31 C
Jakarta
Friday, October 3, 2025

Mendadak Dapil

Pilihan demokrasi seperti apa untuk Syria ke depan? Semoga bukan jenis demokrasi seperti di Indonesia. Semoga tidak perlu demokrasi lewat partai –yang dirinya sendiri tidak demokratis.

Bulan Oktober ini sudah akan ada pemilu di Suriah. pemilu untuk membentuk parlemen. Bahkan sebenarnya Pemilu itu akan dilaksanakan akhir September. Tertunda dua minggu atau sebulan.

Meski pemilu sudah begitu dekat, belum ada tanda-tanda berdirinya partai di sana. Partai penguasa lama, Baath, sudah dibubarkan Januari lalu. Awalnya partai itu sendiri yang membekukan diri.

Koalisi bentukan Baath pun, Front Kemajuan Nasional, juga sudah bubar. Lalu pemerintah baru membubarkan keduanya. Bahkan pemerintah baru membubarkan institusi apa saja yang terkait dengan diktator Assad.

Sekarang ini Syria sebenarnya sudah punya parlemen. Parlemen sementara. Bentuknya masih komite –Komite Rakyat. Tapi sebentar lagi Syria sudah punya parlemen tetap. Hasil pemilu bulan ini.

Anggota parlemen nanti 210 kursi. Tidak ada fraksi-fraksi partai. Tentu. Sampai sekarang belum ada partai yang berdiri. Kursi di parlemen nanti diduduki oleh wakil-wakil rakyat dari semua daerah pemilihan. Tiap dapil melaksanakan pemilu: memilih wakil rakyat dari dapil itu. Calegnya tidak diajukan oleh partai.

Tidak semua anggota parlemen dipilih lewat pemilu. Sebanyak 1/3 dari 210 kursi ditunjuk langsung oleh Presiden Achmed Ash Sharaa. Begitulah kesepakatan dalam konstitusi sementara setelah Basyar Al Assad tumbang.

Mereka yang ditunjuk adalah yang akan mewakili berbagai golongan yang ada di Syria.

Parlemen baru itulah yang akan merumuskan konstitusi baru Syria. Berarti juga merumuskan sistem demokrasi yang akan dipilih. Termasuk akan merumuskan apakah akan ada partai-partai. Lalu, apakah akan pakai sistem presidensial atau parlementer.

Karena tidak ada partai, maka siapa pun di dapil masing-masing boleh mencalonkan diri sebagai caleg. Memang ada syarat-syaratnya. Syarat administrasi (umur, pendidikan, dan lain-lain) maupun syarat khusus (tidak termasuk kroni penguasa lama).

Baca Juga :  Palangka Raya Sukses Gelar Pemilu Meski Hadapi Kendala Non Teknis

Pemilu itu dilaksanakan oleh panitia pemilu. Merekalah yang sekarang amat sibuk menyeleksi calon. Kerepotan itulah yang menyebabkan pemilu minta ditunda sebulan.

Jangan-jangan dua bulan.

Atau tiga bulan.

Tapi tidak ada yang mempersoalkan penundaan itu. Terserah saja. Bahkan tidak ada kegiatan politik apa-apa di sana. Semua sibuk membangun kehidupan baru masing-masing.

Sayalah yang justru asyik membayangkan model demokrasi Syria ke depan. Kalau pemilu tanpa partai ini berlangsung sukses, jangan-jangan justru itu yang akan lebih efisien.

Di Hong Kong, parlemen juga tidak sepenuhnya hasil pemilu. Sudah sejak Hong Kong masih dikuasai Inggris. Di Hong Kong penghormatan atas golongan-golongan sangat menonjol. Tiap golongan punya wakil di parlemen. Padahal golongannya begitu banyak.

Parlemen-lah yang menentukan golongan apa saja yang harus punya wakil di parlemen: golongan industri, golongan dagang, golongan dokter, golongan apoteker, golongan buruh, golongan arsitek, golongan akuntan, golongan notaris, dan banyak lagi.

Tiap-tiap golongan memutuskan siapa yang mewakili golongan itu di parlemen.

Dengan dilaksanakannya pemilu di Syria bulan ini saya justru waswas: jangan-jangan pemilu itu membuat ketertarikan masyarakat ke politik meningkat. Lalu terjadilah konflik politik.

Agar politik tidak menimbulkan minat yang berlebihan baiknya anggota DPR jangan bergaji besar. Anggota DPR cukup mendapatkan gaji sesuai dengan penghasilan rata-rata rakyat yang diwakilinya. Yang kalau di Indonesia, rata-rata itu, sekitar Rp 7,5 juta/bulan.

Di Hong Kong gaji anggota parlemen memang tinggi: Rp 230 juta/bulan. Masih ditambah tunjangan kesehatan sekitar Rp 100 juta/tahun. Tapi income per kapita rakyat Hong Kong adalah USD53.000. Sedang income per kapita rakyat Indonesia hanya USD4.800.

Hanya kurang dari 10 persennya. Berarti kalau pakai ukuran Hongkong, maka gaji anggota parlemen Indonesia seharusnya Rp35 juta/bulan. Berarti usul saya di atas terlalu rendah.

Syria terlihat seperti tidak kesusu mengejar sistem demokrasi apa yang akan dipilih. Syria masih punya waktu lima tahun –kini masih empat tahun– untuk menetapkan konstitusi baru. Juga untuk memilih presiden baru.

Baca Juga :  Kawal Pemilu 2024, Polda Kalteng Siagakan Satgas Pengamanan Kantor KPU dan Bawaslu

Sayalah yang justru kesusu pulang. Saya memang masih harus ke Lebanon, tapi hanya numpang lewat. Saya hanya ingin merasakan perbatasan Syria-Lebanon. Saya pernah begitu ingin menyeberang dari Lebanon ke Syria. Lima tahun lalu. Tidak kesampaian. Kini harus terjadi.

Kami sudah membeli tiket pulang dari bandara Beirut. Bukan dari Damaskus. Hambatan utama untuk lewat Beirut adalah: Janet dan suami tidak punya visa Lebanon. Saya sudah punya. Pun Gus Najih Arromadoni.

Spekulasi saja. Rasanya mereka akan bisa dapat visa Lebanon di perbatasan. Alasannya: hanya numpang lewat menuju bandar Beirut.

Pun hanya untuk numpang lewat harusnya tidak boleh. Tapi ini kan sama-sama Tanah Syam. Siapa tahu dua negara serumpun tidak terlalu ketat.

Akhirnya lolos.

Pukul 13.30 sudah bisa menyeberang ke Lebanon. Perbatasan ini berupa pegunungan. Beirut terlihat ada jauh di bawah sana.

Pesawat kami ke Jakarta –lewat Doha– masih pukul 01.30. Berarti kami punya waktu 12 jam di Beirut. Tapi tidak bisa banyak halan-halan. Hari itu hari khusus di Beirut: haul pertama Hasan Nasrullah. Anda sudah tahu siapa ia. Dan seperti apa haulnya.

Selama di Syria saya melihat negara itu serba berubah. Benderanya berubah. Lambang negaranya berubah. Lagu kebangsaannya berubah. Yang serba Al Assad diubah.

Lagu kebangsaan Syria pun dianggap lagunya Assad. Ḥumāt ad-Diyār tidak dinyanyikan lagi. Anda lihat sendiri: waktu tim sepak bola Syria bertanding yang dinyanyikan adalah lagu Fī Sabīli al-Majd (Jalan Keagungan).

Hanya satu yang tidak berubah: uang Syria. Tetap saja pound –dengan gambar masih Presiden Basyar Al Assad di bagian depannya. Uang memang beda. (Dahlan Iskan)

Pilihan demokrasi seperti apa untuk Syria ke depan? Semoga bukan jenis demokrasi seperti di Indonesia. Semoga tidak perlu demokrasi lewat partai –yang dirinya sendiri tidak demokratis.

Bulan Oktober ini sudah akan ada pemilu di Suriah. pemilu untuk membentuk parlemen. Bahkan sebenarnya Pemilu itu akan dilaksanakan akhir September. Tertunda dua minggu atau sebulan.

Meski pemilu sudah begitu dekat, belum ada tanda-tanda berdirinya partai di sana. Partai penguasa lama, Baath, sudah dibubarkan Januari lalu. Awalnya partai itu sendiri yang membekukan diri.

Koalisi bentukan Baath pun, Front Kemajuan Nasional, juga sudah bubar. Lalu pemerintah baru membubarkan keduanya. Bahkan pemerintah baru membubarkan institusi apa saja yang terkait dengan diktator Assad.

Sekarang ini Syria sebenarnya sudah punya parlemen. Parlemen sementara. Bentuknya masih komite –Komite Rakyat. Tapi sebentar lagi Syria sudah punya parlemen tetap. Hasil pemilu bulan ini.

Anggota parlemen nanti 210 kursi. Tidak ada fraksi-fraksi partai. Tentu. Sampai sekarang belum ada partai yang berdiri. Kursi di parlemen nanti diduduki oleh wakil-wakil rakyat dari semua daerah pemilihan. Tiap dapil melaksanakan pemilu: memilih wakil rakyat dari dapil itu. Calegnya tidak diajukan oleh partai.

Tidak semua anggota parlemen dipilih lewat pemilu. Sebanyak 1/3 dari 210 kursi ditunjuk langsung oleh Presiden Achmed Ash Sharaa. Begitulah kesepakatan dalam konstitusi sementara setelah Basyar Al Assad tumbang.

Mereka yang ditunjuk adalah yang akan mewakili berbagai golongan yang ada di Syria.

Parlemen baru itulah yang akan merumuskan konstitusi baru Syria. Berarti juga merumuskan sistem demokrasi yang akan dipilih. Termasuk akan merumuskan apakah akan ada partai-partai. Lalu, apakah akan pakai sistem presidensial atau parlementer.

Karena tidak ada partai, maka siapa pun di dapil masing-masing boleh mencalonkan diri sebagai caleg. Memang ada syarat-syaratnya. Syarat administrasi (umur, pendidikan, dan lain-lain) maupun syarat khusus (tidak termasuk kroni penguasa lama).

Baca Juga :  Palangka Raya Sukses Gelar Pemilu Meski Hadapi Kendala Non Teknis

Pemilu itu dilaksanakan oleh panitia pemilu. Merekalah yang sekarang amat sibuk menyeleksi calon. Kerepotan itulah yang menyebabkan pemilu minta ditunda sebulan.

Jangan-jangan dua bulan.

Atau tiga bulan.

Tapi tidak ada yang mempersoalkan penundaan itu. Terserah saja. Bahkan tidak ada kegiatan politik apa-apa di sana. Semua sibuk membangun kehidupan baru masing-masing.

Sayalah yang justru asyik membayangkan model demokrasi Syria ke depan. Kalau pemilu tanpa partai ini berlangsung sukses, jangan-jangan justru itu yang akan lebih efisien.

Di Hong Kong, parlemen juga tidak sepenuhnya hasil pemilu. Sudah sejak Hong Kong masih dikuasai Inggris. Di Hong Kong penghormatan atas golongan-golongan sangat menonjol. Tiap golongan punya wakil di parlemen. Padahal golongannya begitu banyak.

Parlemen-lah yang menentukan golongan apa saja yang harus punya wakil di parlemen: golongan industri, golongan dagang, golongan dokter, golongan apoteker, golongan buruh, golongan arsitek, golongan akuntan, golongan notaris, dan banyak lagi.

Tiap-tiap golongan memutuskan siapa yang mewakili golongan itu di parlemen.

Dengan dilaksanakannya pemilu di Syria bulan ini saya justru waswas: jangan-jangan pemilu itu membuat ketertarikan masyarakat ke politik meningkat. Lalu terjadilah konflik politik.

Agar politik tidak menimbulkan minat yang berlebihan baiknya anggota DPR jangan bergaji besar. Anggota DPR cukup mendapatkan gaji sesuai dengan penghasilan rata-rata rakyat yang diwakilinya. Yang kalau di Indonesia, rata-rata itu, sekitar Rp 7,5 juta/bulan.

Di Hong Kong gaji anggota parlemen memang tinggi: Rp 230 juta/bulan. Masih ditambah tunjangan kesehatan sekitar Rp 100 juta/tahun. Tapi income per kapita rakyat Hong Kong adalah USD53.000. Sedang income per kapita rakyat Indonesia hanya USD4.800.

Hanya kurang dari 10 persennya. Berarti kalau pakai ukuran Hongkong, maka gaji anggota parlemen Indonesia seharusnya Rp35 juta/bulan. Berarti usul saya di atas terlalu rendah.

Syria terlihat seperti tidak kesusu mengejar sistem demokrasi apa yang akan dipilih. Syria masih punya waktu lima tahun –kini masih empat tahun– untuk menetapkan konstitusi baru. Juga untuk memilih presiden baru.

Baca Juga :  Kawal Pemilu 2024, Polda Kalteng Siagakan Satgas Pengamanan Kantor KPU dan Bawaslu

Sayalah yang justru kesusu pulang. Saya memang masih harus ke Lebanon, tapi hanya numpang lewat. Saya hanya ingin merasakan perbatasan Syria-Lebanon. Saya pernah begitu ingin menyeberang dari Lebanon ke Syria. Lima tahun lalu. Tidak kesampaian. Kini harus terjadi.

Kami sudah membeli tiket pulang dari bandara Beirut. Bukan dari Damaskus. Hambatan utama untuk lewat Beirut adalah: Janet dan suami tidak punya visa Lebanon. Saya sudah punya. Pun Gus Najih Arromadoni.

Spekulasi saja. Rasanya mereka akan bisa dapat visa Lebanon di perbatasan. Alasannya: hanya numpang lewat menuju bandar Beirut.

Pun hanya untuk numpang lewat harusnya tidak boleh. Tapi ini kan sama-sama Tanah Syam. Siapa tahu dua negara serumpun tidak terlalu ketat.

Akhirnya lolos.

Pukul 13.30 sudah bisa menyeberang ke Lebanon. Perbatasan ini berupa pegunungan. Beirut terlihat ada jauh di bawah sana.

Pesawat kami ke Jakarta –lewat Doha– masih pukul 01.30. Berarti kami punya waktu 12 jam di Beirut. Tapi tidak bisa banyak halan-halan. Hari itu hari khusus di Beirut: haul pertama Hasan Nasrullah. Anda sudah tahu siapa ia. Dan seperti apa haulnya.

Selama di Syria saya melihat negara itu serba berubah. Benderanya berubah. Lambang negaranya berubah. Lagu kebangsaannya berubah. Yang serba Al Assad diubah.

Lagu kebangsaan Syria pun dianggap lagunya Assad. Ḥumāt ad-Diyār tidak dinyanyikan lagi. Anda lihat sendiri: waktu tim sepak bola Syria bertanding yang dinyanyikan adalah lagu Fī Sabīli al-Majd (Jalan Keagungan).

Hanya satu yang tidak berubah: uang Syria. Tetap saja pound –dengan gambar masih Presiden Basyar Al Assad di bagian depannya. Uang memang beda. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru