26.3 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Delapan Tahun Baru Mendapatkan Hasil

Ditunjuk sebagai desa lumbung pangan
nasional, Belanti Siam masih terus berbenah agar dapat menghasilkan panen
memuaskan. Selama ini, per satu hektare sawah bisa menghasilkan enam sampai
sepuluh ton padi. Meski demikian, hambatan selalu ada. Terutama masalah air dan
harga jual.

 

AGUS
PRAMONO,

Pulang Pisau


JAM di layar
ponsel menunjukkan pukul 09.23 WIB. Saya (penulis) sudah meninggalkan Kota
Pulang Pisau. Kurang lebih 21 kilometer menuju Kota Kuala Kapuas. Ada pertigaan
jalan menuju Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu. Persis di pertigaan itu
saya menepikan sepeda motor lalu turun. Saya ingin memastikan apakah benar
jalan tersebut merupakan jalan menuju Desa Belanti Siam. Saya pun bertanya ke
perempuan paruh baya yang duduk sambil memangku balita laki-laki di warung
gorengan.

“Bu, jalan ke Belanti Siam ke sana
ya,” tanya saya sambil menunjuk jalan beraspal lurus itu. Perempuan itu
beranjak berdiri, melangkahkan kaki mendekati aspal, lalu menjawab tanpa ragu.
“Lurus ikuti aspal saja,” jawabnya sambil memicingkan mata lantaran silau oleh
pancaran sinar matahari.

Perjalanan ke pelosok Pulang Pisau ini
memakan waktu kurang lebih 90 menit. Pohon-pohon karet dan kelapa sawit berdiri
di sisi kanan dan kiri. Daunnya melambai-lambai ditiup angin. Pemandangan
berubah ketika memasuki desa yang sudah masuk wilayah Kecamatan Maliku.
Hamparan sawah begitu memanjakan mata. Padi sudah mulai menguning. Tak lama
lagi bisa dipanen. Terlihat beberapa petani sedang mengusir burung-burung kecil
yang berusaha mencuri bulir-bulir padi.

Kecamatan Maliku juga termasuk daerah
penghasil beras. Ada 1.557 hektare lahan produktif. Setengah jam perjalanan,
gapura selamat datang di Kecamatan Pandih Batu terlihat jelas. Meski catnya
sudah ada yang memudar. Pemandangan serupa terlihat sepanjang perjalanan menuju
Desa Belanti Siam. Kanan kiri berupa hamparan padi. Beberapa petak sawah sudah
mulai dipanen dengan cara modern, yakni dengan menggunakan mesin pemanen padi.
Orang-orang di sana menyebutnya mesin combine.

Akhirnya sampai juga di Desa Belanti
Siam. Sesuai petunjuk spidometer, jarak dari pusat Kota Pulang Pisau ke Desa
Belanti Siam yakni 62 kilometer. Saya langsung berhenti di depan rumah Kepala
Desa Belanti Siam, Amin Arifin. Kebetulan sedang nongkrong bersama tiga orang
warga, di bawah pohon rindang tepat samping kiri rumahnya.

Desa ini dahulunya berwajahkan hutan
belantara. Pada 1983 lalu, ratusan bahkan ribuan orang dari Pulau Jawa
bertransmigrasi. Membabat hutan. Membuat petak-petak sawah. Perjuangan berat
yang dilakukan membuahkan hasil. Di desa yang berpenduduk 2.484 jiwa itu, hutan
disulap menjadi persawahan seluas 1.687 hektare. 563 hektare lahan sisanya
masih belum produktif. Berdasarkan data, Kecamatan Pandih Batu memiliki 6.943
hektare sawah yang tersebar di 16 desa. 

Baca Juga :  Pemkab Ajak Gunakan Hak Pilih 9 Desember Mendatang

“Kemajuan Desa Belanti Siam ini berkat
keuletan warganya. Tidak kenal menyerah. Puluhan tahun merintis penuh peluh.
Sabar hidup dalam serbakekurangan,” ujar Kepala Desa Belanti Siam, Amin Arifin
merendah.

“Dulu oyek panganane (dulu nasi oyek
makannya, red),” tambahnya.

Padi yang diolah menjadi beras
memiliki merek dagang beras Belanti Siam. Sudah dipasarkan di 14 kabupaten/kota
se-Kalteng. Bahkan sampai ke beberapa daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel). Di
Desa Belanti Siam, jenis padi unggulan adalah Hibrida Supadi. Satu hektare bisa
menghasilkan enam sampai sepuluh ton padi. “Di sini berasnya enak. Tak kalah
dengan daerah lain, meski jenis padinya sama. Beras yang keluar dari Desa
Belanti Siam dijual dengan harga Rp9 ribu/kilogram,” ungkapnya.

Kendala yang dialami petani datang kala
musim kemarau panjang. Kemungkinan gagal panen lebih besar.

“Kenapa? Habis tanah kering, pecah.
Mau dikasih air, enggak ada air. Naiklah keasaman,” beber Amin yang baru
dilantik jadi kepala desa Oktober 2019 lalu.

“Masak mau dijadikan food estate, tapi
masih mengenal gagal panen,” sindir bapak dua anak ini.

Sementara itu, Ketua Gapoktan Mandi
Bersama Desa Belanti Siam, Slamet menceritakan sepenggal kisah perjuangan para
petani yang merintis dari awal kedatangannya tahun 1983. Sebagai waga
transmigrasi, diberi jatah sembako dari pemerintah. Selama 1,5 tahun. Meski
demikian, kadar keasaman tanah di wilayah itu luar biasa. Ditanam padi gak
pernah ada hasil. Sampai-sampai ada yang putus asa. Lalu merantau ke daerah
lain. Mulai dari menjadi kuli bangunan sampai bekerja sebagai penambang emas.

Dulu mencoba menanam bibit lokal. Hanya
bisa panen satu kali dalam setahun. Prosesnya ada empat. Ditebang pohonnya,
dirambat, dilacak, lalu ditanam.

“Kerja tiap hari, hujan panas, enggak
ada hasil. Enggak setahun dua tahun, tapi bertahun-tahun,” kata bapak dua anak
ini.

Akhirnya, ada semangat untuk membangun
kembali lahan tidur. Menebang hutan. Membuang gambut. Membuat saluran irigasi.
Lebarnya sekitar 1,5 meter. Kades pertama Belanti Siam, Slamet Riyadi, mulai
menggagas metode menabur padi.

Akhirnya tumbuh. Ada hasil yang bisa
dipanen. Keasaman bisa diantisipasi dengan kapur. Asa pemuda-pemudi desa tumbuh
kembali. Enggak mau merantau meninggalkan tanah transmigrasinya. Memilih
mengurus agar hamparan sawah bisa ditumbuhi padi dan panen.

Baca Juga :  Sinergitas Pemda dan TNI-Polri Semakin Kuat

“Tanah sini tidak bagus, tapi karena
keuletan warga di sini, akhirnya bisa sampai seperti ini,” ungkapnya.

Penulis pun mendatangi salah satu
petani yang kebetulan sedang menunggu selesai panen. Namanya Manto. Kulitnya
yang berwarna sawo matang tampak keriput. Namun, masih kuat untuk berjalan.
Badannya masih tegap. Tidak membungkuk saat berjalan. Saya tak pernah
mengulangi kata-kata yang saya lontarkan saat ngobrol. Saat saya tanya usianya,
ternyata sudah 78 tahun.

Manto menunggu di jalan tanah. Samping
mobil pikap yang bersiap mengangkut padi, sambil melihat kinerja combine buatan
Jerman itu.

“Sekarang enak. Satu hektare sawah,
enggak sampai satu jam selesai dipanen,” ungkap 
pria yang dikaruniai tiga anak dan enam cucu ini.

Ia memiliki dua hektare lahan yang
diterima ketika awal menginjakkan kaki di Desa Belanti Siam.

Pria asli Boyolali ini bersyukur, apa
yang dirintis oleh warga transmigran di tempat itu membuahkan hasil. Dia pernah
frustasi ketika menghadapi kontur tanah gambut. Beda jauh dengan tanah yang ada
di tempat kelahirannya. 

“Setelah membuka lahan, delapan tahun
baru ada hasil. Itu pun sulitnya minta ampun pas menjual padinya. Kualitasnya
padinya jelek saat itu. Modal sama hasil panen tak ketemu (tidak untung, red),”
ungkapnya.

Kendala yang dialami petani adalah
masalah air. Selain itu, juga harga jual padi kepada tengkulak. Untuk masalah
air, pasang surut air Sungai Kahayan melalui saluran primer sangat mengganggu.
Jika berencana membuang air, eh malah masuk. Jika membutuhkan air, sebaliknya,
air di saluran primer sedang surut. Untungnya, sekarang ada paralon yang
mengatur keluar masuk air.

“Petani di sini diatur sama air,”
sebutnya.

Untuk mengatasi keasaman, para petani
sudah mengantisipasinya dengan memberikan kapur. Untuk satu hektare minimal membutuhkan
800 kilogram atau 8 kwintal kapur, dengan harga Rp95 ribu per kwintal. Untuk
pupuk Hibrida, bisa menghabisakan 9  kwintal,
dengan harga Rp260 ribu per kwintal.

Hampir semua petani di Desa Belanti
Siam biasa menjual padi ke tengkulak. Harganya Rp5.000 per kilogram. Jika panen
raya, harga jual justru merosot jadi Rp4.500 per kilogram.

“Bisa harga enam ribu, tapi sistem utang,”
ucapnya sambil tertawa lepas. 

Ditunjuk sebagai desa lumbung pangan
nasional, Belanti Siam masih terus berbenah agar dapat menghasilkan panen
memuaskan. Selama ini, per satu hektare sawah bisa menghasilkan enam sampai
sepuluh ton padi. Meski demikian, hambatan selalu ada. Terutama masalah air dan
harga jual.

 

AGUS
PRAMONO,

Pulang Pisau


JAM di layar
ponsel menunjukkan pukul 09.23 WIB. Saya (penulis) sudah meninggalkan Kota
Pulang Pisau. Kurang lebih 21 kilometer menuju Kota Kuala Kapuas. Ada pertigaan
jalan menuju Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu. Persis di pertigaan itu
saya menepikan sepeda motor lalu turun. Saya ingin memastikan apakah benar
jalan tersebut merupakan jalan menuju Desa Belanti Siam. Saya pun bertanya ke
perempuan paruh baya yang duduk sambil memangku balita laki-laki di warung
gorengan.

“Bu, jalan ke Belanti Siam ke sana
ya,” tanya saya sambil menunjuk jalan beraspal lurus itu. Perempuan itu
beranjak berdiri, melangkahkan kaki mendekati aspal, lalu menjawab tanpa ragu.
“Lurus ikuti aspal saja,” jawabnya sambil memicingkan mata lantaran silau oleh
pancaran sinar matahari.

Perjalanan ke pelosok Pulang Pisau ini
memakan waktu kurang lebih 90 menit. Pohon-pohon karet dan kelapa sawit berdiri
di sisi kanan dan kiri. Daunnya melambai-lambai ditiup angin. Pemandangan
berubah ketika memasuki desa yang sudah masuk wilayah Kecamatan Maliku.
Hamparan sawah begitu memanjakan mata. Padi sudah mulai menguning. Tak lama
lagi bisa dipanen. Terlihat beberapa petani sedang mengusir burung-burung kecil
yang berusaha mencuri bulir-bulir padi.

Kecamatan Maliku juga termasuk daerah
penghasil beras. Ada 1.557 hektare lahan produktif. Setengah jam perjalanan,
gapura selamat datang di Kecamatan Pandih Batu terlihat jelas. Meski catnya
sudah ada yang memudar. Pemandangan serupa terlihat sepanjang perjalanan menuju
Desa Belanti Siam. Kanan kiri berupa hamparan padi. Beberapa petak sawah sudah
mulai dipanen dengan cara modern, yakni dengan menggunakan mesin pemanen padi.
Orang-orang di sana menyebutnya mesin combine.

Akhirnya sampai juga di Desa Belanti
Siam. Sesuai petunjuk spidometer, jarak dari pusat Kota Pulang Pisau ke Desa
Belanti Siam yakni 62 kilometer. Saya langsung berhenti di depan rumah Kepala
Desa Belanti Siam, Amin Arifin. Kebetulan sedang nongkrong bersama tiga orang
warga, di bawah pohon rindang tepat samping kiri rumahnya.

Desa ini dahulunya berwajahkan hutan
belantara. Pada 1983 lalu, ratusan bahkan ribuan orang dari Pulau Jawa
bertransmigrasi. Membabat hutan. Membuat petak-petak sawah. Perjuangan berat
yang dilakukan membuahkan hasil. Di desa yang berpenduduk 2.484 jiwa itu, hutan
disulap menjadi persawahan seluas 1.687 hektare. 563 hektare lahan sisanya
masih belum produktif. Berdasarkan data, Kecamatan Pandih Batu memiliki 6.943
hektare sawah yang tersebar di 16 desa. 

Baca Juga :  Pemkab Ajak Gunakan Hak Pilih 9 Desember Mendatang

“Kemajuan Desa Belanti Siam ini berkat
keuletan warganya. Tidak kenal menyerah. Puluhan tahun merintis penuh peluh.
Sabar hidup dalam serbakekurangan,” ujar Kepala Desa Belanti Siam, Amin Arifin
merendah.

“Dulu oyek panganane (dulu nasi oyek
makannya, red),” tambahnya.

Padi yang diolah menjadi beras
memiliki merek dagang beras Belanti Siam. Sudah dipasarkan di 14 kabupaten/kota
se-Kalteng. Bahkan sampai ke beberapa daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel). Di
Desa Belanti Siam, jenis padi unggulan adalah Hibrida Supadi. Satu hektare bisa
menghasilkan enam sampai sepuluh ton padi. “Di sini berasnya enak. Tak kalah
dengan daerah lain, meski jenis padinya sama. Beras yang keluar dari Desa
Belanti Siam dijual dengan harga Rp9 ribu/kilogram,” ungkapnya.

Kendala yang dialami petani datang kala
musim kemarau panjang. Kemungkinan gagal panen lebih besar.

“Kenapa? Habis tanah kering, pecah.
Mau dikasih air, enggak ada air. Naiklah keasaman,” beber Amin yang baru
dilantik jadi kepala desa Oktober 2019 lalu.

“Masak mau dijadikan food estate, tapi
masih mengenal gagal panen,” sindir bapak dua anak ini.

Sementara itu, Ketua Gapoktan Mandi
Bersama Desa Belanti Siam, Slamet menceritakan sepenggal kisah perjuangan para
petani yang merintis dari awal kedatangannya tahun 1983. Sebagai waga
transmigrasi, diberi jatah sembako dari pemerintah. Selama 1,5 tahun. Meski
demikian, kadar keasaman tanah di wilayah itu luar biasa. Ditanam padi gak
pernah ada hasil. Sampai-sampai ada yang putus asa. Lalu merantau ke daerah
lain. Mulai dari menjadi kuli bangunan sampai bekerja sebagai penambang emas.

Dulu mencoba menanam bibit lokal. Hanya
bisa panen satu kali dalam setahun. Prosesnya ada empat. Ditebang pohonnya,
dirambat, dilacak, lalu ditanam.

“Kerja tiap hari, hujan panas, enggak
ada hasil. Enggak setahun dua tahun, tapi bertahun-tahun,” kata bapak dua anak
ini.

Akhirnya, ada semangat untuk membangun
kembali lahan tidur. Menebang hutan. Membuang gambut. Membuat saluran irigasi.
Lebarnya sekitar 1,5 meter. Kades pertama Belanti Siam, Slamet Riyadi, mulai
menggagas metode menabur padi.

Akhirnya tumbuh. Ada hasil yang bisa
dipanen. Keasaman bisa diantisipasi dengan kapur. Asa pemuda-pemudi desa tumbuh
kembali. Enggak mau merantau meninggalkan tanah transmigrasinya. Memilih
mengurus agar hamparan sawah bisa ditumbuhi padi dan panen.

Baca Juga :  Sinergitas Pemda dan TNI-Polri Semakin Kuat

“Tanah sini tidak bagus, tapi karena
keuletan warga di sini, akhirnya bisa sampai seperti ini,” ungkapnya.

Penulis pun mendatangi salah satu
petani yang kebetulan sedang menunggu selesai panen. Namanya Manto. Kulitnya
yang berwarna sawo matang tampak keriput. Namun, masih kuat untuk berjalan.
Badannya masih tegap. Tidak membungkuk saat berjalan. Saya tak pernah
mengulangi kata-kata yang saya lontarkan saat ngobrol. Saat saya tanya usianya,
ternyata sudah 78 tahun.

Manto menunggu di jalan tanah. Samping
mobil pikap yang bersiap mengangkut padi, sambil melihat kinerja combine buatan
Jerman itu.

“Sekarang enak. Satu hektare sawah,
enggak sampai satu jam selesai dipanen,” ungkap 
pria yang dikaruniai tiga anak dan enam cucu ini.

Ia memiliki dua hektare lahan yang
diterima ketika awal menginjakkan kaki di Desa Belanti Siam.

Pria asli Boyolali ini bersyukur, apa
yang dirintis oleh warga transmigran di tempat itu membuahkan hasil. Dia pernah
frustasi ketika menghadapi kontur tanah gambut. Beda jauh dengan tanah yang ada
di tempat kelahirannya. 

“Setelah membuka lahan, delapan tahun
baru ada hasil. Itu pun sulitnya minta ampun pas menjual padinya. Kualitasnya
padinya jelek saat itu. Modal sama hasil panen tak ketemu (tidak untung, red),”
ungkapnya.

Kendala yang dialami petani adalah
masalah air. Selain itu, juga harga jual padi kepada tengkulak. Untuk masalah
air, pasang surut air Sungai Kahayan melalui saluran primer sangat mengganggu.
Jika berencana membuang air, eh malah masuk. Jika membutuhkan air, sebaliknya,
air di saluran primer sedang surut. Untungnya, sekarang ada paralon yang
mengatur keluar masuk air.

“Petani di sini diatur sama air,”
sebutnya.

Untuk mengatasi keasaman, para petani
sudah mengantisipasinya dengan memberikan kapur. Untuk satu hektare minimal membutuhkan
800 kilogram atau 8 kwintal kapur, dengan harga Rp95 ribu per kwintal. Untuk
pupuk Hibrida, bisa menghabisakan 9  kwintal,
dengan harga Rp260 ribu per kwintal.

Hampir semua petani di Desa Belanti
Siam biasa menjual padi ke tengkulak. Harganya Rp5.000 per kilogram. Jika panen
raya, harga jual justru merosot jadi Rp4.500 per kilogram.

“Bisa harga enam ribu, tapi sistem utang,”
ucapnya sambil tertawa lepas. 

Terpopuler

Artikel Terbaru