28.2 C
Jakarta
Saturday, October 18, 2025

Siapa Mikir

Sudah seminggu saya amati: banyak tuduhan proyek kereta cepat di-markup. Tuduhan itu luar biasa nyaringnya. Tapi dasar yang mereka pakai menuduh hanya satu: dinilai lebih mahal dari proyek serupa di Tiongkok sendiri.

Setiap kali membaca pernyataan ada markup saya berharap yang membuat pernyataan  menyertakan sedikit rincian: di bagian mana markup dilakukan. Semua hanya mendasarkan pada “jauh lebih mahal dari nilai proyek serupa di Tiongkok”.

Jadi, adalah markup?

Tuduhan lain adalah: janjinya tidak pakai APBN. Ternyata pakai APBN. Yang berjanji itu Presiden Jokowi.

Tapi “janji” adalah “janji”. Bukan program. “Janji” ada di mulut. “Program” jadi dokumen. Saya sering membedakan antara “janji” dan “program”. Janji lebih personal. Menjadi utang. Harus dibayar. Harus ditepati.

Program punya kemungkinan meleset. Program ditetapkan berdasar asumsi parameter. Padahal asumsi bisa berubah –misalnya asumsi harga tanah.

Program yang meleset akibat asumsi yang berubah bisa karena dua hal: kurang pandai dalam membaca asumsi atau ada kepentingan tertentu sehingga asumsi yang tidak logis dilogis-logiskan.

Jadi, soal tidak pakai dana APBN itu janji atau program?

Lalu ada pernyataan Presiden Jokowi bahwa proyek kereta cepat itu “B to B”. Bukan “G to G”. Kenyataannya: “B” di situ adalah lembaga bisnis BUMN –milik negara.

Sejak semula kita semua harusnya sudah tahu bahwa tidak mungkin B di situ bukan BUMN. Jadi ketika ada yang mengucapkan “B to B” harusnya langsung tidak percaya bahwa G tidak akan terlibat. Apalagi bila belakangan B to B itu disertai dokumen jaminan negara. Maka “B to B” di situ hanya pelaksanaannya. Resiko akhirnya tetap di negara.

Bahwa Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengindikasikan tidak mau membayar timbunan bunga kereta cepat dari APBN, sifatnya baru indikasi. Purbaya belum pernah memberi penegasan yang eksplisit soal itu.

Yang disampaikan Purbaya, saya nilai, masih sebatas pada prinsip “Danantara dong yang mikir. Masak saya”. Artinya, Danantara tidak boleh cepat-cepat lempar handuk-busuk ke “atas”.

Baca Juga :  Tifa Nusantara

Danantara harus cari cara sekuat otaknya untuk menyelesaikan bunga pinjaman itu. Sudah mau menerima jabatannya harus mau pula “mikir”.

Yang duduk di Danantara adalah para jago utak-atik angka. Kalau Presiden Prabowo berani gebrak podium Sidang Umum PBB, dirut Danantara mestinya berani gebrak meja perundingan. Sampai akhirnya ketemu rumusan penyelesaian tanpa melibatkan APBN.

Apakah Disway bisa menyumbang pemikiran bagaimana menyelesaikannya?

Disway akan meniru Purbaya: “Danantara dong yang mikir. Masak Disway”.

Tapi tetap saja harus dipikir: bagaimana caranya.

Salah satu pilihannya: restrukturisasi utang dan bunga. Tapi itu adalah pekerjaan sekelas manajer keuangan lulusan S-1 akutansi. Bukan usul penyelesaian kasta direksi Danantara.

Yang dimaksud dengan ide restrukturisasi adalah: cicilan utang pokoknya diperpanjang. Dari 15 tahun ke 50 tahun –misalnya. Jumlah tunggakan bunganya dihitung. Lalu ditambahkan menjadi utang pokok yang sudah diperpanjang itu. Suku bunganya diturunkan. Yang terpenting: minta agar selama lima tahun ke depan berhenti dulu membayar cicilan dan bunga.

Cara di atas tidak perlu ilmu tinggi. Itu sudah praktik sehari-hari. Tinggal bicara ke pihak sana: mau seperti itu atau bubar! Brak! Gebrak meja. Lalu pura-pura berdiri untuk pergi.

Grup Sinar Mas pernah punya utang sebesar Rp 120 triliun –di saat perusahaannya belum sebesar sekarang. Utangnya dalam dolar pula. Krisis moneter lagi melanda Asia Tenggara. Sinar Mas tidak mungkin mampu membayar utang itu –bahkan pun hanya membayar bunganya.

Seluruh kekayaan perusahaan diserahkan pun tidak akan cukup untuk membayarnya –kala itu.

Pinternya Sinar Mas, utangnya ke sekitar 70 lembaga keuangan. Dalam dan luar negeri. Bukan hanya ke satu atau dua bank.

Maka Sinar Mas tidak khawatir salah satu bank akan menyita asetnya. Begitu ada bank yang akan menyita, bank lain akan marah.

Baca Juga :  Idola Baru

Akhirnya dari 70 lembaga keuangan itu tidak satu pun yang melakukan penyitaan. Mereka harus bersepakat dulu untuk bertindak. Tidak mudah bersepakat di antara 70 pihk. Jangankan bersepakat, cari waktu rapat pun sudah sulit.

Maka mereka akhirnya “kalah” oleh Sinar Mas. Terserah Sinar Mas saja kapan bisa membayar dan bagaimana cara membayarnya

Akhirnya Sinar Mas bisa menyelesaikan utangnya dengan cara yang luar biasa: dalam 10 tahun utang itu dibekukan. Tidak berbunga. Tidak perlu cicil. Stensil.

Dengan penyelesaian seperti itu Sinar Mas bisa bekerja dengan tenang. Kerja keras cari uang. Akhirnya kembali berjaya. Semua utang terbayar dengan mudahnya.

Garuda kurang lebih juga sama. Hanya saja kurang tuntas. Sudah boleh mencicil utang dengan amat ringannya, ternyata masih sulit. Masih tidak bisa memperbaiki pesawatnya yang rusak.

Akibat banyak pesawat yang rusak Garuda tidak bisa cari uang. Danantara pun harus kucurkan dana Rp 6 triliun.

Itu pun belum juga cukup. Danantara masih perlu kucurkan dana Rp 30 triliun lagi.

Salah satu senjata Garuda untuk bisa nego keras saat itu: ada indikasi korupsi dalam pengadaan pesawat. Melibatkan pemasok pesawat di luar negeri. Garuda akan buka kasus korupsi itu secara internasional.

Lembaga asing dari Barat akan kena sanksi berat kalau terlibat korupsi di negara lain. Lebih baik mereka setuju dengan cara penyelesaian utang yang diajukan Garuda. Sayang tidak tuntas.

Saya tidak tahu: apakah dalam kasus kereta cepat Whoosh ini juga ada indikasi kuat terjadinya korupsi –yang melibatkan pemberi utang. Lalu bisa dipakai senjata gebrak meja.

Itulah pentingnya bahwa yang berkuasa sekarang bukan mereka yang pernah terlibat dalam proyek itu. Dengan demikian kalau akan gebrak meja pun tidak perlu takut pecahan mejanya akan melukai pipinya. (Dahlan Iskan)

Sudah seminggu saya amati: banyak tuduhan proyek kereta cepat di-markup. Tuduhan itu luar biasa nyaringnya. Tapi dasar yang mereka pakai menuduh hanya satu: dinilai lebih mahal dari proyek serupa di Tiongkok sendiri.

Setiap kali membaca pernyataan ada markup saya berharap yang membuat pernyataan  menyertakan sedikit rincian: di bagian mana markup dilakukan. Semua hanya mendasarkan pada “jauh lebih mahal dari nilai proyek serupa di Tiongkok”.

Jadi, adalah markup?

Tuduhan lain adalah: janjinya tidak pakai APBN. Ternyata pakai APBN. Yang berjanji itu Presiden Jokowi.

Tapi “janji” adalah “janji”. Bukan program. “Janji” ada di mulut. “Program” jadi dokumen. Saya sering membedakan antara “janji” dan “program”. Janji lebih personal. Menjadi utang. Harus dibayar. Harus ditepati.

Program punya kemungkinan meleset. Program ditetapkan berdasar asumsi parameter. Padahal asumsi bisa berubah –misalnya asumsi harga tanah.

Program yang meleset akibat asumsi yang berubah bisa karena dua hal: kurang pandai dalam membaca asumsi atau ada kepentingan tertentu sehingga asumsi yang tidak logis dilogis-logiskan.

Jadi, soal tidak pakai dana APBN itu janji atau program?

Lalu ada pernyataan Presiden Jokowi bahwa proyek kereta cepat itu “B to B”. Bukan “G to G”. Kenyataannya: “B” di situ adalah lembaga bisnis BUMN –milik negara.

Sejak semula kita semua harusnya sudah tahu bahwa tidak mungkin B di situ bukan BUMN. Jadi ketika ada yang mengucapkan “B to B” harusnya langsung tidak percaya bahwa G tidak akan terlibat. Apalagi bila belakangan B to B itu disertai dokumen jaminan negara. Maka “B to B” di situ hanya pelaksanaannya. Resiko akhirnya tetap di negara.

Bahwa Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengindikasikan tidak mau membayar timbunan bunga kereta cepat dari APBN, sifatnya baru indikasi. Purbaya belum pernah memberi penegasan yang eksplisit soal itu.

Yang disampaikan Purbaya, saya nilai, masih sebatas pada prinsip “Danantara dong yang mikir. Masak saya”. Artinya, Danantara tidak boleh cepat-cepat lempar handuk-busuk ke “atas”.

Baca Juga :  Tifa Nusantara

Danantara harus cari cara sekuat otaknya untuk menyelesaikan bunga pinjaman itu. Sudah mau menerima jabatannya harus mau pula “mikir”.

Yang duduk di Danantara adalah para jago utak-atik angka. Kalau Presiden Prabowo berani gebrak podium Sidang Umum PBB, dirut Danantara mestinya berani gebrak meja perundingan. Sampai akhirnya ketemu rumusan penyelesaian tanpa melibatkan APBN.

Apakah Disway bisa menyumbang pemikiran bagaimana menyelesaikannya?

Disway akan meniru Purbaya: “Danantara dong yang mikir. Masak Disway”.

Tapi tetap saja harus dipikir: bagaimana caranya.

Salah satu pilihannya: restrukturisasi utang dan bunga. Tapi itu adalah pekerjaan sekelas manajer keuangan lulusan S-1 akutansi. Bukan usul penyelesaian kasta direksi Danantara.

Yang dimaksud dengan ide restrukturisasi adalah: cicilan utang pokoknya diperpanjang. Dari 15 tahun ke 50 tahun –misalnya. Jumlah tunggakan bunganya dihitung. Lalu ditambahkan menjadi utang pokok yang sudah diperpanjang itu. Suku bunganya diturunkan. Yang terpenting: minta agar selama lima tahun ke depan berhenti dulu membayar cicilan dan bunga.

Cara di atas tidak perlu ilmu tinggi. Itu sudah praktik sehari-hari. Tinggal bicara ke pihak sana: mau seperti itu atau bubar! Brak! Gebrak meja. Lalu pura-pura berdiri untuk pergi.

Grup Sinar Mas pernah punya utang sebesar Rp 120 triliun –di saat perusahaannya belum sebesar sekarang. Utangnya dalam dolar pula. Krisis moneter lagi melanda Asia Tenggara. Sinar Mas tidak mungkin mampu membayar utang itu –bahkan pun hanya membayar bunganya.

Seluruh kekayaan perusahaan diserahkan pun tidak akan cukup untuk membayarnya –kala itu.

Pinternya Sinar Mas, utangnya ke sekitar 70 lembaga keuangan. Dalam dan luar negeri. Bukan hanya ke satu atau dua bank.

Maka Sinar Mas tidak khawatir salah satu bank akan menyita asetnya. Begitu ada bank yang akan menyita, bank lain akan marah.

Baca Juga :  Idola Baru

Akhirnya dari 70 lembaga keuangan itu tidak satu pun yang melakukan penyitaan. Mereka harus bersepakat dulu untuk bertindak. Tidak mudah bersepakat di antara 70 pihk. Jangankan bersepakat, cari waktu rapat pun sudah sulit.

Maka mereka akhirnya “kalah” oleh Sinar Mas. Terserah Sinar Mas saja kapan bisa membayar dan bagaimana cara membayarnya

Akhirnya Sinar Mas bisa menyelesaikan utangnya dengan cara yang luar biasa: dalam 10 tahun utang itu dibekukan. Tidak berbunga. Tidak perlu cicil. Stensil.

Dengan penyelesaian seperti itu Sinar Mas bisa bekerja dengan tenang. Kerja keras cari uang. Akhirnya kembali berjaya. Semua utang terbayar dengan mudahnya.

Garuda kurang lebih juga sama. Hanya saja kurang tuntas. Sudah boleh mencicil utang dengan amat ringannya, ternyata masih sulit. Masih tidak bisa memperbaiki pesawatnya yang rusak.

Akibat banyak pesawat yang rusak Garuda tidak bisa cari uang. Danantara pun harus kucurkan dana Rp 6 triliun.

Itu pun belum juga cukup. Danantara masih perlu kucurkan dana Rp 30 triliun lagi.

Salah satu senjata Garuda untuk bisa nego keras saat itu: ada indikasi korupsi dalam pengadaan pesawat. Melibatkan pemasok pesawat di luar negeri. Garuda akan buka kasus korupsi itu secara internasional.

Lembaga asing dari Barat akan kena sanksi berat kalau terlibat korupsi di negara lain. Lebih baik mereka setuju dengan cara penyelesaian utang yang diajukan Garuda. Sayang tidak tuntas.

Saya tidak tahu: apakah dalam kasus kereta cepat Whoosh ini juga ada indikasi kuat terjadinya korupsi –yang melibatkan pemberi utang. Lalu bisa dipakai senjata gebrak meja.

Itulah pentingnya bahwa yang berkuasa sekarang bukan mereka yang pernah terlibat dalam proyek itu. Dengan demikian kalau akan gebrak meja pun tidak perlu takut pecahan mejanya akan melukai pipinya. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru