SAYA bertanya pada Audry: apakah masih ada teman Indonesia yang kuliah di kampusnya di Indiana: Notre-Dame. Saya ingin mampir ke kampus itu. Mumpung lagi di Indiana.
Saya lupa bahwa ada tokoh Islam yang justru menjadi profesor di kampus Katolik terkemuka itu: Mun’im Sirry. Ia adalah satu-satunya guru besar beragama Islam di jurusan teologi Notre-Dame.
Saya hubungi Mun’im. Jumat kemarin itu ia agak longgar. Saya bisa datang jam berapa saja. Kampus itu agak jauh dari kota Indianapolis. Setidaknya perlu perjalanan mobil 2,5 jam. Ke arah utara. Ke arah Chicago. Tepatnya di kota kecil South Bend.
Awalnya saya tanya Audry karena gadis genius dari Surabaya itu memang kuliah teologi di Notre-Dame. Itulah wanita yang di umur 16 tahun sudah meraih gelar doktor fisika murni dengan predikat magna cumlaude di Virginia. Setelah itu dia jadi aktivis gereja Katolik di Shanghai.
Setelah bergelar doktor, Audry kuliah S-2 di Notre-Dame. Anda masih ingat: Audry anak tunggal teman saya yang sangat kaya. Audry justru pilih hidup sederhana. Tinggal di gereja. Saya pernah ikut ke gerejanyi. Saat menemani saya di Shanghai, beberapa tahun lalu, dia pilih naik bus kota. Dia juga menyindir saya: mengapa mengajak makan di resto yang mahal.
Kali ini saya tiba di Indianapolis dari New York. Saya mendarat dulu di Cincinnati, Ohio. Maya menjemput saya. Dia membawa saya satu jam ke arah barat. Ke kota kecil Greenberg. Kami makan siang di resto yang dia dirikan 14 tahun lalu: Resto Indonesia Mayasari. Itulah satu-satunya resto masakan Indonesia di Indiana.
Malam itu saya tinggal di Indianapolis. Ada acara di situ. Utusan beberapa negara hadir. Saya pun punya waktu kosong setengah hari: ingin ke Purdue University. Saya ingin melihat penelitian kedelai dan jagungnya. Lalu berkendara ke kampusnya Audry di Notre-Dame. Maya harus mengemudi enam jam di setengah hari itu.
“Pukul berapa salat Jumat di Notre-Dame?” tanya saya ke Prof Mun’im.
“Pukul 14.30,” jawabnya.
“Menurut Google saya baru akan tiba pukul 14.20. Bagaimana kalau bertemunya di masjid saja?”
Prof Mun’im setuju.
Awalnya kami janjian bertemu di kampus Notre-Dame. Tapi perkuliahan lagi libur. Salat Jumat di kampus Katolik itu ditiadakan. Kami pun bertemu di masjid di luar kampus.
Waktu tiba di masjid, khotbah sedang berlangsung. Dalam bahasa Inggris. Masjidnya bangunan segi empat seperti gedung perkantoran. Dua lantai. Penuh semua.
Itu seperti Islamic Center. Di sebelah masjid ada halaman seluas lapangan basket. Lalu ada gedung lain sebesar masjid. Di situlah kegiatan sosial muslim South Band berlangsung.
Selesai salat Jumat halaman penuh. Belum bertemu Prof Mun’im.
“Saya duduk di dingklik panjang di halaman,” tulis saya ke Mun’im. “Kita makan dulu,” kata saya setelah bersalaman dan cipika.
Saya pun menghubungi Maya yang Katolik. Tadi, setelah mengantar saya ke masjid, Maya memang saya minta ke restoran untuk makan siang. Dia pasti kelaparan.
Saya ikut mobil Prof Mun’im mencari Maya ke restoran itu: masakan Vietnam. Saya kalah cepat pergi ke kasir. Maya juga kalah. Setelah sebelumnya makan gratis di restoran Mayasari di Greenberg, hari ini gratis lagi ditraktir ahli sejarah Alquran di Notre-Dame.
“Mampir rumah dulu,” ujar beliau seusai makan. Saya setuju. Maya pilih mendahului ke kampus: dia harus menyelesaikan banyak pekerjaan yang tertunda: jualan tempe merek Maya yang diproduksi di pabriknyi di Greenberg.
Pabrik tempe itu –disebut tempeh di Amerika, juga produksi keripik tempeh merek Maya. Sebagian perusuh Disway pernah mencicipinya: gratis.
Di sepanjang perjalanan ke rumah Prof Mun’in kami banyak ngobrol tentang Islam, perkembangan pembaharuan pemikiran Islam, tafsir Quran, dan kehadirannya di kampus Katolik di Amerika.
Prof Mun’im orang Madura. Sumenep. Dari pelosok desanya: Manding. Dari keluarga miskin. Setamat SD ia sekolah di madrasah Al Amin, Prenduan, Sumenep –pesantren ala Gontor Ponorogo.
Di pesantren itu Mun’im sudah bisa berbahasa Arab. Ia pun mencari beasiswa kuliah di luar negeri. Ia diterima di Islamabad, Pakistan. Di situlah tamat S-1 dan S-2. Bahasa pengantar perkuliahan: Arab.
Itulah bekalnya pertama ke luar negeri. Ia hanya minta tiket pesawat ke orang tua. Sekali jalan. Lalu sedikit uang: USD 50. Hanya 50 dolar.
Tiba di Islamabad ia mengandalkan hidup dari teman yang sudah lebih dulu di sana. Tiga hari dapat makan gratis. Seadanya. Masih dianggap tamu. Lalu pindah ke teman lainnya: tiga hari lagi. Muter dari satu teman ke yang lain. Sampai akhirnya bisa cari makan sendiri.
Mun’im mendapat beasiswa S-3 di Chicago. Ia menapaki jejak tokoh pembaharuan pemikiran Islam Prof Dr Nurcholish Madjid. Di kampus yang sama.
Sambil menunggu keberangkatan ke Amerika ia aktif di Paramadina Jakarta. Ia bangga bisa dekat dengan Cak Nur di situ. Ia kagumi Cak Nur sejak masih di Madura.
Mun’im pernah menerbitkan buku Islam yang menghebohkan. Kalau ide pembaharuan pemikiran Islamnya Cak Nur heboh di tingkat perdebatan intelektual, buku Mun’im ingin melaksanakan ide-ide pembaharuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Maka bukunya itu membahas bagaimana pelaksanaan perkawinan beda agama. Juga tentang waris untuk keturunan mereka. Dan banyak lagi.
Heboh. Waktu itu MUI sampai mengeluarkan fatwa agar buku tersebut ditarik dari peredaran.
Ketika heboh mulai memanas Mun’im harus berangkat ke Chicago. Aman. Sampai dapat gelar doktor.
Di South Bend, Prof Mun’im membeli rumah di kompleks real estate yang sangat nyaman. Khas rumah Amerika. Garasinya bisa untuk dua mobil.
“Oh istri saya sudah pulang,” celetuknya. Memang terlihat ada sedan di garasi itu. Mobilnya pun masuk garasi di sebelah mobil sang istri.
Di lantai bawah rumah itu ada ruang tamu dengan sofa-sofa besar. Lalu ada toilet. Meja makan. Dapur. Kamar-kamar di lantai atas.
Saya pun melongok ke halaman belakang. Khas halaman belakang rumah orang Amerika. Ada bangunan kecil untuk gudang. Ada tanaman-tanaman sayur. Ia tanam kangkung. Tomat. Cabai. Lalu ada pohon besar. Rumputnya hijau dan tebal. Di musim seperti ini enak duduk-duduk di situ di waktu senja.
Sepi. Mereka hanya berdua. Istrinya asli Indramayu. Satu-satunya anak sedang ambil S-2 ekonomi di Colorado State University. Jauh dari Notre-Dame.
Sang istri bekerja di bidang kesehatan. Dia memang lulusan di bidang itu: kesehatan masyarakat.
Sore itu sang istri terlihat sedang menyiapkan sajian. Saya pun bergegas mendatanginyi di dapur. Mencegahnyi. Kami harus segera ke kampus Notre-Dame.
“Lain kali,” kata saya.
Ada tawaran kamar gratis di rumah itu. Tapi kami harus balik ke Indianapolis usai ke kampus. Sesore apa pun. Toh matahari baru terbenam pukul 20.30.
Maya tidak mau ketika saya ingin menggantikan pegang kemudi untuk perjalanan balik tiga jam ke Indianapolis.
“Muter lagu apa?” tanya Maya sambil memasang sabuk pengaman.
“Scorpions” jawab saya.(Dahlan Iskan)