28.8 C
Jakarta
Friday, June 27, 2025

15 Menit di Pegadaian, Cemas Itu Cair

Namanya Rizki. Seorang ayah. Bukan PNS. Bukan pula pegawai tetap sebuah perusahaan besar. Tapi ia punya satu hal yang sama dengan jutaan orang tua di Indonesia. Ia ingin masa depan anaknya lebih baik darinya.

Eko Supriadi, Palangka Raya

RIZKI ingin anaknya sekolah setinggi mungkin. Itu mimpi semua orang tua. Tapi seperti mimpi lain dalam hidup ini, kadang realitasnya tidak semulus itu. Beberapa bulan lalu, Rizki kepepet. Sekolah anaknya meminta daftar ulang. Batas waktu pembayaran sudah mepet. Tapi uang belum juga masuk.

Rizki hanya punya satu barang bernilai yang bisa diuangkan. Sebuah tablet Redmi, yang sudah menemaninya bekerja selama ini. Tapi itu satu-satunya alat untuk mengakses informasi, berkomunikasi dengan klien, dan menjalankan usaha kecil-kecilan dari rumah. Haruskah dijual? Atau lebih baik digadai?

Menjual berarti kehilangan. Menggadai, masih ada harapan untuk kembali. Tapi ke mana? Kredit online? Tidak berani. Teman-teman Rizki sudah banyak yang terjebak bunga yang mencekik, denda yang menggila, hingga utang yang membengkak tanpa sadar. Sekali klik, bisa terjerat sistem yang sulit keluar.

Pinjam ke teman? Terlalu banyak sungkan. Dunia saat ini terlalu mudah tersinggung dan terlalu cepat menghakimi. Rizki pun melangkah ke tempat yang oleh banyak orang dulu dianggap jalan terakhir. Ia pergi ke Pegadaian.

Dalam waktu 15 menit, uang cair. Hari itu juga. Tablet tetap di tangan. Karena ternyata, Rizki tidak perlu menggadaikan alat komunikasinya. Ia punya barang lain yang cukup untuk jaminan. Barang sederhana, tapi cukup berarti. Cincin kawin milik istrinya.

Cerita itu ia sampaikan kepada saya dengan wajah lega. Tidak ada perasaan kalah. Tidak ada beban malu. Hanya satu ungkapan tulus. “Untung masih ada Pegadaian,” tuturnya. Ia bisa pulang dengan senyum. Anaknya bisa daftar ulang. Dan kehidupan berjalan lagi, seperti sedia kala.

Saya penasaran. Cerita Rizki terdengar terlalu ringan untuk sebuah situasi kepepet. Maka saya datang ke kantor Pegadaian Palangka Raya. Saya temui langsung Kepala Pegadaian, Hermin Pongtuluran, SE.

Hari itu, Selasa (24/6/2025). Kantor Pegadaian tidak seperti bayangan lama saya. Kondisinya terang. Bersih. Tidak ada antrean berdesakan. Petugas ramah. Tidak ada aroma kekhawatiran seperti dulu. Saya datang sebagai pewarta, tapi dilayani seperti tamu yang hendak menyimpan emas.

“Kalau datang hari ini, cair hari ini juga,” kata Hermin. Tidak dibuat rumit. Tidak disambut dengan prasangka.

Saya percaya karena Rizki sudah membuktikannya. Tapi tetap saya gali lagi. Ternyata, prosedurnya tidak serumit yang orang kira. Datang, isi formulir pinjaman, bawa KTP asli dan fotokopinya, lalu serahkan barang jaminan. Setelah barang ditaksir, nilai pinjaman ditentukan. Lalu uang cair. Selesai.

Baca Juga :  Holding UMi Makin Bermanfaat, Jokowi Apresiasi Produk Batik Nasabah Ini

Kalau kendaraan bermotor, tinggal serahkan BPKB, STNK, dan kunci. Kalau barang elektronik, cukup bawa barang dan kuwitansi pembelian. Kalau emas, bahkan bisa ditimbang langsung di tempat. Transaksi cepat. Tidak pakai wawancara mendalam, tidak perlu surat keterangan kerja atau slip gaji. Bahkan tidak perlu rekening bank.

Bunganya pun kecil. Untuk pinjaman antara Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu, bunga hanya 0,75% per 15 hari. Dan ini yang paling penting. Tidak ada penalti jika ingin melunasi lebih cepat. Bahkan nasabah bisa dapat diskon untuk pelunasan lebih awal. Sistemnya bukan hanya adil, tapi juga manusiawi.

“Yang penting, kita tahu keperluan mereka. Kita bantu sebisanya, sesuai prosedur,” kata Hermin.

Pegadaian bukan hanya melayani. Tapi memahami. Kalimat itu terlalu sering jadi slogan perusahaan. Tapi kali ini terasa nyata. Transformasi Pegadaian bukan cuma soal waktu pencairan. Tapi soal cara pandang. Mereka tidak lagi melihat nasabah sebagai peminjam, tapi sebagai manusia yang sedang menjaga harga diri.

Banyak dari mereka datang bukan karena gagal, tapi karena butuh waktu. Butuh ruang untuk bernafas. Butuh jeda sejenak di tengah tekanan ekonomi. Dulu, orang ke Pegadaian karena tidak ada pilihan lain. Sekarang, justru karena sadar bahwa inilah pilihan yang paling masuk akal.

Pegadaian kini memiliki 23 produk. Dari gadai konvensional, pembiayaan kendaraan, cicil emas, tabungan emas, hingga layanan digital berbasis aplikasi. Ya, Pegadaian kini hadir di layar ponsel. Melalui aplikasi Pegadaian Digital, segala transaksi bisa dilakukan dari rumah. Cek saldo, beli emas, transfer, bahkan gadai pun cukup dari genggaman.

Dulu Pegadaian identik dengan antrean panjang dan wajah-wajah yang terdesak. Kini, identiknya adalah efisiensi. Aman. Diawasi. Dan legal. Hal yang sangat penting di tengah maraknya pinjaman daring tak berizin yang kerap memerangkap penggunanya dengan bunga dan ancaman.

Saya bertanya lagi pada Hermin. Apa yang paling dicari orang dari Pegadaian?

“Rasa aman,” jawabnya cepat. “Orang tidak hanya mencari uang. Mereka juga mencari tempat yang tidak menghakimi. Tempat yang tetap menghargai, meski nilai pinjamannya kecil,” tambahnya.

Saya percaya. Karena saya lihat sendiri bagaimana petugas di loket tetap melayani dengan senyum meski nilai gadai hanya Rp100 ribu. Tidak ada perbedaan perlakuan antara nasabah kecil dan besar. Pegadaian mengubah mentalitas layanannya. Dari layanan transaksi menjadi layanan kemanusiaan.

Baca Juga :  Mendirikan Pusat Isoman Terpadu, Menampung Hingga 40 Orang

Dan ini bukan hanya cerita di Palangka Raya. Di seluruh Indonesia, Pegadaian sedang bergerak ke arah yang sama. Gedung-gedung direnovasi. Prosedur dipangkas. Teknologi diperbarui. Yang paling penting: cara pandang diubah. Pegadaian bukan tempat keputusasaan, tapi tempat untuk memulai ulang dengan kepala tegak.

Hari ini, Rizki sudah kembali bekerja. Tablet-nya masih ia pegang. Anaknya sudah sekolah. Tidak ada drama. Tidak ada beban bunga tak terbayar. Ia bilang ke saya, dia bersyukur masih ada tempat seperti itu.

Saya yakin, di luar sana, ada ribuan Rizki lainnya. Orang-orang baik yang sedang kesusahan. Yang kadang cuma butuh Rp 300 ribu, tapi tidak tahu harus ke mana. Yang kadang hanya butuh waktu tiga hari saja. Tapi tidak diberi ruang oleh sistem perbankan yang terlalu kaku dan formal.

Pegadaian hadir untuk mereka. Untuk yang butuh cepat tapi enggan terjerat. Untuk yang ingin mempertahankan alat kerja, bukan menjualnya. Untuk yang ingin anaknya tetap sekolah, meski keadaan sedang sulit.

Saya menulis ini bukan untuk promosi. Tapi karena saya percaya, tidak semua kebaikan harus menunggu viral untuk diberitakan. Dan Pegadaian, dalam diamnya, telah membantu banyak orang keluar dari masa-masa paling sempit dalam hidup mereka. Tanpa memaksa. Tanpa mempermalukan.

Mungkin suatu hari, kita akan ada di posisi Rizki. Mungkin bukan soal daftar ulang sekolah, tapi soal biaya rumah sakit. Uang kontrakan. Atau urusan keluarga yang mendesak.

Saat itulah, kita akan tahu betapa pentingnya ada tempat yang memberi pinjaman tanpa mencabut harapan. Tempat yang tidak menggurui. Tidak memvonis. Hanya membantu, dengan tulus. Dan itulah Pegadaian hari ini.

Lembaga keuangan milik negara yang usianya lebih dari 100 tahun ini, kini telah menjadi relevan kembali. Menyentuh anak muda, UMKM, hingga pensiunan. Dari modal usaha, biaya pendidikan, sampai solusi darurat. Semua bisa dilayani. Dengan sistem yang adil. Dan dengan wajah yang manusiawi.

Mengatasi masalah tanpa menambah masalah. Itulah Pegadaian. Dan untuk banyak orang seperti Rizki, mungkin inilah satu-satunya harapan yang tersisa. Dan harapan itu, kini bisa datang tanpa rasa malu.

Sebab Pegadaian bukan lagi tempat orang kepepet. Tapi tempat orang bersiap. Tempat orang bangkit. Tempat orang merancang ulang masa depannya dengan tenang. Dengan kepala tegak. Dengan secercah harapan di genggaman. (*)

Namanya Rizki. Seorang ayah. Bukan PNS. Bukan pula pegawai tetap sebuah perusahaan besar. Tapi ia punya satu hal yang sama dengan jutaan orang tua di Indonesia. Ia ingin masa depan anaknya lebih baik darinya.

Eko Supriadi, Palangka Raya

RIZKI ingin anaknya sekolah setinggi mungkin. Itu mimpi semua orang tua. Tapi seperti mimpi lain dalam hidup ini, kadang realitasnya tidak semulus itu. Beberapa bulan lalu, Rizki kepepet. Sekolah anaknya meminta daftar ulang. Batas waktu pembayaran sudah mepet. Tapi uang belum juga masuk.

Rizki hanya punya satu barang bernilai yang bisa diuangkan. Sebuah tablet Redmi, yang sudah menemaninya bekerja selama ini. Tapi itu satu-satunya alat untuk mengakses informasi, berkomunikasi dengan klien, dan menjalankan usaha kecil-kecilan dari rumah. Haruskah dijual? Atau lebih baik digadai?

Menjual berarti kehilangan. Menggadai, masih ada harapan untuk kembali. Tapi ke mana? Kredit online? Tidak berani. Teman-teman Rizki sudah banyak yang terjebak bunga yang mencekik, denda yang menggila, hingga utang yang membengkak tanpa sadar. Sekali klik, bisa terjerat sistem yang sulit keluar.

Pinjam ke teman? Terlalu banyak sungkan. Dunia saat ini terlalu mudah tersinggung dan terlalu cepat menghakimi. Rizki pun melangkah ke tempat yang oleh banyak orang dulu dianggap jalan terakhir. Ia pergi ke Pegadaian.

Dalam waktu 15 menit, uang cair. Hari itu juga. Tablet tetap di tangan. Karena ternyata, Rizki tidak perlu menggadaikan alat komunikasinya. Ia punya barang lain yang cukup untuk jaminan. Barang sederhana, tapi cukup berarti. Cincin kawin milik istrinya.

Cerita itu ia sampaikan kepada saya dengan wajah lega. Tidak ada perasaan kalah. Tidak ada beban malu. Hanya satu ungkapan tulus. “Untung masih ada Pegadaian,” tuturnya. Ia bisa pulang dengan senyum. Anaknya bisa daftar ulang. Dan kehidupan berjalan lagi, seperti sedia kala.

Saya penasaran. Cerita Rizki terdengar terlalu ringan untuk sebuah situasi kepepet. Maka saya datang ke kantor Pegadaian Palangka Raya. Saya temui langsung Kepala Pegadaian, Hermin Pongtuluran, SE.

Hari itu, Selasa (24/6/2025). Kantor Pegadaian tidak seperti bayangan lama saya. Kondisinya terang. Bersih. Tidak ada antrean berdesakan. Petugas ramah. Tidak ada aroma kekhawatiran seperti dulu. Saya datang sebagai pewarta, tapi dilayani seperti tamu yang hendak menyimpan emas.

“Kalau datang hari ini, cair hari ini juga,” kata Hermin. Tidak dibuat rumit. Tidak disambut dengan prasangka.

Saya percaya karena Rizki sudah membuktikannya. Tapi tetap saya gali lagi. Ternyata, prosedurnya tidak serumit yang orang kira. Datang, isi formulir pinjaman, bawa KTP asli dan fotokopinya, lalu serahkan barang jaminan. Setelah barang ditaksir, nilai pinjaman ditentukan. Lalu uang cair. Selesai.

Baca Juga :  Holding UMi Makin Bermanfaat, Jokowi Apresiasi Produk Batik Nasabah Ini

Kalau kendaraan bermotor, tinggal serahkan BPKB, STNK, dan kunci. Kalau barang elektronik, cukup bawa barang dan kuwitansi pembelian. Kalau emas, bahkan bisa ditimbang langsung di tempat. Transaksi cepat. Tidak pakai wawancara mendalam, tidak perlu surat keterangan kerja atau slip gaji. Bahkan tidak perlu rekening bank.

Bunganya pun kecil. Untuk pinjaman antara Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu, bunga hanya 0,75% per 15 hari. Dan ini yang paling penting. Tidak ada penalti jika ingin melunasi lebih cepat. Bahkan nasabah bisa dapat diskon untuk pelunasan lebih awal. Sistemnya bukan hanya adil, tapi juga manusiawi.

“Yang penting, kita tahu keperluan mereka. Kita bantu sebisanya, sesuai prosedur,” kata Hermin.

Pegadaian bukan hanya melayani. Tapi memahami. Kalimat itu terlalu sering jadi slogan perusahaan. Tapi kali ini terasa nyata. Transformasi Pegadaian bukan cuma soal waktu pencairan. Tapi soal cara pandang. Mereka tidak lagi melihat nasabah sebagai peminjam, tapi sebagai manusia yang sedang menjaga harga diri.

Banyak dari mereka datang bukan karena gagal, tapi karena butuh waktu. Butuh ruang untuk bernafas. Butuh jeda sejenak di tengah tekanan ekonomi. Dulu, orang ke Pegadaian karena tidak ada pilihan lain. Sekarang, justru karena sadar bahwa inilah pilihan yang paling masuk akal.

Pegadaian kini memiliki 23 produk. Dari gadai konvensional, pembiayaan kendaraan, cicil emas, tabungan emas, hingga layanan digital berbasis aplikasi. Ya, Pegadaian kini hadir di layar ponsel. Melalui aplikasi Pegadaian Digital, segala transaksi bisa dilakukan dari rumah. Cek saldo, beli emas, transfer, bahkan gadai pun cukup dari genggaman.

Dulu Pegadaian identik dengan antrean panjang dan wajah-wajah yang terdesak. Kini, identiknya adalah efisiensi. Aman. Diawasi. Dan legal. Hal yang sangat penting di tengah maraknya pinjaman daring tak berizin yang kerap memerangkap penggunanya dengan bunga dan ancaman.

Saya bertanya lagi pada Hermin. Apa yang paling dicari orang dari Pegadaian?

“Rasa aman,” jawabnya cepat. “Orang tidak hanya mencari uang. Mereka juga mencari tempat yang tidak menghakimi. Tempat yang tetap menghargai, meski nilai pinjamannya kecil,” tambahnya.

Saya percaya. Karena saya lihat sendiri bagaimana petugas di loket tetap melayani dengan senyum meski nilai gadai hanya Rp100 ribu. Tidak ada perbedaan perlakuan antara nasabah kecil dan besar. Pegadaian mengubah mentalitas layanannya. Dari layanan transaksi menjadi layanan kemanusiaan.

Baca Juga :  Mendirikan Pusat Isoman Terpadu, Menampung Hingga 40 Orang

Dan ini bukan hanya cerita di Palangka Raya. Di seluruh Indonesia, Pegadaian sedang bergerak ke arah yang sama. Gedung-gedung direnovasi. Prosedur dipangkas. Teknologi diperbarui. Yang paling penting: cara pandang diubah. Pegadaian bukan tempat keputusasaan, tapi tempat untuk memulai ulang dengan kepala tegak.

Hari ini, Rizki sudah kembali bekerja. Tablet-nya masih ia pegang. Anaknya sudah sekolah. Tidak ada drama. Tidak ada beban bunga tak terbayar. Ia bilang ke saya, dia bersyukur masih ada tempat seperti itu.

Saya yakin, di luar sana, ada ribuan Rizki lainnya. Orang-orang baik yang sedang kesusahan. Yang kadang cuma butuh Rp 300 ribu, tapi tidak tahu harus ke mana. Yang kadang hanya butuh waktu tiga hari saja. Tapi tidak diberi ruang oleh sistem perbankan yang terlalu kaku dan formal.

Pegadaian hadir untuk mereka. Untuk yang butuh cepat tapi enggan terjerat. Untuk yang ingin mempertahankan alat kerja, bukan menjualnya. Untuk yang ingin anaknya tetap sekolah, meski keadaan sedang sulit.

Saya menulis ini bukan untuk promosi. Tapi karena saya percaya, tidak semua kebaikan harus menunggu viral untuk diberitakan. Dan Pegadaian, dalam diamnya, telah membantu banyak orang keluar dari masa-masa paling sempit dalam hidup mereka. Tanpa memaksa. Tanpa mempermalukan.

Mungkin suatu hari, kita akan ada di posisi Rizki. Mungkin bukan soal daftar ulang sekolah, tapi soal biaya rumah sakit. Uang kontrakan. Atau urusan keluarga yang mendesak.

Saat itulah, kita akan tahu betapa pentingnya ada tempat yang memberi pinjaman tanpa mencabut harapan. Tempat yang tidak menggurui. Tidak memvonis. Hanya membantu, dengan tulus. Dan itulah Pegadaian hari ini.

Lembaga keuangan milik negara yang usianya lebih dari 100 tahun ini, kini telah menjadi relevan kembali. Menyentuh anak muda, UMKM, hingga pensiunan. Dari modal usaha, biaya pendidikan, sampai solusi darurat. Semua bisa dilayani. Dengan sistem yang adil. Dan dengan wajah yang manusiawi.

Mengatasi masalah tanpa menambah masalah. Itulah Pegadaian. Dan untuk banyak orang seperti Rizki, mungkin inilah satu-satunya harapan yang tersisa. Dan harapan itu, kini bisa datang tanpa rasa malu.

Sebab Pegadaian bukan lagi tempat orang kepepet. Tapi tempat orang bersiap. Tempat orang bangkit. Tempat orang merancang ulang masa depannya dengan tenang. Dengan kepala tegak. Dengan secercah harapan di genggaman. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru