30.8 C
Jakarta
Wednesday, August 13, 2025

Petir Joao

Petir di musim kemarau. Itulah petir yang dibuat Joao Angelo De Sousa Mota. Anda sudah tahu: Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara itu tiba-tiba meletakkan jabatan.

Alasan Joao-lah yang seperti petir: Direksi PT Danantara dianggap terlalu lambat, berbelit, birokratis, dan segala macam mirip itu.

Sudah enam bulan Joao menunggu keputusan Danantara. Sudah tiga studi kelayakan dimajukan. Tidak ada keputusan. Joao tegas: mengundurkan diri. Terhitung hari itu juga: 11 Agustus 2025.

Tanpa putusan Danantara, direksi PT Agrinas Pangan memang tidak bisa bergerak. Danantara adalah induk perusahaan semua BUMN. PT Agrinas Pangan adalah anak perusahaan baru Danantara. Nama lamanya: PT Yodya Karya, bergerak di bidang konsultan teknik.

“Apakah sikap tegas Anda itu karena Anda lebih banyak dididik di Barat?” tanya saya padanya kemarin petang.

“Saya selalu diajar orang tua agar setiap sikap harus menggambarkan iman. Melayani sesama sebagai bentuk kasih Tuhan yang hidup,” jawabnya.

Joao lahir di Dili, Timor Timur. Ia keturunan Portugis campur Timor. “Bapak saya 50 persen Portugis, 25 persen Angola, 25 persen Timor,” kata Joao. Ibunya, 50 persen Portugis, 50 persen Timor.

Berdasar iman Katoliknya Joao merasa malu: sudah enam bulan menjabat Dirut PT Agrinas Pangan belum bisa menyumbangkan apa pun untuk bangsa dan negara. Padahal ia tahu soal pangan adalah prioritas tertinggi program Presiden Prabowo Subianto.

Joao membayangkan soal pangan harus cepat ditangani. Gerak cepat. Atau dalam istilah komisaris PT Agrinas, Ida Bagus Purwalaksana, perubahan dari Yodya Karya ke Agrinas Pangan Nusantara bukan hanya perubahan nama. Itu sekaligus merupakan simbol perubahan sikap dan cara berpikir.

Baca Juga :  Hidup Baru

Nyatanya: sama saja.

“Setelah meletakkan jabatan Anda mau ke mana?” tanya saya.

“Saya tetap bergerak di bidang pertanian dan konstruksi,” ujar Joao. “Saya ada lahan pertanian kering di NTT,” tambahnya.

Selama ini Joao memang menjadi aktivis gerakan pertanian baru. Fokusnya di kabupaten Timor Tengah Utara. Anda sudah tahu TTU: itu kabupaten yang amat miskin di NTT.

Gerakan pertanian yang ia pelopori adalah “Petani Merdeka”: Tani Nusantara. Lewat Timor Farm.

Ciri khasnya: membebaskan petani dari pupuk buatan pabrik dan bebas dari pestisida kimia. Petani harus membuat pupuk sendiri. Juga pestisida sendiri. Semua bahan bakunya harus dari daerah setempat.

Ketergantungan petani pada pupuk-kimia membuat petani tidak merdeka. Harga pupuk kian mahal. Pasokannya sering tidak lancar. Pupuk belum tentu tersedia tepat di saat diperlukan petani.

Untuk pupuk, Joao menekankan perlunya tanaman punya banyak akar. Untuk itu ia ciptakan mikoriza. Kentang rebus dicampur banyak cacahan batang dan buah. Lalu difermentasi selama dua minggu. Kalau air di dalam drum sudah berbuih pertanda mikrobanya sudah berkembang.

Cairan mikroba mikoriza itu lantas disemprotkan di lahan yang sudah diolah –siap untuk ditanami.

Sedang pestisidanya terbuat dari campuran buah maja, air dan minyak goreng. Dicampur jadi satu. Jadi cairan. Disemprotkan ke tanaman.

Baca Juga :  Sedih Tidak

Di TTU Joao punya pasukan bersepeda motor. Sebanyak 12 orang. Motornya trail. Mereka adalah penyuluh pertanian. Berseragam. Ada logo Gerindra di dadanya.

Mereka itu keliling ke desa-desa. Agar prinsip Tani Merdeka bisa berjalan di TTU.

Mereka tidak hanya menanam padi. Ada juga holtikultura: timun, kacang panjang, bawang merah, dan seterusnya.

Joao kenal Prabowo Subianto sejak dari orang tuanya. Sejak tahun 1976. Di Dili. “Hubungan kami dengan Pak Prabowo tetap terjaga sampai sekarang,” ujar Joao.

Nama “Joao” adalah khas bahasa Portugis. Wanitanya disebut “Joana”. Di Inggris “Joao” disebut “John”. Artinya “Yang diberkati Tuhan Jesus”. Sedang nama kedua Joao, “Angelo” kelihatannya untuk mengabadikan 25 persen darah Angola bapaknya.

Dengan latar belakang Joao seperti itu saya sulit membayangkan bagaimana Danantara harus bersikap. Ini benar-benar petir. Bagaimana kalau, misalnya, Presiden Prabowo mendengar pengunduran diri Joao ini.

Pastilah Joao tergolong orang yang sudah “berkeringat”. Bukan lagi hanya berkeringat. Joao adalah simbul gerakan di bidang pertanian baru.

Joao sendiri menamatkan SMA di Jakarta: SMA Ignatius Slamet Riyadi. Lulus tahun 1990. Lalu kuliah di Unas Jakarta. Belum selesai pindah ke Norwich, Amerika Serikat. Lalu ke UNAM Mexico. “Tidak ada yang saya selesaikan,” kata Joao.

Kelihatannya keputusan yang diambil Joao ini sederhana: mengundurkan diri.

Tapi alasan yang menyebabkannya itu yang mencerminkan bahwa perubahan di Indonesia tidaklah sederhana.(Dahlan Iskan)

 

Petir di musim kemarau. Itulah petir yang dibuat Joao Angelo De Sousa Mota. Anda sudah tahu: Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara itu tiba-tiba meletakkan jabatan.

Alasan Joao-lah yang seperti petir: Direksi PT Danantara dianggap terlalu lambat, berbelit, birokratis, dan segala macam mirip itu.

Sudah enam bulan Joao menunggu keputusan Danantara. Sudah tiga studi kelayakan dimajukan. Tidak ada keputusan. Joao tegas: mengundurkan diri. Terhitung hari itu juga: 11 Agustus 2025.

Tanpa putusan Danantara, direksi PT Agrinas Pangan memang tidak bisa bergerak. Danantara adalah induk perusahaan semua BUMN. PT Agrinas Pangan adalah anak perusahaan baru Danantara. Nama lamanya: PT Yodya Karya, bergerak di bidang konsultan teknik.

“Apakah sikap tegas Anda itu karena Anda lebih banyak dididik di Barat?” tanya saya padanya kemarin petang.

“Saya selalu diajar orang tua agar setiap sikap harus menggambarkan iman. Melayani sesama sebagai bentuk kasih Tuhan yang hidup,” jawabnya.

Joao lahir di Dili, Timor Timur. Ia keturunan Portugis campur Timor. “Bapak saya 50 persen Portugis, 25 persen Angola, 25 persen Timor,” kata Joao. Ibunya, 50 persen Portugis, 50 persen Timor.

Berdasar iman Katoliknya Joao merasa malu: sudah enam bulan menjabat Dirut PT Agrinas Pangan belum bisa menyumbangkan apa pun untuk bangsa dan negara. Padahal ia tahu soal pangan adalah prioritas tertinggi program Presiden Prabowo Subianto.

Joao membayangkan soal pangan harus cepat ditangani. Gerak cepat. Atau dalam istilah komisaris PT Agrinas, Ida Bagus Purwalaksana, perubahan dari Yodya Karya ke Agrinas Pangan Nusantara bukan hanya perubahan nama. Itu sekaligus merupakan simbol perubahan sikap dan cara berpikir.

Baca Juga :  Hidup Baru

Nyatanya: sama saja.

“Setelah meletakkan jabatan Anda mau ke mana?” tanya saya.

“Saya tetap bergerak di bidang pertanian dan konstruksi,” ujar Joao. “Saya ada lahan pertanian kering di NTT,” tambahnya.

Selama ini Joao memang menjadi aktivis gerakan pertanian baru. Fokusnya di kabupaten Timor Tengah Utara. Anda sudah tahu TTU: itu kabupaten yang amat miskin di NTT.

Gerakan pertanian yang ia pelopori adalah “Petani Merdeka”: Tani Nusantara. Lewat Timor Farm.

Ciri khasnya: membebaskan petani dari pupuk buatan pabrik dan bebas dari pestisida kimia. Petani harus membuat pupuk sendiri. Juga pestisida sendiri. Semua bahan bakunya harus dari daerah setempat.

Ketergantungan petani pada pupuk-kimia membuat petani tidak merdeka. Harga pupuk kian mahal. Pasokannya sering tidak lancar. Pupuk belum tentu tersedia tepat di saat diperlukan petani.

Untuk pupuk, Joao menekankan perlunya tanaman punya banyak akar. Untuk itu ia ciptakan mikoriza. Kentang rebus dicampur banyak cacahan batang dan buah. Lalu difermentasi selama dua minggu. Kalau air di dalam drum sudah berbuih pertanda mikrobanya sudah berkembang.

Cairan mikroba mikoriza itu lantas disemprotkan di lahan yang sudah diolah –siap untuk ditanami.

Sedang pestisidanya terbuat dari campuran buah maja, air dan minyak goreng. Dicampur jadi satu. Jadi cairan. Disemprotkan ke tanaman.

Baca Juga :  Sedih Tidak

Di TTU Joao punya pasukan bersepeda motor. Sebanyak 12 orang. Motornya trail. Mereka adalah penyuluh pertanian. Berseragam. Ada logo Gerindra di dadanya.

Mereka itu keliling ke desa-desa. Agar prinsip Tani Merdeka bisa berjalan di TTU.

Mereka tidak hanya menanam padi. Ada juga holtikultura: timun, kacang panjang, bawang merah, dan seterusnya.

Joao kenal Prabowo Subianto sejak dari orang tuanya. Sejak tahun 1976. Di Dili. “Hubungan kami dengan Pak Prabowo tetap terjaga sampai sekarang,” ujar Joao.

Nama “Joao” adalah khas bahasa Portugis. Wanitanya disebut “Joana”. Di Inggris “Joao” disebut “John”. Artinya “Yang diberkati Tuhan Jesus”. Sedang nama kedua Joao, “Angelo” kelihatannya untuk mengabadikan 25 persen darah Angola bapaknya.

Dengan latar belakang Joao seperti itu saya sulit membayangkan bagaimana Danantara harus bersikap. Ini benar-benar petir. Bagaimana kalau, misalnya, Presiden Prabowo mendengar pengunduran diri Joao ini.

Pastilah Joao tergolong orang yang sudah “berkeringat”. Bukan lagi hanya berkeringat. Joao adalah simbul gerakan di bidang pertanian baru.

Joao sendiri menamatkan SMA di Jakarta: SMA Ignatius Slamet Riyadi. Lulus tahun 1990. Lalu kuliah di Unas Jakarta. Belum selesai pindah ke Norwich, Amerika Serikat. Lalu ke UNAM Mexico. “Tidak ada yang saya selesaikan,” kata Joao.

Kelihatannya keputusan yang diambil Joao ini sederhana: mengundurkan diri.

Tapi alasan yang menyebabkannya itu yang mencerminkan bahwa perubahan di Indonesia tidaklah sederhana.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru