PROKALTENG.CO – Aksi protes pecah di Jembatan Barito yang menghubungkan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Ahad (1/6). Sejumlah aktivis lingkungan dari Walhi Kalsel dan Kalteng turun ke lokasi untuk menyuarakan desakan penghentian tambang batu bara yang dinilai merusak ekosistem Sungai Barito dan wilayah sekitarnya.
Aksi ini menjadi sorotan dalam momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati tiap 5 Juni. Massa membawa spanduk besar bertuliskan #SaveMeratus, #EndCoal, serta pesan keras: “Tambang Merusak Hutan, Sungai, dan Masa Depan Masyarakat Adat.”
“Lokasi ini dipilih bukan tanpa alasan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq dilansir dari Radar Banjarmasin.
Jembatan Barito dan aliran sungai di bawahnya disebut menjadi saksi bisu kerusakan lingkungan yang terus berlangsung di Kalimantan. Mulai dari deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga terusirnya masyarakat adat dari wilayah leluhur.
Sungai Barito yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini lebih mirip jalur logistik tambang. Tongkang-tongkang bermuatan batu bara melintas saban hari, menggambarkan wajah eksploitasi tak bertepi.
Aksi protes juga berlangsung di atas sungai. Massa mengarak spanduk menggunakan kelotok, perahu tradisional setempat, menghadap langsung ke lalu lintas tongkang batu bara yang melintas.
“Pesannya jelas, eksploitasi harus dihentikan,” tegas Raden.
Walhi menyoroti krisis ekologis akut yang menimpa Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Ratusan tongkang tambang batu bara melintasi sungai setiap hari, mengangkut sumber daya alam ke luar pulau, sementara yang tertinggal bagi warga lokal hanyalah konflik sosial dan ancaman bencana.
Deforestasi di Kalimantan pun melonjak dalam dua dekade terakhir. Data 2023 mencatat Kalimantan Selatan kehilangan 16.067 hektare hutan. Di Kalimantan Tengah, lebih dari 63.000 hektare hutan hilang sepanjang 2023 hingga 2024.
Secara nasional, Kalimantan kini tercatat sebagai penyumbang deforestasi tertinggi di Indonesia. Di Kalsel, 399 ribu hektar lahan masuk wilayah izin tambang, termasuk kawasan karst seluas 356 ribu hektar. Sementara itu, di Kalteng, izin tambang mencakup satu juta hektar, sebagian besar berada di DAS Barito.
“Setiap batang kayu yang tumbang untuk tambang batu bara adalah simbol kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan lingkungan hidupnya,” ujar Raden, menyentil lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Bayu Herinata, menambahkan bahwa deforestasi tidak hanya menghancurkan hutan, tetapi juga mempercepat krisis iklim dan meningkatkan kerentanan masyarakat adat terhadap bencana ekologis.
“Pemerintah seringkali lebih berpihak pada korporasi tambang, menyebabkan konflik agraria yang masif,” jelasnya.
Seruan untuk transisi energi kembali digaungkan. Tanpa perubahan nyata, hutan dan sungai Kalimantan diprediksi akan terus terkikis.
Sungai Barito, sebagai saksi sejarah panjang Borneo, dinilai harus diselamatkan dari sistem ekonomi ekstraktif yang kini mendominasi. (jpg)