34.1 C
Jakarta
Monday, July 7, 2025

Karam Darat

Sudah sebulan terakhir, setiap pagi, sahabat lama saya ini kirim tulisan bagus. Soal Indonesia dalam realita –lebih tegasnya:  “Indonesia dalam paradoks”.

Teman saya itu seorang pengusaha. Pernah jadi ketua umum partai yang dekat dengan Muhammadiyah.

“Ini tulisan Anda sendiri? Bagus sekali,” komentar saya.

“Bukan. Itu tulisan teman baik saya,” jawabnya.

Lalu saya scroll lagi ke bagian paling atas. Ternyata memang ada penulisnya –tapi bukan namanya. Hanya singkatannya: GWS.

“Boleh kah saya kenal dengan GWS yang menulis artikel itu?”

“Saya tanya dulu orangnya”.

“GWS itu singkatan apa?”

“Saya tanya dulu orangnya”.

Ya sudah. Rahasia.

Sejak itu, setiap hari saya dikirimi artikel GWS. Isinya selalu baik. Selalu menarik. Penulisannya mengalir. Hanya kadang agak terlalu panjang –untuk ukuran pembaca zaman sekarang.

Rupanya GWS juga menulis setiap hari. Entah sudah berapa lama. Terbukti setiap pagi saya menerima kiriman dari teman lama itu. Isinya bervariasi. Kadang soal pembangunan Maritim –sampai lima seri. Salah satunya: bagaimana Aceh bisa jadi pusat maritim baru Indonesia.

Yakni memanfaatkan program Thailand yang membangun terusan di ”leher” negaranya. Terusan itu sebagai jalan pintas bagi lalu-lintas kapal dari Lautan Hindia ke Laut China Selatan –tanpa lewat Selat Melaka yang sudah terlalu ramai. Terusan itu juga sekaligus mengurangi peran pelabuhan Singapura.

Artikel itu ganti saya kirim ke beberapa aktivis Aceh. Reaksi mereka: konsep seperti itu dulu pernah dibicarakan. Tapi terlalu ideal untuk bisa dilaksanakan.

Yang juga menarik adalah tulisan GWS tentang guru. Sampai tiga seri. Intinya: sistem pendidikan guru harus dikembalikan ke model tertutup. Kembali ke zaman awal lahirnya IKIP atau bahkan sebelumnya. Model pendidikan guru terbuka seperti sekarang membuat kualitas guru sangat rendah.

Kemarin pagi, tulisan GWS yang sampai ke saya juga menggelitik. Judulnya saja sudah menarik: Kapal Tenggelam di Darat.

Isinya tentang nasib seorang dirut BUMN di bidang kapal penyeberangan. Sebenarnya saya juga ingin menulis seperti yang ditulis GWS. Tapi saya khawatir dinilai kurang objektif –mengingat saya mantan sesuatu.

Isi tulisan GWS sangat mewakili perasaan saya. Juga perasaan orang seperti Milawarman –mantan dirut PT Bukit Asam yang harus berurusan dengan hukum.

Akhirnya Pak Mila memang bebas, tapi sudah telanjur babak belur. Namanya juga telanjur hancur. Bebas tapi tetap seperti terhukum.

Ira yang dirut PT ASDP pun segera jadi pesakitan di sidang pengadilan. Pun seperti di kasus Milawarman, saya tidak bisa menulis tentang Ira –padahal tangan ini sangat gatal untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Maka tulisan GWS 6 Juli 2025 sangat mewakili keyboard HP saya. Saya kutip saja selengkapnya:

***

Kapal Tenggelam di Darat

Paradoks ASDP dan Ironi Modernisasi BUMN di Indonesia

GWS, 6 Juli 2025

Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah direktur utama sebuah perusahaan pelayaran negara yang harus menjalankan misi ganda—mencari keuntungan di rute komersial sambil memikul kerugian di rute perintis demi melayani daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).

Setiap bulan, Anda harus menanggung beban operasional rute-rute yang tidak menguntungkan ke pulau-pulau terpencil, sementara pesaing swasta bebas memilih rute yang profitable saja. Untuk meningkatkan pendapatan, Anda memutuskan mengakuisisi sebuah perusahaan pelayaran yang sudah memiliki 53 kapal plus izin trayek lengkap—strategi yang memungkinkan revenue langsung mengalir tanpa harus menunggu birokrasi perizinan bertahun-tahun.

Namun alih-alih mendapat apresiasi, Anda malah didudukkan di kursi terdakwa dengan tuduhan merugikan negara Rp1,2 triliun. Selamat datang di Indonesia, negeri di mana strategi bisnis bisa berubah menjadi dakwaan. Dan upaya menyelamatkan BUMN bisa berakhir di Pengadilan Tipikor.

Kasus ASDP yang mencuat belakangan ini bukan sekadar skandal korupsi biasa. Ini adalah cermin retak dari paradoks pembangunan Indonesia: bagaimana sebuah upaya transformasi perusahaan negara malah berujung pada vonis pengadilan.

Para direksi yang kini terpampang di dakwaan KPK—adalah para profesional yang dulu dipercaya memimpin ASDP menuju era baru. Kini mereka duduk di kursi terdakwa, bingung antara label “reformator” dan “koruptor.”

Dilema Sang Atlas yang Memikul Dua Dunia

Ironi ini dimulai dari sebuah dilema klasik BUMN Indonesia: bagaimana mencari keuntungan sambil memikul beban sosial yang tidak pernah menguntungkan.

ASDP bukan sekadar perusahaan pelayaran biasa—ia adalah Atlas yang harus menopang dua dunia sekaligus.

Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan operator swasta yang bebas memilih rute profitable.

Di sisi lain, mereka harus menjalankan rute perintis ke daerah 3T yang pasti merugi, karena itu adalah amanah negara untuk pemerataan akses transportasi.

Bayangkan, menjalankan bisnis di mana setiap bulan Anda harus memproduktifkan rute Merak-Bakauheni yang menguntungkan untuk menutup kerugian rute ke Pulau Weh, Morotai, atau Sabang yang penumpangnya seadanya.

Baca Juga :  Harapan Kanjuruhan

Pesaing swasta? Mereka cukup mengambil rute yang manis-manis saja.

Dalam kondisi seperti ini, akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan 53 kapalnya bukan sekadar ambisi ekspansi—ini adalah strategi survival yang masuk akal. Bukan membeli kapal kosong yang masih harus mengurus izin trayek bertahun-tahun, melainkan mengakuisisi perusahaan yang sudah memiliki izin operasi lengkap. Artinya: revenue bisa langsung mengalir hari ini juga, bukan tahun depan atau tahun lusa setelah birokrasi selesai.

Perbedaannya seperti membeli warung Padang yang sudah jadi versus membeli kompor dan beras untuk buka warung baru. Yang pertama, besok sudah bisa jualan nasi Padang. Yang kedua, masih harus ngurus izin usaha, izin tempat, izin ini-itu—bisa setahun baru buka, dan belum tentu laku. Dalam konteks bisnis pelayaran, akuisisi perusahaan berikut izin trayeknya adalah strategi fast track yang lazim di industri manapun.

Di Singapura, Neptune Orient Lines tumbuh menjadi raksasa pelayaran melalui serangkaian akuisisi strategis perusahaan-perusahaan kecil berikut rute operasinya.

Di Korea Selatan, Hyundai Merchant Marine bangkit dari kepailitan dengan mengakuisisi kompetitor yang bangkrut, lengkap dengan armada dan izin operasinya. Tidak ada yang aneh dengan strategi ini—kecuali di Indonesia, di mana setiap langkah besar BUMN dianggap mencurigakan.

Namun di Indonesia, logika bisnis sering terganjal oleh logika hukum yang serba curiga. Setiap langkah besar BUMN diperiksa dengan kacamata pembesar, setiap keputusan berisiko ditafsirkan sebagai potensi penyalahgunaan wewenang. Akibatnya, para direksi BUMN terjebak dalam what I call “the paralysis of perfection” —ketakutan berlebihan untuk mengambil risiko karena takut dituduh korup.

Sistem yang Menggali Kuburnya Sendiri

Yang lebih ironis dari kasus ASDP adalah bagaimana sistem hukum kita bekerja. Seperti ekscavator berlisensi resmi yang menggali jalan bagi para koruptor sungguhan, sementara menimbun mereka yang berusaha berbuat baik dengan risiko tinggi.

Ketika ada seseorang pejabat tinggi yang terbukti korup di Garuda Indonesia merancang sebuah transaksi dengan skema yang jelas merugikan negara, ia diganjar hukuman, fair! Tapi ketika para direksi ASDP mencoba transformasi dengan me-manage risiko yang tinggi—dan kemudian dituduh merekayasa valuasi—apakah ini korupsi ataukah kegagalan sistem hukum dalam melihat sebuah proses pengambilan keputusan di dalam sebuah bisnis?

Di Jepang, ketika CEO Nissan Carlos Ghosn dituduh financial misconduct, fokusnya adalah pada transparency dan corporate governance.

Di Indonesia, setiap langkah transformasi BUMN selalu dinaungi bayang-bayang pidana korupsi.

Hasilnya? Para profesional terbaik enggan memimpin BUMN, dan yang tersisa adalah mereka yang bermain aman dengan status quo—atau mereka yang memang berniat korup dari awal.

Si Kabayan dan Harta Karun yang Siap Pakai

Para direksi ASDP tidak bermimpi tentang transformasi kosong. Mereka sudah bisa berhitung: mengakuisisi PT Jembatan Nusantara berarti mendapat 53 kapal yang sudah beroperasi, sudah menghasilkan revenue, sudah punya izin trayek yang sulit didapat.

 

Bandingkan jika mereka membeli 53 kapal kosong—butuh berapa tahun untuk mengurus izin? Berapa besar biaya opportunity cost selama kapal nganggur? Berapa risiko izin tidak keluar?

Nilai akuisisi Rp1,2 triliun memang angka yang fantastis, tapi mari kita hitung dengan logika bisnis, bukan logika kriminal. Dalam industri pelayaran, akuisisi perusahaan berikut izin operasinya memang selalu lebih mahal daripada membeli kapal kosong. Mengapa? Karena yang dibeli bukan hanya aset fisik, tapi juga:

– Izin trayek yang sudah proven profitable

– Customer base yang sudah established

– Revenue stream yang sudah berjalan

– Track record operasional yang sudah teruji

Ini seperti membeli franchise McDonald’s versus buka burger stall sendiri. Yang pertama mahal, tapi sudah ada brand, system, dan customer. Yang kedua murah, tapi belum tentu laku dan butuh effort dari nol.

Ketika IMO GISIS dijadikan standar tunggal untuk menentukan usia kapal dalam valuasi, apakah ini fair?

Standar internasional memang penting, tapi konteks bisnis lokal juga tidak bisa diabaikan.

Kapal yang beroperasi di perairan Indonesia dengan regulasi Indonesia, melayani rute Indonesia, tentu punya karakteristik valuasi yang berbeda dengan kapal yang beroperasi di Mediterania atau Baltic Sea.

Bisnis di Negeri Seribu Prasangka

Indonesia memiliki blessing in disguise yang aneh: kita punya BUMN-BUMN yang powerful dan strategis, namun sistem pengawasan yang paranoid terhadap setiap langkah bisnis mereka.

ASDP adalah contoh sempurna dari paradoks ini—mereka dituntut untuk profitable, tapi setiap keputusan bisnis yang berani dianggap mencurigakan.

Akibatnya, BUMN kita menjadi seperti atlet yang dipaksa jadi juara dunia tapi diwajibkan berlari sambil menggendong karung beras 50 kilo.

Baca Juga :  1.000 Quanzhou

Tugas ganda ASDP—mencari keuntungan di rute komersial untuk menyubsidi rute perintis—adalah misi impossible yang tidak pernah dihadapi kompetitor swasta.

Bayangkan Anda harus bersaing dalam balap mobil, tapi Anda wajib berhenti di setiap pos untuk membagikan makanan gratis, sementara pesaing lain boleh ngebut tanpa beban apapun. Itulah realitas BUMN pelayaran di Indonesia.

Bandingkan dengan Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia. Sovereign wealth fund ini berinvestasi dengan agresif, mengambil risiko tinggi, melakukan akuisisi besar-besaran, dan kadang mengalami kerugian—tanpa direksi mereka langsung masuk bui. Kenapa? Karena ada pemahaman bahwa calculated risk adalah bagian dari permainan bisnis. Kerugian adalah tuition fee untuk pembelajaran, bukan automatically criminal offense.

Di Indonesia? Setiap keputusan akuisisi BUMN diperlakukan seperti potential crime scene. Setiap valuasi yang premium langsung dicurigai sebagai markup. Setiap strategi aggressive growth dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Hasilnya: para direksi BUMN bermain ultra-konservatif, menghindari segala risiko, dan perusahaan perlahan mati karena tidak berani berinovasi.

Masa Depan BUMN dalam Limbo

Kasus ASDP menciptakan precedent yang berbahaya: setiap upaya transformasi radikal BUMN akan dilihat dengan kacamata curiga. Para profesional terbaik akan berpikir dua kali sebelum menerima posisi direksi BUMN. Mengapa harus mengambil risiko reputasi dan kebebasan untuk perusahaan negara, sementara di sektor swasta mereka bisa berinovasi tanpa ancaman pidana?

Yang tersisa kemudian adalah dua tipe pemimpin BUMN: yang bermain utrasafe dan tidak pernah mengambil risiko (sehingga perusahaan stagnan), atau yang memang punya niat buruk dari awal dan pandai menyamarkan korupsi sebagai “inovasi.”

Kedua tipe ini sama-sama merugikan: yang pertama membuat BUMN jadi zombie companies, yang kedua membuat BUMN jadi cash cow pribadi.

Mengeja Ulang Makna “Profesional”

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan “profesional” dalam konteks BUMN Indonesia?

Apakah seorang yang mengambil keputusan berisiko tinggi demi transformasi perusahaan, ataukah yang bermain aman mengikuti SOP kaku meski perusahaan perlahan mati?

Apakah profesionalisme diukur dari keberanian mengambil calculated risk, ataukah dari kemampuan menghindari segala bentuk risiko hukum?

Dalam budaya Jawa, ada konsep “sregep, rajin, lan eling” —giat, rajin, dan waspada.

Para direksi ASDP mungkin sudah sregep dan rajin dalam menjalankan transformasi.

Pertanyaannya: apakah mereka cukup eling untuk mempertimbangkan risiko hukum dari setiap langkah inovatif?

Epilog

Kelak, ketika sejarah mencatat era transformasi BUMN Indonesia, kasus ASDP akan menjadi footnote yang menarik: bagaimana negara yang menuntut BUMN-nya mencari keuntungan untuk menyubsidi misi sosial, kemudian menghukum mereka yang berusaha melakukannya dengan strategi bisnis yang agresif.

Para direksi ASDP mungkin adalah korban dari sistem yang schizophrenic: terlalu menuntut BUMN untuk profitable sambil menjalankan beban sosial, tapi terlalu curiga dengan setiap langkah strategis yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.

Mereka seperti nakhoda yang diminta berlayar cepat sambil menarik perahu bocor, tapi kemudian disalahkan ketika memilih kapal yang lebih powerful untuk misinya.

Akuisisi PT Jembatan Nusantara—dengan segala kontroversi valuasinya—sebenarnya adalah contoh thinking outside the box, dalam konteks BUMN yang terjebak regulasi kaku.

Alih-alih membeli kapal kosong yang butuh bertahun-tahun untuk operasional, mereka memilih akuisisi perusahaan yang sudah siap menghasilkan revenue hari itu juga. Dalam dunia startup, ini disebut “buying traction.” Dalam konteks BUMN Indonesia, ini disebut “dugaan korupsi.”

Pertanyaannya kini: sanggupkah kita menciptakan sistem yang membedakan antara korupsi sesungguhnya dengan strategic business risk-taking?

Bisakah kita memahami bahwa membayar premium untuk aset yang sudah produktif adalah hal wajar dalam dunia bisnis, bukan otomatis mark-up koruptif?

Ataukah kita akan terus menjadi negara yang takut pada bayang-bayang sendiri, di mana setiap upaya BUMN untuk bersaing secara serius berakhir di meja hijau?

Sebagaimana ungkapan Minang, “babuah babungo, indak babuah layu?” —berbuah berbunga, tidak berbuah layu.

Kasus ASDP memaksa kita bertanya: apakah upaya BUMN untuk sustainable growth sambil menjalankan misi sosial akan berbuah kemajuan, ataukah layu sebelum sempat mekar karena setiap inovasi bisnis dianggap suspicious?

Jawabannya bukan hanya menentukan masa depan ASDP, tapi juga masa depan seluruh ekosistem BUMN Indonesia di era di mana standing still sama dengan slow death.

Susahnya hidup di negeri tempat Si Kabayan membangun istana malah dituduh merampok, sementara perampok yang berdandan Sinterklaas malah bebas berkeliaran.

Siapa GWS? Saya yakin suatu saat akan tahu siapa ia. Atau jangan-jangan ia salah satu perusuh Disway.

Di tengah berita tenggelamnya fery swasta di Selat Bali ternyata ada juga yang karam di daratan seperti Ira.(Dahlan Iskan)

Sudah sebulan terakhir, setiap pagi, sahabat lama saya ini kirim tulisan bagus. Soal Indonesia dalam realita –lebih tegasnya:  “Indonesia dalam paradoks”.

Teman saya itu seorang pengusaha. Pernah jadi ketua umum partai yang dekat dengan Muhammadiyah.

“Ini tulisan Anda sendiri? Bagus sekali,” komentar saya.

“Bukan. Itu tulisan teman baik saya,” jawabnya.

Lalu saya scroll lagi ke bagian paling atas. Ternyata memang ada penulisnya –tapi bukan namanya. Hanya singkatannya: GWS.

“Boleh kah saya kenal dengan GWS yang menulis artikel itu?”

“Saya tanya dulu orangnya”.

“GWS itu singkatan apa?”

“Saya tanya dulu orangnya”.

Ya sudah. Rahasia.

Sejak itu, setiap hari saya dikirimi artikel GWS. Isinya selalu baik. Selalu menarik. Penulisannya mengalir. Hanya kadang agak terlalu panjang –untuk ukuran pembaca zaman sekarang.

Rupanya GWS juga menulis setiap hari. Entah sudah berapa lama. Terbukti setiap pagi saya menerima kiriman dari teman lama itu. Isinya bervariasi. Kadang soal pembangunan Maritim –sampai lima seri. Salah satunya: bagaimana Aceh bisa jadi pusat maritim baru Indonesia.

Yakni memanfaatkan program Thailand yang membangun terusan di ”leher” negaranya. Terusan itu sebagai jalan pintas bagi lalu-lintas kapal dari Lautan Hindia ke Laut China Selatan –tanpa lewat Selat Melaka yang sudah terlalu ramai. Terusan itu juga sekaligus mengurangi peran pelabuhan Singapura.

Artikel itu ganti saya kirim ke beberapa aktivis Aceh. Reaksi mereka: konsep seperti itu dulu pernah dibicarakan. Tapi terlalu ideal untuk bisa dilaksanakan.

Yang juga menarik adalah tulisan GWS tentang guru. Sampai tiga seri. Intinya: sistem pendidikan guru harus dikembalikan ke model tertutup. Kembali ke zaman awal lahirnya IKIP atau bahkan sebelumnya. Model pendidikan guru terbuka seperti sekarang membuat kualitas guru sangat rendah.

Kemarin pagi, tulisan GWS yang sampai ke saya juga menggelitik. Judulnya saja sudah menarik: Kapal Tenggelam di Darat.

Isinya tentang nasib seorang dirut BUMN di bidang kapal penyeberangan. Sebenarnya saya juga ingin menulis seperti yang ditulis GWS. Tapi saya khawatir dinilai kurang objektif –mengingat saya mantan sesuatu.

Isi tulisan GWS sangat mewakili perasaan saya. Juga perasaan orang seperti Milawarman –mantan dirut PT Bukit Asam yang harus berurusan dengan hukum.

Akhirnya Pak Mila memang bebas, tapi sudah telanjur babak belur. Namanya juga telanjur hancur. Bebas tapi tetap seperti terhukum.

Ira yang dirut PT ASDP pun segera jadi pesakitan di sidang pengadilan. Pun seperti di kasus Milawarman, saya tidak bisa menulis tentang Ira –padahal tangan ini sangat gatal untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Maka tulisan GWS 6 Juli 2025 sangat mewakili keyboard HP saya. Saya kutip saja selengkapnya:

***

Kapal Tenggelam di Darat

Paradoks ASDP dan Ironi Modernisasi BUMN di Indonesia

GWS, 6 Juli 2025

Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah direktur utama sebuah perusahaan pelayaran negara yang harus menjalankan misi ganda—mencari keuntungan di rute komersial sambil memikul kerugian di rute perintis demi melayani daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).

Setiap bulan, Anda harus menanggung beban operasional rute-rute yang tidak menguntungkan ke pulau-pulau terpencil, sementara pesaing swasta bebas memilih rute yang profitable saja. Untuk meningkatkan pendapatan, Anda memutuskan mengakuisisi sebuah perusahaan pelayaran yang sudah memiliki 53 kapal plus izin trayek lengkap—strategi yang memungkinkan revenue langsung mengalir tanpa harus menunggu birokrasi perizinan bertahun-tahun.

Namun alih-alih mendapat apresiasi, Anda malah didudukkan di kursi terdakwa dengan tuduhan merugikan negara Rp1,2 triliun. Selamat datang di Indonesia, negeri di mana strategi bisnis bisa berubah menjadi dakwaan. Dan upaya menyelamatkan BUMN bisa berakhir di Pengadilan Tipikor.

Kasus ASDP yang mencuat belakangan ini bukan sekadar skandal korupsi biasa. Ini adalah cermin retak dari paradoks pembangunan Indonesia: bagaimana sebuah upaya transformasi perusahaan negara malah berujung pada vonis pengadilan.

Para direksi yang kini terpampang di dakwaan KPK—adalah para profesional yang dulu dipercaya memimpin ASDP menuju era baru. Kini mereka duduk di kursi terdakwa, bingung antara label “reformator” dan “koruptor.”

Dilema Sang Atlas yang Memikul Dua Dunia

Ironi ini dimulai dari sebuah dilema klasik BUMN Indonesia: bagaimana mencari keuntungan sambil memikul beban sosial yang tidak pernah menguntungkan.

ASDP bukan sekadar perusahaan pelayaran biasa—ia adalah Atlas yang harus menopang dua dunia sekaligus.

Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan operator swasta yang bebas memilih rute profitable.

Di sisi lain, mereka harus menjalankan rute perintis ke daerah 3T yang pasti merugi, karena itu adalah amanah negara untuk pemerataan akses transportasi.

Bayangkan, menjalankan bisnis di mana setiap bulan Anda harus memproduktifkan rute Merak-Bakauheni yang menguntungkan untuk menutup kerugian rute ke Pulau Weh, Morotai, atau Sabang yang penumpangnya seadanya.

Baca Juga :  Harapan Kanjuruhan

Pesaing swasta? Mereka cukup mengambil rute yang manis-manis saja.

Dalam kondisi seperti ini, akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan 53 kapalnya bukan sekadar ambisi ekspansi—ini adalah strategi survival yang masuk akal. Bukan membeli kapal kosong yang masih harus mengurus izin trayek bertahun-tahun, melainkan mengakuisisi perusahaan yang sudah memiliki izin operasi lengkap. Artinya: revenue bisa langsung mengalir hari ini juga, bukan tahun depan atau tahun lusa setelah birokrasi selesai.

Perbedaannya seperti membeli warung Padang yang sudah jadi versus membeli kompor dan beras untuk buka warung baru. Yang pertama, besok sudah bisa jualan nasi Padang. Yang kedua, masih harus ngurus izin usaha, izin tempat, izin ini-itu—bisa setahun baru buka, dan belum tentu laku. Dalam konteks bisnis pelayaran, akuisisi perusahaan berikut izin trayeknya adalah strategi fast track yang lazim di industri manapun.

Di Singapura, Neptune Orient Lines tumbuh menjadi raksasa pelayaran melalui serangkaian akuisisi strategis perusahaan-perusahaan kecil berikut rute operasinya.

Di Korea Selatan, Hyundai Merchant Marine bangkit dari kepailitan dengan mengakuisisi kompetitor yang bangkrut, lengkap dengan armada dan izin operasinya. Tidak ada yang aneh dengan strategi ini—kecuali di Indonesia, di mana setiap langkah besar BUMN dianggap mencurigakan.

Namun di Indonesia, logika bisnis sering terganjal oleh logika hukum yang serba curiga. Setiap langkah besar BUMN diperiksa dengan kacamata pembesar, setiap keputusan berisiko ditafsirkan sebagai potensi penyalahgunaan wewenang. Akibatnya, para direksi BUMN terjebak dalam what I call “the paralysis of perfection” —ketakutan berlebihan untuk mengambil risiko karena takut dituduh korup.

Sistem yang Menggali Kuburnya Sendiri

Yang lebih ironis dari kasus ASDP adalah bagaimana sistem hukum kita bekerja. Seperti ekscavator berlisensi resmi yang menggali jalan bagi para koruptor sungguhan, sementara menimbun mereka yang berusaha berbuat baik dengan risiko tinggi.

Ketika ada seseorang pejabat tinggi yang terbukti korup di Garuda Indonesia merancang sebuah transaksi dengan skema yang jelas merugikan negara, ia diganjar hukuman, fair! Tapi ketika para direksi ASDP mencoba transformasi dengan me-manage risiko yang tinggi—dan kemudian dituduh merekayasa valuasi—apakah ini korupsi ataukah kegagalan sistem hukum dalam melihat sebuah proses pengambilan keputusan di dalam sebuah bisnis?

Di Jepang, ketika CEO Nissan Carlos Ghosn dituduh financial misconduct, fokusnya adalah pada transparency dan corporate governance.

Di Indonesia, setiap langkah transformasi BUMN selalu dinaungi bayang-bayang pidana korupsi.

Hasilnya? Para profesional terbaik enggan memimpin BUMN, dan yang tersisa adalah mereka yang bermain aman dengan status quo—atau mereka yang memang berniat korup dari awal.

Si Kabayan dan Harta Karun yang Siap Pakai

Para direksi ASDP tidak bermimpi tentang transformasi kosong. Mereka sudah bisa berhitung: mengakuisisi PT Jembatan Nusantara berarti mendapat 53 kapal yang sudah beroperasi, sudah menghasilkan revenue, sudah punya izin trayek yang sulit didapat.

 

Bandingkan jika mereka membeli 53 kapal kosong—butuh berapa tahun untuk mengurus izin? Berapa besar biaya opportunity cost selama kapal nganggur? Berapa risiko izin tidak keluar?

Nilai akuisisi Rp1,2 triliun memang angka yang fantastis, tapi mari kita hitung dengan logika bisnis, bukan logika kriminal. Dalam industri pelayaran, akuisisi perusahaan berikut izin operasinya memang selalu lebih mahal daripada membeli kapal kosong. Mengapa? Karena yang dibeli bukan hanya aset fisik, tapi juga:

– Izin trayek yang sudah proven profitable

– Customer base yang sudah established

– Revenue stream yang sudah berjalan

– Track record operasional yang sudah teruji

Ini seperti membeli franchise McDonald’s versus buka burger stall sendiri. Yang pertama mahal, tapi sudah ada brand, system, dan customer. Yang kedua murah, tapi belum tentu laku dan butuh effort dari nol.

Ketika IMO GISIS dijadikan standar tunggal untuk menentukan usia kapal dalam valuasi, apakah ini fair?

Standar internasional memang penting, tapi konteks bisnis lokal juga tidak bisa diabaikan.

Kapal yang beroperasi di perairan Indonesia dengan regulasi Indonesia, melayani rute Indonesia, tentu punya karakteristik valuasi yang berbeda dengan kapal yang beroperasi di Mediterania atau Baltic Sea.

Bisnis di Negeri Seribu Prasangka

Indonesia memiliki blessing in disguise yang aneh: kita punya BUMN-BUMN yang powerful dan strategis, namun sistem pengawasan yang paranoid terhadap setiap langkah bisnis mereka.

ASDP adalah contoh sempurna dari paradoks ini—mereka dituntut untuk profitable, tapi setiap keputusan bisnis yang berani dianggap mencurigakan.

Akibatnya, BUMN kita menjadi seperti atlet yang dipaksa jadi juara dunia tapi diwajibkan berlari sambil menggendong karung beras 50 kilo.

Baca Juga :  1.000 Quanzhou

Tugas ganda ASDP—mencari keuntungan di rute komersial untuk menyubsidi rute perintis—adalah misi impossible yang tidak pernah dihadapi kompetitor swasta.

Bayangkan Anda harus bersaing dalam balap mobil, tapi Anda wajib berhenti di setiap pos untuk membagikan makanan gratis, sementara pesaing lain boleh ngebut tanpa beban apapun. Itulah realitas BUMN pelayaran di Indonesia.

Bandingkan dengan Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia. Sovereign wealth fund ini berinvestasi dengan agresif, mengambil risiko tinggi, melakukan akuisisi besar-besaran, dan kadang mengalami kerugian—tanpa direksi mereka langsung masuk bui. Kenapa? Karena ada pemahaman bahwa calculated risk adalah bagian dari permainan bisnis. Kerugian adalah tuition fee untuk pembelajaran, bukan automatically criminal offense.

Di Indonesia? Setiap keputusan akuisisi BUMN diperlakukan seperti potential crime scene. Setiap valuasi yang premium langsung dicurigai sebagai markup. Setiap strategi aggressive growth dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Hasilnya: para direksi BUMN bermain ultra-konservatif, menghindari segala risiko, dan perusahaan perlahan mati karena tidak berani berinovasi.

Masa Depan BUMN dalam Limbo

Kasus ASDP menciptakan precedent yang berbahaya: setiap upaya transformasi radikal BUMN akan dilihat dengan kacamata curiga. Para profesional terbaik akan berpikir dua kali sebelum menerima posisi direksi BUMN. Mengapa harus mengambil risiko reputasi dan kebebasan untuk perusahaan negara, sementara di sektor swasta mereka bisa berinovasi tanpa ancaman pidana?

Yang tersisa kemudian adalah dua tipe pemimpin BUMN: yang bermain utrasafe dan tidak pernah mengambil risiko (sehingga perusahaan stagnan), atau yang memang punya niat buruk dari awal dan pandai menyamarkan korupsi sebagai “inovasi.”

Kedua tipe ini sama-sama merugikan: yang pertama membuat BUMN jadi zombie companies, yang kedua membuat BUMN jadi cash cow pribadi.

Mengeja Ulang Makna “Profesional”

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan “profesional” dalam konteks BUMN Indonesia?

Apakah seorang yang mengambil keputusan berisiko tinggi demi transformasi perusahaan, ataukah yang bermain aman mengikuti SOP kaku meski perusahaan perlahan mati?

Apakah profesionalisme diukur dari keberanian mengambil calculated risk, ataukah dari kemampuan menghindari segala bentuk risiko hukum?

Dalam budaya Jawa, ada konsep “sregep, rajin, lan eling” —giat, rajin, dan waspada.

Para direksi ASDP mungkin sudah sregep dan rajin dalam menjalankan transformasi.

Pertanyaannya: apakah mereka cukup eling untuk mempertimbangkan risiko hukum dari setiap langkah inovatif?

Epilog

Kelak, ketika sejarah mencatat era transformasi BUMN Indonesia, kasus ASDP akan menjadi footnote yang menarik: bagaimana negara yang menuntut BUMN-nya mencari keuntungan untuk menyubsidi misi sosial, kemudian menghukum mereka yang berusaha melakukannya dengan strategi bisnis yang agresif.

Para direksi ASDP mungkin adalah korban dari sistem yang schizophrenic: terlalu menuntut BUMN untuk profitable sambil menjalankan beban sosial, tapi terlalu curiga dengan setiap langkah strategis yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.

Mereka seperti nakhoda yang diminta berlayar cepat sambil menarik perahu bocor, tapi kemudian disalahkan ketika memilih kapal yang lebih powerful untuk misinya.

Akuisisi PT Jembatan Nusantara—dengan segala kontroversi valuasinya—sebenarnya adalah contoh thinking outside the box, dalam konteks BUMN yang terjebak regulasi kaku.

Alih-alih membeli kapal kosong yang butuh bertahun-tahun untuk operasional, mereka memilih akuisisi perusahaan yang sudah siap menghasilkan revenue hari itu juga. Dalam dunia startup, ini disebut “buying traction.” Dalam konteks BUMN Indonesia, ini disebut “dugaan korupsi.”

Pertanyaannya kini: sanggupkah kita menciptakan sistem yang membedakan antara korupsi sesungguhnya dengan strategic business risk-taking?

Bisakah kita memahami bahwa membayar premium untuk aset yang sudah produktif adalah hal wajar dalam dunia bisnis, bukan otomatis mark-up koruptif?

Ataukah kita akan terus menjadi negara yang takut pada bayang-bayang sendiri, di mana setiap upaya BUMN untuk bersaing secara serius berakhir di meja hijau?

Sebagaimana ungkapan Minang, “babuah babungo, indak babuah layu?” —berbuah berbunga, tidak berbuah layu.

Kasus ASDP memaksa kita bertanya: apakah upaya BUMN untuk sustainable growth sambil menjalankan misi sosial akan berbuah kemajuan, ataukah layu sebelum sempat mekar karena setiap inovasi bisnis dianggap suspicious?

Jawabannya bukan hanya menentukan masa depan ASDP, tapi juga masa depan seluruh ekosistem BUMN Indonesia di era di mana standing still sama dengan slow death.

Susahnya hidup di negeri tempat Si Kabayan membangun istana malah dituduh merampok, sementara perampok yang berdandan Sinterklaas malah bebas berkeliaran.

Siapa GWS? Saya yakin suatu saat akan tahu siapa ia. Atau jangan-jangan ia salah satu perusuh Disway.

Di tengah berita tenggelamnya fery swasta di Selat Bali ternyata ada juga yang karam di daratan seperti Ira.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru