatasi Kemiskinan

Hal itu sama sekali
tidak dapat dimaknai secara argumentum a
contrario
.

Artinya bukan sebagai bentuk dukungan partai yang sama terhadap
dirinya untuk maju sebagai bakal calon ataupun bakal wakil calon yang kemungkinan
akan dilakukannya. Situasi politik berubah dinamis. Pendampingan pernyataan
mundur tidak berkorelasi lurus dengan pencalonan. Pembatasan bahwa mundurnya
didukung itu satu hal. Namun permasalahan pencalonan adalah hal lain.

Pada sisi lain,
pendampingan pencalonan juga tidak menjamin kepada diraihnya suara dari partai
yang bersangkutan pada pelaksanaan pencoblosan. Rakyat pemilih sudah cerdas. Dari
pengalaman selama ini, para pemilih lebih melihat kepada ketokohan calon
daripada partai pengusungnya.

Belajar dari pengalaman
pilkada di Seruyan pada 2013 lalu misalnya, kendati pun tidak dicalonkan oleh
partai politik, tetapi berangkat dari jalur perseorangan bisa memenangkan
pertarungan. Tergantung kepada ketokohan dari sang calon. Inilah tampaknya yang
merupakan pengalaman dari pelaksanaan pilkada yang tidak berbanding lurus dengan
pencalonan oleh parpol. Validitas tokoh lebih menentukan dibandingkan dengan
penilaian dari partai pengusung.

Artinya, banyaknya
partai pengusung bukan jadi jaminan. Sebagaimana dinyatakan Habib bahwa dirinya
siap jika nanti ada koalisi parpol yang ingin mengusungnya sebagai calon gubernur
dalam Pilgub Kalteng mendatang, berhadapan dengan sang inkumben, merupakan
pernyataan yang belum tentu diamini oleh fungsionaris parpol. Tentu semua
tergantung pada perkembangan yang masih terus berlangsung dinamis.

Apa pun ke depan, kita
berharap proses untuk hajat pilkada ini berlangsung mulus tanpa gejolak yang
berarti. Berbagai peristiwa hendaknya dimaknai sebagai aksesori politik yang
terus bekembang hingga pelaksanaan pencoblosan. Kita tentu berharap bahwa semua
berlangsung adem, ayem, tenteram, dan berakhir dengan marem (puas)-nya semua
pihak. (*)

 

Penulis
adalah Pengamat Sosial dan Hukum yang juga Dosen STIH Habaring Hurung

DINAMIKA perpolitikan
di Kalteng berkembang dinamis. Hal ini menyusul mundurnya Habib Ismail Bin
Yahya dari bursa pencalonan wakil gubernur (wagub) di provinsi kita ini.
Tepatnya, bertepatan dengan peringatan empat tahun masa kepemimpinan Gubernur
dan Wakil Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran-Habib Ismail Bin Yahya, atau
dikenal dengan SOHIB.

Pernyataan mengejutkan
justru dilontarkan orang nomor dua di Pemprov Kalteng tersebut. Dirinya mundur dari
pencalonan berpasangan dengan Sugianto Sabran.

Dengan memberi legitimasi
sebagai alasan berdasarkan hasil dari berbagai pertimbangan dan salat
istikharah, melalui momen yang bahagia dan bertepatan dengan empat tahun
dirinya bersama Sugianto Sabran dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur, ia
menyatakan mundur dari pencalonan sebagai bakal calon wagub. Menurut wagub ini,
keputusan diambi untuk kebaikan semua.

Pernyataan itu dinilai
berbagai kalangan sebagai mengejutkan. Sebab, Sugianto Sabran dan Habib Ismail
sempat menyatakan akan maju kembali sebagai pasangan calon gubernur dan calon
wakil gubernur di Pilkada Kalteng yang semula akan digelar tahun ini.
Pernyataan akan kembali berpasangannya SOHIB jilid II itu disampaikan di depan
publik saat Safari Dakwah Habib Umar bin Hafidz pada 2019 lalu.

Hal itu pertama
kali disampaikan Sugianto Sabran yang menyatakan SOHIB akan kembali
berpasangan. Hal yang dinilai wajar, karena dalam kepemimpinan keduanya, bisa
disebut tak ada problem selama perjalanan kepemimpinannya.

Pernyataan mengejutkan yang disampaikan oleh
Ketua Dewan Tanfidziah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kalteng ini menarik.
Sebab, di samping selama kepemimpinan empat tahun tak ada masalah yang prinsipil,
juga dinilai banyak kalangan sebagai sebuah langkah yang konservatif. Pasalnya
dari perkembangan pencalonan kepala daerah tingkat provinsi, tercatat selama
ini pasangan petahana atau incumbent lebih diuntungkan dalam pencalonan periode
kedua.

Hal ini diperkuat
dengan kenyataan bahwa infrastruktur dan suprastruktur politik di tingkat lokal
lebih mereka kuasai. Jajaran birokrasi pun seantero wilayah berada dalam
kendali, dan para birokrat umumnya tidak mau ambil risiko untuk beralih suara,
karena sifat kemapanan yang selama ini tanpa masalah. Jumlah mereka bersama
keluarganya cukup besar.

Baca Juga :  Mendagri Kembali Janji Kepala Daerah

Di samping hal tersebut,
banyak calon yang datang sebagai pesaing belum teruji kepiawaiannya mengemas
kepemimpinan pada tingkat provinsi. Jadi, dengan memilih calon dari petahana
biasanya lebih aman daripada memilih calon baru yang berisiko untuk
kemenangannya. Sebutlah memilih petahana lebih menyelamatkan.

Mendukung status
quo lebih nyaman dibandingkan dengan berspekulasi mendukung calon yang masih
belum pasti kapasitas dan kapabilitasnya.

Kecuali jika dalam masa
kepemimpinannya tedapat hal-hal yang secara kasat mata menjadi hal yang
dipertimbangkan karena rekam jejak yang tidak baik. Apalagi jika ada rekam
jejak terlibat dalam kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), yang kemudian
menjadikan namanya tercemar atau setidaknya terdegradasi karena berurusan
dengan hukum.

Sekali lagi, untuk
konkretnya, selama empat tahun memimpin Kalteng kedua tokoh ini tidak memiliki
rekam jejak seperti itu. Apalagi sebagai tokoh partai dalam percaturan politik,
kapabiltas keduanya tidak diragukan. Belum lagi dalam kekuatan finansial,
khususnya Gubernur Sugianto Sabran. Melimpahnya logistik dalam pencalonan
merupakan hal yang memegang persentase menentukan dalam pencalonan kepala
daerah. Itu ada pada calon gubernur petahana ini.

Artinya, bagi Sugianto
Sabran, berdasarkan kalkulasi sederhana tidak akan bermasalah dengan mundurnya
sang calon pendamping ini. Ibarat sebuah pasangan pengantin, siapa pun yang
akan dijadikan sebagai pasangan, tidak akan berpengaruh besar. Kalkulasi
sederhana ini tentunya dengan catatan, masa yang masih tersisa ini tidak akan
muncul permasalahan hukum yang menjeratnya.

Terhadap penyataan
mundur dari pencalonan oleh Habib, ia didampingi sejumlah pengurus parpol. Di antaranya,
Basirun selaku kader Partai Demokrat dan Andi Karyadi selaku kader Partai
Gerindra. Ada juga kader dari PDIP, PAN, dan Partai Buruh, yang mengisyaratkan
mendukung mundurnya Habib Ismail sebagai bakal wagub mendampingi Sugianto
Sabran dalam Pilgub Kalteng mendatang.

Baca Juga :  Ganjar Pranowo Rencanakan Program Mengatasi Kemiskinan

Hal itu sama sekali
tidak dapat dimaknai secara argumentum a
contrario
.

Artinya bukan sebagai bentuk dukungan partai yang sama terhadap
dirinya untuk maju sebagai bakal calon ataupun bakal wakil calon yang kemungkinan
akan dilakukannya. Situasi politik berubah dinamis. Pendampingan pernyataan
mundur tidak berkorelasi lurus dengan pencalonan. Pembatasan bahwa mundurnya
didukung itu satu hal. Namun permasalahan pencalonan adalah hal lain.

Pada sisi lain,
pendampingan pencalonan juga tidak menjamin kepada diraihnya suara dari partai
yang bersangkutan pada pelaksanaan pencoblosan. Rakyat pemilih sudah cerdas. Dari
pengalaman selama ini, para pemilih lebih melihat kepada ketokohan calon
daripada partai pengusungnya.

Belajar dari pengalaman
pilkada di Seruyan pada 2013 lalu misalnya, kendati pun tidak dicalonkan oleh
partai politik, tetapi berangkat dari jalur perseorangan bisa memenangkan
pertarungan. Tergantung kepada ketokohan dari sang calon. Inilah tampaknya yang
merupakan pengalaman dari pelaksanaan pilkada yang tidak berbanding lurus dengan
pencalonan oleh parpol. Validitas tokoh lebih menentukan dibandingkan dengan
penilaian dari partai pengusung.

Artinya, banyaknya
partai pengusung bukan jadi jaminan. Sebagaimana dinyatakan Habib bahwa dirinya
siap jika nanti ada koalisi parpol yang ingin mengusungnya sebagai calon gubernur
dalam Pilgub Kalteng mendatang, berhadapan dengan sang inkumben, merupakan
pernyataan yang belum tentu diamini oleh fungsionaris parpol. Tentu semua
tergantung pada perkembangan yang masih terus berlangsung dinamis.

Apa pun ke depan, kita
berharap proses untuk hajat pilkada ini berlangsung mulus tanpa gejolak yang
berarti. Berbagai peristiwa hendaknya dimaknai sebagai aksesori politik yang
terus bekembang hingga pelaksanaan pencoblosan. Kita tentu berharap bahwa semua
berlangsung adem, ayem, tenteram, dan berakhir dengan marem (puas)-nya semua
pihak. (*)

 

Penulis
adalah Pengamat Sosial dan Hukum yang juga Dosen STIH Habaring Hurung

Terpopuler

Artikel Terbaru