Saya ingin seperti Robert Lai –tapi tidak bisa. Saya tidak bisa marah ketika di hari pertama setelah operasi pasien itu nekat melakukan video call –dari tempat tidur ICU-nya. Begitu berani. Padahal operasi itu sangat berat: ganti hati. Liver pasien terkena sirosis berat. Tidak ada jalan lain kecuali transplant.
Itulah mengapa saya di Beijing sampai 10 hari nonstop makan kambing –bulan lalu.
Saya ingat diri sendiri ketika menjalani operasi yang sama: 18 tahun lalu. Saya didampingi seorang sahabat hebat bernama Robert Lai –di samping istri, anak, menantu, dan satu cucu saya. Anda sudah tahu: Robert itu orang Singapura –lahir di Hong Kong. Disiplinnya luar biasa –khas orang Singapura. Perawat pun ia tegur kalau masuk ruang perawatan saya tanpa masker dan mencuci tangan. Apalagi keluarga saya: dimarahinya!
Ketika giliran saya mendampingi orang yang menjalani transplant hati, saya pun ingin menjaganya –seperti Robert menjaga saya. Apa saja yang dilakukan Robert ingin saya lakukan kali ini.
Tetaplah saya bukan Robert.
Pasien yang saya jaga ini memang jauh lebih muda –dibanding saat saya menjalani operasi yang sama. Umurnya baru 41 tahun. Livernya terkena hepatitis dan sirosis. Wajahnya sudah hitam. Mata kuning keruh. Perut membesar. Dokter mengatakan: satu-satunya jalan, untuk tetap hidup, tinggal satu, transplantasi hati. Mahal.
Tapi ia mampu. Ia ikut dalam tim manajemen perusahaan orang tuanya: di bidang umrah dan haji. Terbesar di Mojokerto. Ia selalu mengantar jemaahnya ke Makkah dan Madinah. Tapi selama ia sakit bapaknyalah, 72 tahun, yang kembali wira-wiri Surabaya–Makkah.
Sang ayah awalnya hanya guru agama. Di Mojokerto. Jujur, rajin, dan tekun. Lalu dipercaya untuk mengelola koperasi kantor Kementerian Agama setempat. Koperasi itu maju pesat.
Perputaran uangnya sudah puluhan miliar rupiah. Sampai pun sudah pensiun ia masih diminta mengawasi koperasi itu. Itu koperasi terbaik di seluruh Kementerian Agama se-Indonesia.
Sambil mengajar ia juga jualan jam tangan. Lalu jualan sepeda. Ia keliling desa-desa berjualan apa saja. Setelah mulai punya uang ia terjun ke bisnis pertanian. Akhirnya menekuni jasa perjalanan umrah dan haji.
Setelah ia tua putra putrinya membantu pendampingan haji dan umrah. Ia sendiri mendirikan madrasah di dekat rumahnya. Salah satu anak yang diandalkan adalah yang sakit itu.
Saya menengok yang sakit itu ke rumahnya. Saya lihat keadaannya: parah. Saya ragu: apakah akan menyarankan transplant. Keluarga ini sangat agamis. Belum tentu percaya hati manusia bisa diganti.
Selama itu, untuk penyembuhannya pun banyak mendatangi kiai –¬di samping ke dokter dan keluar-masuk rumah sakit.
Akhirnya saya tawarkan jalan itu. Saya lihat perusahaan ini sangat maju. Sayang kalau harus terhambat dalam regenerasi.
Keluarga ini mendengarkan dengan baik. Saya pun terus diminta menjelaskan apa itu transplant. Juga pengalaman saya menjalaninya.
Sang ayah dengan cepat menyampaikan keputusannya –sambil menahan genangan air mata. Ia menyerahkan anaknya ke saya –untuk mengikuti jejak ganti hati.
“Tidak harus ke Tiongkok,” kata saya kepada beliau –jangan sampai ia takut anaknya jadi komunis. Si anak ikut mendengarkan sambil tergeletak di tempat tidur. Saya sungguh khawatir kata T menimbulkan alergi di tubuh mereka.
“Jakarta sudah bisa melakukan transplantasi hati. Di RSCM. Siloam juga bisa,” kata saya. “Saya akan hubungkan ke dokter di sana,” kata saya.
Pun kalau mau di luar negeri tidak harus ke T. Bisa ke India. Saya ceritakan: seorang tokoh politik kita baru saja transplant hati di India. Berhasil. Saya kenal baik dengannya.
Bahkan, kata saya, Iran pun juga sudah bisa. Tapi mungkin ia takut jadi syiah. Sudah banyak yang bisa melakukan. Asal tidak ke Singapura: bagus tapi mahal sekali.
Saya beri waktu mereka untuk berpikir.
Seminggu kemudian saya dikabari. “Hasil istikharah kiai kami, cocoknya di Tiongkok,” kata sang ayah. Istikharah adalah satu jenis sembahyang untuk mendapat ilham atas pilihan-pilihan yang ada. Biasanya istikharah dilakukan saat memilih gadis mana yang akan dijadikan menantu.
Saat hasil istikharah kiai itu disampaikan kebetulan saya sedang di Beijing. Makan malam dengan beberapa teman. Salah satunya seorang dokter muda –diajak bapaknya ikut makan malam. Ia bercerita bahwa dokter yang merawat saya di Tianjin dulu sekarang bertugas di sebuah RS baru di pinggiran kota Beijing. Jadi atasan dokter muda itu.
Saya pun minta disebutkan nama dokter pindahan dari Tianjin itu. Betul. Dia adalah ketua tim dokter yang merawat saya. Suaminyi juga dokter yang ikut mengoperasi saya.
Berarti saya tidak perlu ke Tianjin. Besoknya saya tinjau rumah sakit itu. Saya temui dokter –yang dulu mengoperasi saya di Tianjin. Ternyata tidak hanya satu orang. Lima orang. Kami pun kangen-kangenan.
Akhirnya saya bertanya: apakah bisa menerima pasien transplantasi dari Indonesia. “Tentu. Bisa. Bawa ke sini saja,” ujar seorang dokter di situ.
Pertanyaan itu saya sampaikan karena Tiongkok sudah berubah. Banyak peraturan lama tidak berlaku lagi. Misalnya, tidak bisa lagi orang asing dapat pendonor dari orang T. Di T sendiri antrean ganti hati sangat panjang. Rakyat bisa marah.
Sepulang dari Beijing saya bertemu keluarga itu. Agenda terpentingnya: siapa di antara keluarga yang bersedia dipotong hatinya separo –untuk dipakaikan mengganti hati yang terkena sirosis berat.
Langkah pertama yang harus dilakukan: semua keluarga tes darah saja. Agar tahu: siapa yang golongan darahnya sama. Tidak usah bicara mau atau tidak mau.
Sungguh ajaib: satu-satunya yang golongan darahnya cocok adalah istrinya sendiri.(Dahlan Iskan)
