PRESIDEN Joko Widodo
nampaknya serius dengan rencana membuat Kawasan Pangan (Food Estate) di
Kalimantan Tengah. Kondisi pandemi panjang yang belum diketahui kapan
berakhirnya terus mengancam ketahanan pangan nasional. Antisipasi krisis pangan
dilakukan dengan kejar tayang membangun kawasan food estate, salah satunya di
Kalimantan Tengah.
Keseriusan Jokowi cukup terlihat dari
aktivitas proses pembangunan food estate ini. Pertama, pemerintah pusat telah
memasukkan food estate di Kalteng ini ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dalam PSN ini Kalteng menjadi prioritas untuk membuat lumbung pangan. Tak
tanggung tanggung, anggaran yang disiapkan dalam APBN 2021 adalah 2,5 triliun
rupiah.
Kedua, keseriusan Jokowi telah
mengirimkan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpau (SYL) yang sudah dua kali
bolak balik ke Kalteng, ke Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono juga
telah diutus Jokowi meninjau langsung lokasi yang akan dibangun infrastuktur
seperti cetak sawah, irigasi, jalan dan aneka macam kebutuhan mendukung food
estate ini. Ketiga, rapat koordinasi dengan Menteri Perekonomian Airlangga
Hartato juga sering dilakukan antara Gubernur Pemerintah Provinsi.
Kelihatannya memang ini terus dikebut.
Pemerintah Provinsi sendiri bertugas untuk menyiapkan lahan dengan kabupaten.
Setidaknya 79.142 ha lahan ekstensifikasi dan 85.456 ha lahan ekstensifikasi
sudah disiapkan dan diusulkan ke pusat. Koordinasi antara Provinsi dengan
Kabupaten Pulpis dan Kapuas pun terus dilakukan. Selain lahan, hal yang
disiapkan juga terkait dengan tenaga kerja transmigran maupun prioritas tenaga
kerja dari lokal.
Gagasan food estate ini bukanlah ide
baru. Sejak jaman Soeharto telah dicanangkan dengan Peraturan Presiden Nomor 89
tahun 1996 dan disempurnakan dengan keputusan presiden nomor 9 tahun 1998
tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Namun proyek ini pernah
gagal.
Salah satunya proyek cetak sawah
Program Lahan Gambut (PLG) di Pulpis dan Kapuas era Soeharto. Kesulitan
adaptasi penanaman padi ddi lahan gambut dengan minimnya irigasi menjadi
penyebab utamanya.
Dalam era reformasi, sejak jaman
Presiden SBY hingga Jokowi proyek food estate juga terus dilakukan. Sebelum ke
Kalteng, Proyek serupa juga gagal di Papua, Merauke tepatnya. Proyek Percepatan
Pengembangan Kawasan Ekonomi Merauke Trans Papua (MIFEE) terbukt gagal.
Setelah konflik dengan penduduk lokal
dan sulitnya menanam di lahan gambut proyek tersebut sekarang mangkrak. Padahal
dana APBN tidak sedikit yang dikeluarkan dengan kerjasama BUMN.
Proyek ini pun juga mendapatkan banyak
penolakan dari kelompok masyarakat sipil. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) Kalimantan Tengah maupun Pusat beberapa kali menyuarakan, pembukaan
lahan food estate sering menyebabkan kebakaran hutan yang masif.
Selain itu hutan khususnya juga
terancam. Selain itu beberapa pakar dan akademisi pertanian juga menganggap
proyek gagal food estate jangan dilanjutkan. Kalau hanya mampu memproduksi 2
ton per hektar, maka hitung hitungan biaya pembangunan tidak akan balik. Saran
mereka, optimalkan sampai 4 ton per hektar, namun itu sulit terjadi di lahan
gambut.
Kesiapan Daerah
Sebenarnya, jalan atau tidaknya food
estate tergantung dari kesiapan pemerintah daerah khususnya provinsi dan
kabupaten. Orientasi keberadaan proyek tersebut harus berdampak pada
kesejahteraan masyarakat Kalteng yang utama, baru mendukung nasional pada
prioritas kedua.
Beberapa hal yang perlu disiapkan oleh
pemerintah daerah adalah, Pertama, tenaga kerja harus disiapkan dari lokal.
Bupati Pulpis Edi Pratowo telah mengusulkan bahwa nantinya petani nya berasal
dari penduduk lokal. Jadi penduduk lokal perlu disiapkan dengan aneka macam
pelatihan untuk bekerja di kawasan food estate. Tenaga ahli pertanian juga
perlu dari Kalteng. Dengan Universitas Palangka Raya Misalnya. Penulis setuju
dengan ide Bupati Pulpis ini untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal.
Kedua, perijinan lahan, kesiapan lahan
jangan ada kebakaran hutan dan konflik perlu dihindari. Ini penting agar tidak
adanya kontra dikstif dengan masyarakat. Kesiapan lahan ini juga jangan sampai
menimbulkan konflik dengan masyarakat. Belajar dari Papua, jangan sampai
terulangi lagi di Kalteng. Terkait perijinan lahan ini juga perlu dipersiapkan oleh
pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Ketiga, insfrastruktur dan teknologi.
Kita ketahui lahan gambut cukup susah untuk ditanami tumbuhan pangan. Sehingga,
infrastruktur tanah, irigasi dan teknologi perlu dipersiapan. Agar tanah gambut
mampu subur untuk menumbuhkan aneka tanaman pangan yang akan diprioritaskan
seperti padi, singkong dan aneka macamnya.
Selain itu, teknologi pertanian akan
sangat berperan dalam food estate di lahan gambut ini. Oleh karena itu,
pengelolaan anggaran food estate jangan hanya fokus kepada infrastrukturnya
tetapi juga harus ada pada investasi teknologi. Dan investasi pada tenaga kerja
yang akan menggunakan teknologi pertanian itu dalam kawasan food estate.
Lebih jauh, penulis membayangkan PSN
Food Estate ini tidak gagal lagi di Kalteng. Gagal dalam arti proyeknya, juga
dalam arti gagal mensejahterakan rakyat Kalteng. Kita ketahui berapa banyak
perusahaan multi nasional yang mengambil sumberdaya alam dan kebun di Kalteng,
namun kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat Kalteng masih rendah.
Seperti daerah lain yang lebih dikenal dengan kutukan sumber daya alam.
Semoga food estate dapat
mensejahterakan masyarakat Kalteng. Seperti harapan Gubernur H Sugianto Sabran
beberapa waktu lalu terkait food estate, “Ini akan kita dukung agar Kalteng
menjadi lumbung pangan Nasional dan kesejahteraan masyarakat meningkat kedepan.
Ini juga peluang besar Kalteng dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan taraf
hidup masyarakat khususnya petani di Kalteng.â€.