Oleh: Dr. Miar, SE., M.Si
Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menghadapi persimpangan penting bagi masa depan fiskalnya: bagaimana memperkuat kapasitas sendiri untuk membiayai pembangunan tanpa terlalu bergantung pada alur dana dari pusat. Angka‑terbaru menunjukkan bahwa fondasi memang sudah mulai terbentuk, namun pekerjaan rumah masih cukup besar. Pada tahun anggaran 2024, Pemprov Kalteng menetapkan target pendapatan daerah sebesar Rp 9,22 triliun, dan realisasinya mencapai Rp 8,33 triliun (90,38%). Rinciannya: PAD Rp 2,82 triliun (104,61%), pendapatan transfer Rp 5,33 triliun (81,76%), serta lain‑lain pendapatan sah Rp 184 miliar. Komposisinya berarti bahwa lebih dari 60% dari total pendapatan daerah masih bersumber dari transfer, sementara PAD baru menyumbang sekitar sepertiga sebuah sinyal bahwa kemandirian fiskal belum tercapai.
Sementara itu, hingga kuartal III/2025, meskipun angka realisasi spesifik pendapatan Kalteng belum dipublikasikan secara rinci, data nasional menunjukkan bahwa realisasi pendapatan daerah per 30 September 2025 telah mencapai 70,27% atau Rp 949,97 triliun. Kondisi ini mempertegas bahwa provinsi‑provinsi, termasuk Kalteng, harus mempercepat laju pendapatan mandiri supaya tidak tertinggal ketika kondisi transfer dari pusat melemah atau tersendat.
Mengapa Ini Penting
Ketergantungan tinggi terhadap transfer pusat mengandung beberapa risiko strategis:
- Ketika terjadi perubahan kebijakan fiskal nasional, alokasi dana untuk daerah bisa berubah dan daerah yang terlalu bergantung akan menghadapi pembiayaan yang goyah.
- Ruang manuver untuk program‑prioritas lokal akan sempit jika sebagian besar anggaran ditentukan oleh aliran luar, bukan inisiatif domestik.
- Rasio PAD yang rendah bisa mencerminkan kapasitas pengelolaan pajak dan retribusi yang belum optimal, serta potensi ekonomi lokal yang belum termanfaatkan.
Jalan Ke Depan untuk Kalteng
Arah kebijakan yang direkomendasikan agar Kalteng bergerak menuju kemandirian fiskal:
1) Memperkuat PAD lewat digitalisasi dan basis pajak yang luas
Perlu percepatan implementasi sistem pajak/retribusi digital, integrasi data wajib pajak, kemudahan layanan, serta perluasan basis objek pajak (seperti kendaraan bermotor, BBM, dan usaha mikro) agar kontribusi PAD meningkat tanpa membebani. Inisiatif Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (BAPPERIDA) terkait genjotan pajak kendaraan bermotor dan BBM menjadi langkah tepat. Digitalisasi akan menurunkan kebocoran dan meningkatkan kepatuhan.
2) Mengoptimalkan aset‑daerah dan BUMD sebagai sumber pendapatan baru.
Provinsi memiliki potensi sumber daya alam, lahan, dan aset strategis (misalnya logistik, energi terbarukan, kehutanan non‑kayu) yang bisa dikelola melalui BUMD atau kemitraan swasta untuk menambah dividen daerah. Skema kerjasama PPP (Public–Private Partnership) atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) bisa menjadi alternatif pembiayaan yang tidak bergantung transfer.
3) Meningkatkan belanja produktif agar anggaran mendukung pertumbuhan.
Belanja harus diarahkan ke kegiatan yang menghasilkan multiplier effect: infrastruktur konektivitas antarwilayah, peningkatan kualitas SDM, dan ekonomi hijau. Perlu pergeseran dari dominasi belanja rutin ke belanja modal dan belanja langsung yang hasilnya terukur.
4) Menetapkan indikator kemandirian yang jelas dan transparan
Pemprov Kalteng perlu menetapkan target rasio PAD vs total pendapatan (misalnya PAD naik dari 33% ke 40% dalam 2‑3 tahun) dan menampilkan secara rutin melalui dashboard publik. Transparansi akan memperkuat kepercayaan dan akuntabilitas.
Capaian realisasi 2024 menunjukkan bahwa Kalteng mampu menjalankan anggaran dengan baik 90,38% pendapatan, 89,39% belanja. Namun, angka besar saja belum cukup: kemandirian fiskal bukan soal persentase serapan tahun berjalan, tetapi soal kapasitas membiayai sendiri pembangunan dan melayani masyarakat secara konsisten. Dengan memperkuat PAD, mengoptimalkan aset, mengubah belanja menjadi mesin pertumbuhan, dan menetapkan target terukur, Kalteng bisa bergerak dari “bergantung” menjadi “mandiri”. Sebuah provinsi yang mandiri fiskalnya tidak hanya tahan terhadap guncangan eksternal tetapi juga lebih bebas menentukan prioritas pembangunan bagi masyarakatnya sendiri. (*)
