25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Inggris Resmi Keluar dari Uni Eropa

TERHITUNG mulai pukul 00.01 tanggal 1 Februari 2020, Inggris resmi
meninggalkan Uni Eropa. Untuk sementara, tidak banyak hal yang berubah sampai
akhir tahun ini. Artinya, segala sesuatu akan langsung berubah bagi warga
Inggris maupun warga Uni Eropa.

Sebab ada masa transisi selama 11
bulan sampai akhir 2020. Dan selama masa transisi itu, semua aturan yang
berlaku masih seperti dulu. Di mana, Inggris masih tetap mengikuti aturan Uni
Eropa, sekalipun tidak ada lagi wakil dari Inggris di Parlemen Eropa.

Terlebih, Inggris juga masih
menjadi bagian dari pasar tunggal Eropa, sehingga barang-barang yang keluar
dari Inggris ke Uni Eropa tidak terkena pajak, begitu pula sebaliknya. Inggris
juga masih wajib membayar iuran keanggotaan di Uni Eropa.

Warga Inggris dan warga Uni Eropa
masih tetap bebas bergerak tanpa perlu visa dari satu kawasan ke kawasan
lainnya. Artinya, mereka bebas bekerja dan belajar di mana saja seperti yang
berlaku selama ini.

Selama masa transisi, Inggris
tidak diizinkan menandatangani perjanjian perdagangan dengan negara-negara
lain, dan harus menunggu sampai masa transisi berakhir.

Sementara tim perunding kedua
pihak saat ini sedang menyusun rancangan kesepakatan dagang baru antara Inggris
dan Uni Eropa. Pembicaraan resmi diperkirakan akan dimulai pada 3 Maret
mendatang. Delegasi Inggris yang dinamakan Taskforce Europe akan dipimpin oleh
David Frost.

Perdana Menteri Inggris Boris
Johnson ingin agar secepatnya dicapai kesepakatan dalam segala bidang:
perdagangan, keamanan, pertukaran data, perikanan, penerbangan, pendidikan, dan
bidang lainnya. Namun, skenario itu kelihatannya akan membutuhkan waktu
bertahun-tahun.

Yang paling mungkin dirampungkan
dalam waktu setahun adalah kesepakatan perdagangan. Ini berkaitan dengan lalu lintas
barang, tanpa mencakup sektor jasa yang merupakan 80 persen dari ekonomi
Inggris.

Baca Juga :  Stres PR dari Sekolah Terlalu Banyak, Pelajar Gantung Diri

Namun, jika kedua belah pihak
gagal mencapai kesepakatan perdagangan sampai 1 Januari 2021, dan masa transisi
tidak diperpanjang, maka lalu lintas barang antara Inggris dan Uni Eropa diatur
berdasarkan kerangka Organisasi Perdagangan Dunia, WTO.

Berarti, semua barang Inggris
yang diimpor ke Uni Eropa akan terkena pajak, begitu juga semua barang Uni
Eropa yang diekspor ke Inggris. Baik Inggris dan negara-negara Uni Eropa akan
segera merasakan dampaknya. Barang-barang Inggris di Uni Eropa akan kehilangan
daya saing, karena menjadi jauh lebih mahal.

Penerapan aturan WTO untuk lalu
lintas barang juga akan berarti harus ada pemeriksaan di perbatasan. Berbagai
skenario memperkirakan akan terjadi kemacetan panjang di kawasan perbatasan dan
pada lalu lintas pelabuhan. Para ahli memperkirakan, kerugian bagi Inggris akan
lebih besar, karena kehilangan akses ke pasar tunggal Uni Eropa yang luas.

Sementara itu terkait masalah
Irlandia Utara akan menjadi persoalan krusial dalam proses Brexit. Menurut
ketentuan yang disepakati saat ini, Irlandia Utara akan tetap berada di wilayah
pabean Inggris, tetapi perbatasan pabean antara Irlandia Utara dan Uni Eropa
ditetapkan berada di Laut Irlandia, yang memisahkan Irlandia Utara (bagian dari
Inggris) dan Republik Irlandia (anggota Uni Eropa).

Itu berarti, barang yang tiba di
Irlandia Utara dari negara-negara non-Uni Eropa akan tunduk pada aturan bea
cukai Inggris, sementara barang-barang yang masuk ke Uni Eropa melalui Republik
Irlandia, yang anggota Uni Eropa, akan diproses di bawah aturan Uni Eropa.

Duta Besar Inggris di Jakarta,
Owen Jenkins, memaparkan keputusan negaranya untuk keluar dari Uni Eropa
(Brexit) mendatangkan keuntungan bagi Indonesia, terutama dalam konteks
hubungan bilateral.

Baca Juga :  Massa Demonstran Tak Gubris Ajakan Dialog

Menurut Jenkins, Brexit
menjadikan Inggris lebih terbuka kepada dunia dan mandiri khususnya dalam
menerapkan kebijakan luar negerinya, terutama dalam memperkuat relasi dengan
negara lain, termasuk Indonesia, bahkan Uni Eropa sekalipun.

“Brexit menawarkan peluang yang
sangat besar bagi Indonesia,” kata Jenkins dalam jumpa pers di kedutaannya
beberapa jam jelang Brexit resmi berlaku, Jumat (31/1).

“Keluar dari Uni Eropa menjadikan
kami bisa lebih mendunia. Inggris yang mendunia berarti hubungan baru dengan
Uni Eropa dan hubungan bilateral yang lebih erat dengan negara lain termasuk
dengan Indonesia,” tutur Jenkins menambahkan.

Jenkins memaparkan pasca-Brexit,
Inggris tidak akan terikat lagi aturan Uni Eropa dalam menjalin hubungan dengan
negara-negara lain. Dengan begitu, tutur Jenkins, Inggris bisa lebih leluasa
meningkatkan volume perdagangan dengan Indonesia dari kedua arah.

“Selepas Brexit, Inggris bisa
memperkuat kerja sama ekonomi dengan Indonesia, mengurangi hambatan perdagangan
seperti tarif dan sebagainya, akses pasar antar kedua negara juga bisa
diperluas,” ucap Jenkins.

Selama ini, Jenkins memaparkan,
bahwa Inggris merupakan importir terbesar kayu Indonesia di antara negara Uni
Eropa.

Pasca-Brexit, ia menegaskan
Inggris akan tetap melanjutkan impor tersebut menurut skema FLEG-T VPA atau
perjanjian antara Uni Eropa-Indonesia terkait penjualan kayu yang berkelanjutan
sesuai dengan aturan di negara Eropa yang membeli.

“Inggris dan Indonesia sudah
berbisnis dengan persyaratan WTO, jadi hubungan perdagangan kedua negara tetap
sama (pasca Brexit). Kami telah menandatangani perjanjian yang mirip dengan
perjanjian UE tentang kayu legal, untuk menjamin keberlangsungan. Dan kami
telah meluncurkan Tinjauan Perdagangan Bersama bersama, untuk mencari tahu di
mana peluang masa depan kita berada,” kata Jenkins. (der/fin/kpc)

TERHITUNG mulai pukul 00.01 tanggal 1 Februari 2020, Inggris resmi
meninggalkan Uni Eropa. Untuk sementara, tidak banyak hal yang berubah sampai
akhir tahun ini. Artinya, segala sesuatu akan langsung berubah bagi warga
Inggris maupun warga Uni Eropa.

Sebab ada masa transisi selama 11
bulan sampai akhir 2020. Dan selama masa transisi itu, semua aturan yang
berlaku masih seperti dulu. Di mana, Inggris masih tetap mengikuti aturan Uni
Eropa, sekalipun tidak ada lagi wakil dari Inggris di Parlemen Eropa.

Terlebih, Inggris juga masih
menjadi bagian dari pasar tunggal Eropa, sehingga barang-barang yang keluar
dari Inggris ke Uni Eropa tidak terkena pajak, begitu pula sebaliknya. Inggris
juga masih wajib membayar iuran keanggotaan di Uni Eropa.

Warga Inggris dan warga Uni Eropa
masih tetap bebas bergerak tanpa perlu visa dari satu kawasan ke kawasan
lainnya. Artinya, mereka bebas bekerja dan belajar di mana saja seperti yang
berlaku selama ini.

Selama masa transisi, Inggris
tidak diizinkan menandatangani perjanjian perdagangan dengan negara-negara
lain, dan harus menunggu sampai masa transisi berakhir.

Sementara tim perunding kedua
pihak saat ini sedang menyusun rancangan kesepakatan dagang baru antara Inggris
dan Uni Eropa. Pembicaraan resmi diperkirakan akan dimulai pada 3 Maret
mendatang. Delegasi Inggris yang dinamakan Taskforce Europe akan dipimpin oleh
David Frost.

Perdana Menteri Inggris Boris
Johnson ingin agar secepatnya dicapai kesepakatan dalam segala bidang:
perdagangan, keamanan, pertukaran data, perikanan, penerbangan, pendidikan, dan
bidang lainnya. Namun, skenario itu kelihatannya akan membutuhkan waktu
bertahun-tahun.

Yang paling mungkin dirampungkan
dalam waktu setahun adalah kesepakatan perdagangan. Ini berkaitan dengan lalu lintas
barang, tanpa mencakup sektor jasa yang merupakan 80 persen dari ekonomi
Inggris.

Baca Juga :  Stres PR dari Sekolah Terlalu Banyak, Pelajar Gantung Diri

Namun, jika kedua belah pihak
gagal mencapai kesepakatan perdagangan sampai 1 Januari 2021, dan masa transisi
tidak diperpanjang, maka lalu lintas barang antara Inggris dan Uni Eropa diatur
berdasarkan kerangka Organisasi Perdagangan Dunia, WTO.

Berarti, semua barang Inggris
yang diimpor ke Uni Eropa akan terkena pajak, begitu juga semua barang Uni
Eropa yang diekspor ke Inggris. Baik Inggris dan negara-negara Uni Eropa akan
segera merasakan dampaknya. Barang-barang Inggris di Uni Eropa akan kehilangan
daya saing, karena menjadi jauh lebih mahal.

Penerapan aturan WTO untuk lalu
lintas barang juga akan berarti harus ada pemeriksaan di perbatasan. Berbagai
skenario memperkirakan akan terjadi kemacetan panjang di kawasan perbatasan dan
pada lalu lintas pelabuhan. Para ahli memperkirakan, kerugian bagi Inggris akan
lebih besar, karena kehilangan akses ke pasar tunggal Uni Eropa yang luas.

Sementara itu terkait masalah
Irlandia Utara akan menjadi persoalan krusial dalam proses Brexit. Menurut
ketentuan yang disepakati saat ini, Irlandia Utara akan tetap berada di wilayah
pabean Inggris, tetapi perbatasan pabean antara Irlandia Utara dan Uni Eropa
ditetapkan berada di Laut Irlandia, yang memisahkan Irlandia Utara (bagian dari
Inggris) dan Republik Irlandia (anggota Uni Eropa).

Itu berarti, barang yang tiba di
Irlandia Utara dari negara-negara non-Uni Eropa akan tunduk pada aturan bea
cukai Inggris, sementara barang-barang yang masuk ke Uni Eropa melalui Republik
Irlandia, yang anggota Uni Eropa, akan diproses di bawah aturan Uni Eropa.

Duta Besar Inggris di Jakarta,
Owen Jenkins, memaparkan keputusan negaranya untuk keluar dari Uni Eropa
(Brexit) mendatangkan keuntungan bagi Indonesia, terutama dalam konteks
hubungan bilateral.

Baca Juga :  Massa Demonstran Tak Gubris Ajakan Dialog

Menurut Jenkins, Brexit
menjadikan Inggris lebih terbuka kepada dunia dan mandiri khususnya dalam
menerapkan kebijakan luar negerinya, terutama dalam memperkuat relasi dengan
negara lain, termasuk Indonesia, bahkan Uni Eropa sekalipun.

“Brexit menawarkan peluang yang
sangat besar bagi Indonesia,” kata Jenkins dalam jumpa pers di kedutaannya
beberapa jam jelang Brexit resmi berlaku, Jumat (31/1).

“Keluar dari Uni Eropa menjadikan
kami bisa lebih mendunia. Inggris yang mendunia berarti hubungan baru dengan
Uni Eropa dan hubungan bilateral yang lebih erat dengan negara lain termasuk
dengan Indonesia,” tutur Jenkins menambahkan.

Jenkins memaparkan pasca-Brexit,
Inggris tidak akan terikat lagi aturan Uni Eropa dalam menjalin hubungan dengan
negara-negara lain. Dengan begitu, tutur Jenkins, Inggris bisa lebih leluasa
meningkatkan volume perdagangan dengan Indonesia dari kedua arah.

“Selepas Brexit, Inggris bisa
memperkuat kerja sama ekonomi dengan Indonesia, mengurangi hambatan perdagangan
seperti tarif dan sebagainya, akses pasar antar kedua negara juga bisa
diperluas,” ucap Jenkins.

Selama ini, Jenkins memaparkan,
bahwa Inggris merupakan importir terbesar kayu Indonesia di antara negara Uni
Eropa.

Pasca-Brexit, ia menegaskan
Inggris akan tetap melanjutkan impor tersebut menurut skema FLEG-T VPA atau
perjanjian antara Uni Eropa-Indonesia terkait penjualan kayu yang berkelanjutan
sesuai dengan aturan di negara Eropa yang membeli.

“Inggris dan Indonesia sudah
berbisnis dengan persyaratan WTO, jadi hubungan perdagangan kedua negara tetap
sama (pasca Brexit). Kami telah menandatangani perjanjian yang mirip dengan
perjanjian UE tentang kayu legal, untuk menjamin keberlangsungan. Dan kami
telah meluncurkan Tinjauan Perdagangan Bersama bersama, untuk mencari tahu di
mana peluang masa depan kita berada,” kata Jenkins. (der/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru