Kabar peningkatan kasus Covid-19 di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, membuat masyarakat kembali was-was dengan virus yang menyerang sistem pernapasan.
Meski tidak separah Pandemi Covid-19 sebelumnya, pakar Imunologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Agung Dwi Wahyu Widodo menyampaikan ancaman varian baru tidak boleh dianggap enteng.
“Kita sudah melewati pandemi sekitar empat tahun lalu. Jadi, kalau ada kenaikan sedikit, itu masih bisa dikatakan wajar. Namun masyarakat harus tetap menjaga kewaspadaannya,” tutur Agung di Surabaya, Selasa (10/6).
Menurut dokter Agung, virus Covid-19 belum benar-benar hilang. Tidak menutup kemungkinan virus ini mengalami mutasi menjadi lebih cepat menular, meski gejalanya menjadi lebih ringan.
Minimnya pemeriksaan dan pelacakan membuat infeksi COVID-19 tidak terdeteksi. Banyak orang yang batuk atau pilek tanpa mengetahui apakah ia terinfeksi COVID-19. Hal ini menyebabkan munculnya infeksi lubuk yang sulit terkendali.
Agung menyebut ada tiga faktor yang membuat kasus Covid-19 kembali melonjak, di antaranya varian baru virus JN.1 hingga NB.1.8.1, perilaku masyarakat pasca pandemi, dan penurunan kekebalan populasi.
“Varian baru ini hasil mutasi Omikron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1. Varian NB.1.8.1 ini dikenal dengan nama Nimbus. Nimbus memiliki perbedaan struktur spike yang sangat signifikan dari varian Omikron sebelumnya,” imbuhnya.
Perubahan cuaca juga memengaruhi penurunan daya tahan tubuh masyarakat. Agung menyebut musim yang seharusnya panas, tetapi berubah menjadi musim dingin dan hujan adalah kondisi ideal bagi penyebaran SARS-CoV-2.
“Sementara itu, banyak orang merasa COVID-19 sudah tidak ada sehingga mereka mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, tidak adanya pemeriksaan bukan berarti virus benar-benar hilang,” tukas Agung.(jpc)