31.1 C
Jakarta
Saturday, August 9, 2025

Orang Ketiga

Kalau India ”menggugat” bahwa Amerika sendiri masih impor palladium dari Rusia, Brasil ”menggugat” kejadian tahun 1964 –setahun sebelum Gestapu/PKI di Indonesia.

Kejadiannya sama dengan yang di Indonesia: Amerika Serikat terlibat dalam kudeta militer di Brasil. Pemerintahan kiri di sana digulingkan. Alasannya: Brasil dianggap bisa menjadi negara komunis. Alanisa yang sama untuk Indonesia di tahun 1965.

Sejak itu pemerintahan di Brasil selalu ”kanan”.  Pro Amerika. Berakhirlah pemerintahan ”kiri” Brasil. João Goulart menjadi presiden kiri terakhir. Ia terkenal dengan nama panggilan Jango –dibaca Jenggo di Indonesia.

Di masa Jango banyak perusahaan asing dinasionalisasi. Termasuk perusahaan telkom Amerika. Tentu Amerika benci pada Jango. Maka Amerika mendalangi kudeta militer di sana. Juga menyogok anggota DPR. Dan membiayai gerakan sipil.

Waktu itu Jango berada di istana di Rio de Janeiro. Pangdam setempat minta pasukannya mengepung istana. Jango terbang ke Brasilia, ibu kota Brasil. Maksudnya: untuk mempertahankan kedudukan lewat perjuangan politik di ibu kota.

Begitu Jango mendarat di Brasilia parlemen sedang  bersidang. Keputusannya: mendukung kudeta. Jango kehilangan dukungan politik. Ia terbang ke kota yang menjadi basisnya di selatan. Ia memang orang selatan. Jango tinggal di dalam satu batalyon yang masih mendukungnya.

Dua hari kemudian parlemen melantik presiden baru. Jango kehilangan pijakan. Pemerintahan militer pun terbentuk.

Jango akhirnya lari ke Uruguay. Lalu ke Argentina. Ia meninggal di Argentina. Penyebab sesungguhnya tidak terungkap. Jenazahnya tidak pernah diotopsi. Ada yang bilang ia sakit jantung. Ada pula pendapat ia diracun.

Keterlibatan Amerika di kudeta itu terungkap terang kemudian. Yakni setelah masa kerahasiaan dokumen intelijen Amerika berakhir. Semua dokumen dibuka. Termasuk berapa dolar Amerika menyogok anggota DPR di sana.

Duta besar Amerika di Brasil waktu itu, Lincoln Gordon, lantas menerbitkan buku. Ia tulis perannya dalam ikut mendukung  kudeta.

Sekian tahun setelah kudeta, pelan-pelan demokrasi pulih di Brasil. Tokoh kiri mulai muncul lagi. Menguat: Lula da Silva. Ia ketua serikat buruh metal. Lula pun terpilih sebagai presiden Brasil di tahun 2003. Lalu terpilih lagi sampai 2011.

Baca Juga :  Gayus Ike

Selama delapan tahun di tangannya Brasil maju sekali. Brasil keluar dari kategori negara miskin.

Tahun 2017 Lula dikriminalisasi. Dituduh korupsi. Ia masuk penjara: dua tahun. Menjelang bebas Lula maju jadi capres. Ditolak. Setahun kemudian ada putusan Mahkamah Agung Brasil. Lula dinyatakan tidak bersalah. Ia bebas dari urusan kriminal.

Maka tahun 2022 Lula maju lagi sebagai capres. Terpilih di tahun 2023. Brasil kembali ke pemerintahan kiri.

UUD Brasil memang membatasi masa jabatan presiden dua periode berurut.

Dua periode pertama sudah ia lewati. Sekarang ini adalah periode pertama di masa jabatan baru. Berarti tahun 2026 Lula masih bisa maju lagi sebagai Capres.

Kini Lula menerima ujian berat: dikenakan tarif 50 persen dari Presiden Trump. Berat sekali. Amerika adalah tujuan ekspor utama Brasil. Ia minta segera ada pertemuan tingkat tinggi BRICS. Salah satu agendanya:  membawa kebijakan Trump ke badan perdagangan dunia WTO.

Lula kelihatan lebih hati-hati dibanding Narendra Modi dari India. Lula masih belum mau membalas tarif Trump itu dengan tit-for-tat.

Dalam logika Lula, yang akan terkena tarif Trump itu adalah perusahaan Brasil. Ia pun menerima masukan bisa saja  Brasil membalas dengan mengenakan pajak tinggi pada perusahaan Amerika di Brasil. Tapi Lula belum mau bicara itu.

Lula juga belum mau bertemu Trump. Pun meneleponnya. Ia tidak mau jadi korban ketiga: dihinakan oleh Trump seperti Presiden Ukraina dan Presiden Afrika Selatan. Ia hanya mau bertemu seorang presiden yang saling menghormati.

Meski Brasil negara terbesar di Amerika Selatan tapi Amerika menganggap Brasil negara kecil. Yang di mata Trump bisa dihinakan. “Saya tidak mau bicara dengan Trump kalau itu hanya akan menghinakan diri saya sendiri,” katanya.

Lula mengatakan siap bicara dengan Trump. Kapan saja. “Tapi, feeling saya, Trump  belum siap diajak bicara,” tambahnya.

Anda sudah tahu: India juga dihukum tarif 50 persen karena masih beli minyak dari Rusia. Brasil dihukum tarif 50 persen karena mantan presidennya, Bolsonaro, ditangkap. Ditahan di rumahnya sendiri. Dianggap melakukan percobaan kudeta. Bolsonaro kini harus mengenakan gelang elektronik agar tidak melarikan diri. Ia juga dilarang keluar rumah tiap Sabtu dan Minggu.

Baca Juga :  Kapsul Geprek

Lula ingat bagaimana Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa dihinakan Trump di Gedung Putih. Waktu itu Trump menuduh Afsel melakukan genosida terhadap warga kulit putih. Afsel pun dikenakan tarif 30+10 persen. Sangat tinggi.

Cyril mencoba menjelaskan bahwa genosida itu hanya mitos. Yang banyak jadi korban rasial justru  warga kulit hitam. Trump seperti mengabaikan penjelasan Cyril itu.

Trump memang terus memotong pembicaraan Cyril. Bahkan Trump menunjukkan video bagaimana petani kulit putih dikubur hidup-hidup bersama salib putihnya.

Dalam pertemuan itu Cyril seperti mati kutu. Trump sangat mendominasi pembicaraan. Sangat memojokkan Cyril. Dalam pertemuan itu Trump minta diputarkan video. Isinya: orang-orang kulit putih jadi korban kebiadaban rasial.

Cyril seperti ingin menjelaskan sesuatu. Tapi Trump terus melihat video itu dengan sangat serius. Pun para tamu lainnya. Termasuk media. Trump mempermalukan Cyril lewat video dan copy-copy cetakan.

Cyril bukan seperti Zelenskyy dari Ukraina. Zelenskyy berani memotong pembicaraan Trump. Berani membantah. Cyril terlalu sopan di depan Trump –dengan wajah yang juga selalu tersenyum ramah.

Padahal tidak semua kejadian di video itu di Afsel. Ternyata kejadian itu di Kongo.

Cyril hanya sempat sekali usil. Ia sempat menyindir Trump dengan sikap merendah. Ia mengatakan dirinya tidak punya pesawat mewah seperti Qatar yang bisa diberikan ke Trump, tapi Trump buru-buru menukasnya: “saya harap Anda punya dan saya akan mengambilnya”.

Lula tidak mau bertemu Trump khawatir akan senasib seperti Cyril. Sebenarnya bagus juga kalau tokoh buruh seperti Lula bertemu Trump. Ingin tahu apa yang akan dilakukan Lula pada Trump.

Dengan dihinakannya Cyril  lengkaplah kini empat negara pendiri BRICS menjadi lawan utama kebijakan Trump.

Empat lawan satu. Super Donald. Atau Super Trump.(Dahlan Iskan)

Kalau India ”menggugat” bahwa Amerika sendiri masih impor palladium dari Rusia, Brasil ”menggugat” kejadian tahun 1964 –setahun sebelum Gestapu/PKI di Indonesia.

Kejadiannya sama dengan yang di Indonesia: Amerika Serikat terlibat dalam kudeta militer di Brasil. Pemerintahan kiri di sana digulingkan. Alasannya: Brasil dianggap bisa menjadi negara komunis. Alanisa yang sama untuk Indonesia di tahun 1965.

Sejak itu pemerintahan di Brasil selalu ”kanan”.  Pro Amerika. Berakhirlah pemerintahan ”kiri” Brasil. João Goulart menjadi presiden kiri terakhir. Ia terkenal dengan nama panggilan Jango –dibaca Jenggo di Indonesia.

Di masa Jango banyak perusahaan asing dinasionalisasi. Termasuk perusahaan telkom Amerika. Tentu Amerika benci pada Jango. Maka Amerika mendalangi kudeta militer di sana. Juga menyogok anggota DPR. Dan membiayai gerakan sipil.

Waktu itu Jango berada di istana di Rio de Janeiro. Pangdam setempat minta pasukannya mengepung istana. Jango terbang ke Brasilia, ibu kota Brasil. Maksudnya: untuk mempertahankan kedudukan lewat perjuangan politik di ibu kota.

Begitu Jango mendarat di Brasilia parlemen sedang  bersidang. Keputusannya: mendukung kudeta. Jango kehilangan dukungan politik. Ia terbang ke kota yang menjadi basisnya di selatan. Ia memang orang selatan. Jango tinggal di dalam satu batalyon yang masih mendukungnya.

Dua hari kemudian parlemen melantik presiden baru. Jango kehilangan pijakan. Pemerintahan militer pun terbentuk.

Jango akhirnya lari ke Uruguay. Lalu ke Argentina. Ia meninggal di Argentina. Penyebab sesungguhnya tidak terungkap. Jenazahnya tidak pernah diotopsi. Ada yang bilang ia sakit jantung. Ada pula pendapat ia diracun.

Keterlibatan Amerika di kudeta itu terungkap terang kemudian. Yakni setelah masa kerahasiaan dokumen intelijen Amerika berakhir. Semua dokumen dibuka. Termasuk berapa dolar Amerika menyogok anggota DPR di sana.

Duta besar Amerika di Brasil waktu itu, Lincoln Gordon, lantas menerbitkan buku. Ia tulis perannya dalam ikut mendukung  kudeta.

Sekian tahun setelah kudeta, pelan-pelan demokrasi pulih di Brasil. Tokoh kiri mulai muncul lagi. Menguat: Lula da Silva. Ia ketua serikat buruh metal. Lula pun terpilih sebagai presiden Brasil di tahun 2003. Lalu terpilih lagi sampai 2011.

Baca Juga :  Gayus Ike

Selama delapan tahun di tangannya Brasil maju sekali. Brasil keluar dari kategori negara miskin.

Tahun 2017 Lula dikriminalisasi. Dituduh korupsi. Ia masuk penjara: dua tahun. Menjelang bebas Lula maju jadi capres. Ditolak. Setahun kemudian ada putusan Mahkamah Agung Brasil. Lula dinyatakan tidak bersalah. Ia bebas dari urusan kriminal.

Maka tahun 2022 Lula maju lagi sebagai capres. Terpilih di tahun 2023. Brasil kembali ke pemerintahan kiri.

UUD Brasil memang membatasi masa jabatan presiden dua periode berurut.

Dua periode pertama sudah ia lewati. Sekarang ini adalah periode pertama di masa jabatan baru. Berarti tahun 2026 Lula masih bisa maju lagi sebagai Capres.

Kini Lula menerima ujian berat: dikenakan tarif 50 persen dari Presiden Trump. Berat sekali. Amerika adalah tujuan ekspor utama Brasil. Ia minta segera ada pertemuan tingkat tinggi BRICS. Salah satu agendanya:  membawa kebijakan Trump ke badan perdagangan dunia WTO.

Lula kelihatan lebih hati-hati dibanding Narendra Modi dari India. Lula masih belum mau membalas tarif Trump itu dengan tit-for-tat.

Dalam logika Lula, yang akan terkena tarif Trump itu adalah perusahaan Brasil. Ia pun menerima masukan bisa saja  Brasil membalas dengan mengenakan pajak tinggi pada perusahaan Amerika di Brasil. Tapi Lula belum mau bicara itu.

Lula juga belum mau bertemu Trump. Pun meneleponnya. Ia tidak mau jadi korban ketiga: dihinakan oleh Trump seperti Presiden Ukraina dan Presiden Afrika Selatan. Ia hanya mau bertemu seorang presiden yang saling menghormati.

Meski Brasil negara terbesar di Amerika Selatan tapi Amerika menganggap Brasil negara kecil. Yang di mata Trump bisa dihinakan. “Saya tidak mau bicara dengan Trump kalau itu hanya akan menghinakan diri saya sendiri,” katanya.

Lula mengatakan siap bicara dengan Trump. Kapan saja. “Tapi, feeling saya, Trump  belum siap diajak bicara,” tambahnya.

Anda sudah tahu: India juga dihukum tarif 50 persen karena masih beli minyak dari Rusia. Brasil dihukum tarif 50 persen karena mantan presidennya, Bolsonaro, ditangkap. Ditahan di rumahnya sendiri. Dianggap melakukan percobaan kudeta. Bolsonaro kini harus mengenakan gelang elektronik agar tidak melarikan diri. Ia juga dilarang keluar rumah tiap Sabtu dan Minggu.

Baca Juga :  Kapsul Geprek

Lula ingat bagaimana Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa dihinakan Trump di Gedung Putih. Waktu itu Trump menuduh Afsel melakukan genosida terhadap warga kulit putih. Afsel pun dikenakan tarif 30+10 persen. Sangat tinggi.

Cyril mencoba menjelaskan bahwa genosida itu hanya mitos. Yang banyak jadi korban rasial justru  warga kulit hitam. Trump seperti mengabaikan penjelasan Cyril itu.

Trump memang terus memotong pembicaraan Cyril. Bahkan Trump menunjukkan video bagaimana petani kulit putih dikubur hidup-hidup bersama salib putihnya.

Dalam pertemuan itu Cyril seperti mati kutu. Trump sangat mendominasi pembicaraan. Sangat memojokkan Cyril. Dalam pertemuan itu Trump minta diputarkan video. Isinya: orang-orang kulit putih jadi korban kebiadaban rasial.

Cyril seperti ingin menjelaskan sesuatu. Tapi Trump terus melihat video itu dengan sangat serius. Pun para tamu lainnya. Termasuk media. Trump mempermalukan Cyril lewat video dan copy-copy cetakan.

Cyril bukan seperti Zelenskyy dari Ukraina. Zelenskyy berani memotong pembicaraan Trump. Berani membantah. Cyril terlalu sopan di depan Trump –dengan wajah yang juga selalu tersenyum ramah.

Padahal tidak semua kejadian di video itu di Afsel. Ternyata kejadian itu di Kongo.

Cyril hanya sempat sekali usil. Ia sempat menyindir Trump dengan sikap merendah. Ia mengatakan dirinya tidak punya pesawat mewah seperti Qatar yang bisa diberikan ke Trump, tapi Trump buru-buru menukasnya: “saya harap Anda punya dan saya akan mengambilnya”.

Lula tidak mau bertemu Trump khawatir akan senasib seperti Cyril. Sebenarnya bagus juga kalau tokoh buruh seperti Lula bertemu Trump. Ingin tahu apa yang akan dilakukan Lula pada Trump.

Dengan dihinakannya Cyril  lengkaplah kini empat negara pendiri BRICS menjadi lawan utama kebijakan Trump.

Empat lawan satu. Super Donald. Atau Super Trump.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru