Oleh MASHDAR ZAINAL
Hujan turun seperti ribuan paku yang rontok dari langit. Serentak dan gemertak.
Di halte tua di tengah perkebunan teh, Muluk dan empat temannya –para buruh pemetik teh– serta sebuah motor matik bergeming seperti model manekin di toko usang.
Satu jam lalu, truk terakhir yang mengangkut berkarung-karung teh beserta para pemetiknya telah balik. Kini mereka benar-benar menyesal, berdesak-desakan di bak truk tentu lebih baik ketimbang terjebak gelap dan hujan di tengah hutan teh.
Mereka telah begitu terlambat untuk pulang. Cuaca buruk menjadikan segalanya semakin runyam. Berkali-kali mereka merutuk dan menggumamkan sesal. Seharusnya, mereka balik bareng truk terakhir yang mengangkut hasil teh panenan mereka, sebagaimana mereka berangkat, seperti biasanya.
Namun, mereka memilih tinggal, menunggu jemputan susulan. Sebab, truk sudah terlalu sesak oleh berkarung-karung teh dan buruh-buruh lain. Mereka tak mengira, hujan akan turun secepat itu. Dan sederas itu. Dan berangin.
Dalam situasi demikian, mereka tak yakin pikap dari pabrikakan datang menyusul tanpa terlambat, sebab menunggu cuaca membaik. Sayangnya, tak seorang pun bisa menjamin kapan cuaca akan membaik.
Berselang satu jam, angin mulai mereda, namun air langit masih terus mengguyur meski tidak sederas sebelumnya.
”Apa aku nekat pulang saja, ya,” gumam Fajar ragu-ragu.
”Tunggulah reda sedikit lagi,” sahut Yakin, seolah tak mau ditinggal.
Pagi tadi Fajar menyengaja berangkat ke perkebunan dengan motor matiknya. Seharusnya, ia bisa pulang kapan saja, bahkan meski hujan urung reda. Namun, Fajar tak enak hati meninggalkan teman-temannya yang kadung terjebak hujan di tengah perkebunan teh menjelang petang. Maka, ia memilih untuk bergabung bersama teman-temannya sambil menunggu pikap susulan, atau barangkali, kalau mereka mujur, akan ada truk lewat dari perkebunan di puncak sana. Atau barangkali hujan akan segera reda.
Kini mereka bergeming, memandangi handphone masing-masing –yang tak bisa diandalkan karena buruknya jaringan. Mereka telah menghabiskan berbatang-batang rokok. Pakaian dan jaket yang mereka kenakan beraroma asap rokok. Wajah-wajah mereka melimpahkan kesan bosan dan putus asa. Sedangkan waktu terus melaju, tak tercegah.
”Tak ada yang tahu kapan hujannya bakal reda, sepertinya aku balik duluan saja. Langit semakin gelap,” kata Fajar akhirnya setelah berpikir panjang. ”Nanti kalau agak reda, biar aku yang jemput kalian pakai pikap pabrik.”
”Aku ikut bareng kamu saja kalau begitu biar kamu ada temannya,” sambut Yakin sambil melemparkan puntung rokok terakhirnya.
”Aku juga ikut bareng, masih muat, kan? Malam ini saya ada janji ketemu kawan lama,” susul Kamal, yang masih terus melepuskan asap rokoknya ke udara remang.
”Aku juga mau bareng. Aku sudah janji sama anak-anak mau pulang cepat,” ujar Manaf, tak mau ketinggalan.
”Motornya mana cukup,” Muluk berkomentar, sebenarnya ia juga ada maksud untuk nunut, namun ia tidak enak hati dengan yang lain.
”Aku sih tidak masalah, tapi ya itu tadi, apa muat motornya buat kita berlima?” Fajar menengahi.
”Kalau dilihat, sepertinya muat untuk empat orang saja, tapi berdesak-desakan,” ungkap Kamal.
”Terus, yang satu orang ditinggal di tengah kebun teh gelap-gelap begini? Ngawur!”
”Aku sih nggak mau ditinggal,” sahut Yakin, cepat-cepat.
”Aku juga ogah,” Manaf ikut menyahut.
”Mana ada yang mau!” pungkas Muluk dengan suara lantang, seolah membentak teman-temannya, hingga semua mata tertuju kepadanya.
Setelah beberapa saat dan hujan semakin reda, Fajar kembali mengeluarkan suara, ”Aku pulang dulu, ya, nanti aku jemput kalian.”
”Cuaca begini, kamu yakin mau balik lagi ke sini?” Muluk kembali berkomentar. Fajar tak membalas.
”Kalau kamu pulang, pokoknya aku ikut!” tandas Yakin.
”Aku juga, masih muat kok!” Kamal mendesak.
”Aku juga ikut, dong!” seru Manaf tak mau ditinggal.
Muluk memandangi empat kawannya tanpa kata-kata.
”Muluk bagaimana?” sindir Fajar.
Tak ada jawaban. Mereka kembali diam.
Beberapa saat berselang, Fajar memekik lagi dengan gegas, ”Sudah benar-benar gelap! Bagaimana ini enaknya?”
Belum ada jawaban. Hanya suara rinai hujan.
Selang beberapa saat, Fajar memekik, ”Begini saja, biar adil, kita undi saja siapa yang bakal ikut bareng aku pulang. Akan kubikinkan empat lembar kertas yang masing-masing tertulis nama kalian. Setiap orang mengambil satu kertas secara bergantian. Nama yang paling sering diambil berarti ia yang tinggal menunggu jemputan. Bagaimana?”
Mereka saling pandang satu sama lain. Ragu-ragu.
Muluk tertawa-tawa, ”Seperti umat Nabi Yunus saja, pakai undian segala… Kalian ingat kan kisah Yunus dalam perut paus?”
”Kalau begitu, kita lihat siapa di antara kita yang jadi Yunus,” sambar Kamal.
Mereka saling pandang, setengah tertawa, setengah cemas.
’’Bagaimana, setuju?” Fajar memastikan.
Serentak, tiga orang menjawab setuju. Meski kepuitisan itu sangat kekanak-kanakan dan tak masuk akal, Muluk terpaksa ikut mengangguk.
Fajar menyalakan senter dari telepon genggamnya dan menyuruh yakin memeganginya. Fajar mengambil pulpen dan kuitansi bekas dari tas mungil yang dicangklongnya, menyobeknya jadi empat bagian, lalu menuliskan nama-nama pada tiap lembarnya sebelum menggulungnya kecil-kecil.
’’Nah, silakan ambil satu. Bergantian!” seru Fajar.
Yakin yang pertama mengambil gulungan kertas dari tangan Fajar. Ia membukanya perlahan-lahan. Wajah-wajah lain menatapnya penasaran. Setelah kertas kecil itu terbuka, Yakin menatap wajah Muluk dan berkata ragu-ragu, ’’Muluk!”
Semua orang menatap muluk. Kertas digulung lagi. Fajar mengocoknya dalam tangkupan telapak tangan dan membiarkan Kamal mengambil kertas berikutnya.
’’Muluk lagi!” seru Kamal setelah membuka gulungan kertas.
’’Tampaknya Muluk bakal jadi Nabi Yunus!” Fajar berseru. Kertas digulung dan dikocok lagi, ’’Siapa berikutnya?”
”Aku!” pekik Manaf, sambil mencomot satu gulungan kertas dari telapak tangan Fajar.
Muluk berdebar-debar, kalau namanya muncul sekali lagi saja, ia harus ditinggal sendirian di tengah perkebunan teh dan cuaca laknat ini.
Manaf membuka gulungan dan menatap satu-per satu wajah temannya sebelum berujar pelan dengan raut minta maaf, ’’Muluk!”
Muluk menghela napas pasrah. Tak masuk akal.
’’Kamu benar-benar jadi Nabi Yunus. Itu luar biasa!” kata Yakin, setengah mengejek.
’’Nabi Yunus selamat dari perut paus. Kamu juga akan selamat, tenang saja!” sahut Kamal.
”Begitu sampai, salah satu dari kami akan menjemputmu!” kata Fajar, meyakinkan.
Muluk menatap wajah-wajah teman-temannya tanpa sepatah kata pun. Teman-temannya tampak semringah, seolah baru saja mendapatkan lotre. Saat motor matik dinyalakan dan lampunya menyorot jalanan yang gelap, Muluk terhenyak.
Saat keempat kawannya duduk berdesak-desakan di atas jok dan kemudian melaju pergi hanya dengan lambaian tangan, Muluk tahu dirinya akan tidur di tengah perkebunan itu sampai besok pagi.
Sejak bekerja di perkebunan ini lima bulan silam, Muluk tahu, teman-temannya tak begitu senang kepadanya, alih-alih mengucilkannya. Mereka tak pernah suka Muluk bekerja dengan serius, mengumpulkan berkarung-karung teh dalam sehari.
Mereka tak suka saat Pak Mandor memuji Muluk bahwa ia bekerja dengan sangat bagus dan layak mendapatkan bonus di akhir bulan. Mereka sering mengejek Muluk gara-gara ia masih melajang di usia dua puluh sembilan.
Muluk tahu, mereka berempat suka bergunjing tentangnya di belakang, menyebut dirinya sebagai penjilat, sok alim, dan seterusnya. Dan Muluk terus mencoba untuk tidak menggubrisnya. Anak manusia, berapa pun umur mereka, sangat memungkinkan untuk bertindak seperti anak-anak. Merisak dan menghasut. Muluk tak heran.
Malam semakin larut. Muluk jatuh dalam kegelapan sempurna. Tak sekali pun ia menatap jalanan atau berharap kendaraan muncul menjemputnya. Ia tahu persis, ucapan Fajar soal balik menjemput tak lebih dari basa-basi.
Tak ada seorang pun di antara empat temannya itu sudi datang. Muluk memilih berbaring di atas bangku kayu tua, berselimut sarung yang selalu dibawanya buat sembahyang. Sepanjang malam ia bergelung memeluk lututnya sendiri. Menggigil. Sampai pagi tiba.
Muluk tidak tahu, hujan reda pukul berapa. Namun, saat langit semakin bangkit, segalanya tampak jauh lebih baik.
Saat langit menjadi terang, Muluk melihat gulungan-gulungan kertas undian berceceran di tanah, di antara puntung-puntung rokok. Muluk memungutnya dan membukanya satu per satu. Dan di atas lembar-lembar kertas yang tergulung itu hanya tertulis namanya. Empat namanya dalam empat lembar kertas.
Dada Muluk bagai berbatu. Dongkol. Penuh serapah dan kutukan. Namun, perkebunan teh di pagi hari sehabis hujan memberinya perasaan lega. Kabut melayang-layang menyentuh tanah dan pucuk daun, sorot matahari yang belum utuh, dan setiap jengkal pemandangan yang bisa Muluk lihat seperti obat mujarab yang menyembuhkan. Muluk bisa dengan cepat melupakan semuanya.
Dua jam kemudian, saat rombongan pemetik teh datang, Muluk mendapat kabar, motor matik yang dikendarai empat kawannya hancur mumur menabrak pagar beton jembatan. Tidak ada yang selamat. Muluk menahan sesak, matanya berair, wajah empat kawannya berkelebat.
Muluk teringat kata-kata salah satu dari mereka, ”Nabi Yunus selamat dari perut paus. Kamu juga akan selamat, tenang saja!” (*)
Malang, 2024
*) MashdarZainal, penyuka prosa yang kini bermukim di Malang. Buku terbarunya Musim di Rambut Ibu (penerbit Buku Kompas, 2024).