27.9 C
Jakarta
Sunday, March 16, 2025

Menakar Urgensi Revisi KUHAP

Menakar Urgensi Revisi KUHAP

Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada isu hukum tentang segera dilakukannya perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang keberlakuannya didasarkan pada UU Nomor 8 Tahun 1981. Hal itu dapat dipahami karena memang sudah saatnya ada perubahan terhadap pasal-pasal dalam KUHAP setelah masa lebih dari 44 tahun.

Namun, tentu perlu dicermati lebih jauh pasal mana yang masih relevan, dalam hal ini untuk dijalankan. Sebab, ketentuan teknis yang diturunkan dalam konteks perubahan satu pasal saja dalam KUHAP akan sangat berpengaruh dan menimbulkan persoalan dalam implementasinya.

Satu yang pasti, tentu kita tidak ingin pasal yang dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite yang kemudian menjadi dosa jariah setelahnya.

Kesetaraan Hukum

Pasal yang memunculkan kontroversi atau perdebatan dalam ranah ilmu hukum, khususnya hukum acara pidana, adalah persoalan kesetaraan dalam posisi penegakan hukum. Baik masyarakat sebagai pencari keadilan maupun antarpenegak hukum itu sendiri.

Salah satu isu yang seksi untuk dibahas tentu berkaitan dengan sentral penegakan hukum. Yaitu, masalah kewenangan penyidikan serta batasan yang diatur di dalamnya yang kemudian membedakan fungsi dan kerja antarinstansi penegak hukum.

Baca Juga :  Degradasi Ekologis dan Ecobroadcasting

Jika dicermati, hal tersebut sudah diatur secara lugas oleh KUHAP yang masih berlaku saat ini sebagai norma hukum positif. Menurut penulis pribadi, sesungguhnya hal tersebut sudah dipikirkan secara arif dan bijaksana secara matang oleh pembentuk UU saat itu.

Tujuannya, tidak terjadi overlapping antartugas penegak hukum. Juga, menghadirkan profesionalitas dalam suatu iklim penegakan hukum yang menjalankan mekanisme check and balances yang bermuara pada kesetaraan dalam sistem peradilan pidana.

Tentu, dengan praktik hukum yang masih jauh dari kata baik ini, fakta masih banyaknya oknum di setiap lini penegakan hukum yang tanpa disadari berpotensi menghilangkan pemahaman kesetaraan dalam penegakan hukum bukanlah hal yang produktif bagi penegakan hukum dan lebih jauh pada esensi pencari keadilan.

Hal buruk lain yang berpotensi terjadi adalah munculnya lembaga penegak hukum yang sangat superior lantaran memiliki kewenangan berlebih yang sesungguhnya telah memiliki atribusi kewenangan lain dalam UU organiknya.

Diferensiasi Fungsional

Penulis secara pribadi lebih sepakat dengan sistem yang sampai saat ini masih diadopsi untuk digunakan. Yaitu, asas diferensiasi fungsional yang mengatur secara rapi dan sangat profesional penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana yang bersifat terpadu bahwa kerja masing-masing penegak hukum adalah sesuai dengan fungsinya.

Baca Juga :  Janji Manis Capres dan Minuman Berpemanis

Bahwa penyidikan ada di kepolisian, penuntutan dan pemeriksaan di kejaksaan, mengadili serta memutus perkara ada di kehakiman yang bermuara pada satu tujuan, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis memandang belum perlunya ada kewenangan tambahan pada salah satu aparat penegak hukum (APH). Tentu, hal itu akan menimbulkan persoalan baru di ranah praktik. Sebab, ada dualisme pandangan yang malah menimbulkan ego sektoral yang makin meruncing dan merugikan penegakan hukum itu sendiri.

Hal tersebut malah akan menguntungkan pelaku kejahatan dengan terciptanya persoalan hukum di antara penegak hukum. Mereka makin leluasa menjalankan aksi jahatnya.

Penulis juga melihat, adanya hakim pemeriksa pendahuluan lebih dapat diterima secara logika/penalaran hukum demi efektivitas dan efisiensi suatu penegakan hukum. Penyebabnya, penanganan suatu perkara tentu membutuhkan biaya yang perlu dikalkulasi secara ekonomis, termasuk ketepatan waktu penanganan perkara.

Karena itu, revisi KUHAP tidak boleh dilakukan secara serampangan dan emosional. Wallahua’lam bishawab. (*)

*) HERY FIRMANSYAH, Akademisi; advokat

Menakar Urgensi Revisi KUHAP

Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada isu hukum tentang segera dilakukannya perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang keberlakuannya didasarkan pada UU Nomor 8 Tahun 1981. Hal itu dapat dipahami karena memang sudah saatnya ada perubahan terhadap pasal-pasal dalam KUHAP setelah masa lebih dari 44 tahun.

Namun, tentu perlu dicermati lebih jauh pasal mana yang masih relevan, dalam hal ini untuk dijalankan. Sebab, ketentuan teknis yang diturunkan dalam konteks perubahan satu pasal saja dalam KUHAP akan sangat berpengaruh dan menimbulkan persoalan dalam implementasinya.

Satu yang pasti, tentu kita tidak ingin pasal yang dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite yang kemudian menjadi dosa jariah setelahnya.

Kesetaraan Hukum

Pasal yang memunculkan kontroversi atau perdebatan dalam ranah ilmu hukum, khususnya hukum acara pidana, adalah persoalan kesetaraan dalam posisi penegakan hukum. Baik masyarakat sebagai pencari keadilan maupun antarpenegak hukum itu sendiri.

Salah satu isu yang seksi untuk dibahas tentu berkaitan dengan sentral penegakan hukum. Yaitu, masalah kewenangan penyidikan serta batasan yang diatur di dalamnya yang kemudian membedakan fungsi dan kerja antarinstansi penegak hukum.

Baca Juga :  Degradasi Ekologis dan Ecobroadcasting

Jika dicermati, hal tersebut sudah diatur secara lugas oleh KUHAP yang masih berlaku saat ini sebagai norma hukum positif. Menurut penulis pribadi, sesungguhnya hal tersebut sudah dipikirkan secara arif dan bijaksana secara matang oleh pembentuk UU saat itu.

Tujuannya, tidak terjadi overlapping antartugas penegak hukum. Juga, menghadirkan profesionalitas dalam suatu iklim penegakan hukum yang menjalankan mekanisme check and balances yang bermuara pada kesetaraan dalam sistem peradilan pidana.

Tentu, dengan praktik hukum yang masih jauh dari kata baik ini, fakta masih banyaknya oknum di setiap lini penegakan hukum yang tanpa disadari berpotensi menghilangkan pemahaman kesetaraan dalam penegakan hukum bukanlah hal yang produktif bagi penegakan hukum dan lebih jauh pada esensi pencari keadilan.

Hal buruk lain yang berpotensi terjadi adalah munculnya lembaga penegak hukum yang sangat superior lantaran memiliki kewenangan berlebih yang sesungguhnya telah memiliki atribusi kewenangan lain dalam UU organiknya.

Diferensiasi Fungsional

Penulis secara pribadi lebih sepakat dengan sistem yang sampai saat ini masih diadopsi untuk digunakan. Yaitu, asas diferensiasi fungsional yang mengatur secara rapi dan sangat profesional penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana yang bersifat terpadu bahwa kerja masing-masing penegak hukum adalah sesuai dengan fungsinya.

Baca Juga :  Janji Manis Capres dan Minuman Berpemanis

Bahwa penyidikan ada di kepolisian, penuntutan dan pemeriksaan di kejaksaan, mengadili serta memutus perkara ada di kehakiman yang bermuara pada satu tujuan, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis memandang belum perlunya ada kewenangan tambahan pada salah satu aparat penegak hukum (APH). Tentu, hal itu akan menimbulkan persoalan baru di ranah praktik. Sebab, ada dualisme pandangan yang malah menimbulkan ego sektoral yang makin meruncing dan merugikan penegakan hukum itu sendiri.

Hal tersebut malah akan menguntungkan pelaku kejahatan dengan terciptanya persoalan hukum di antara penegak hukum. Mereka makin leluasa menjalankan aksi jahatnya.

Penulis juga melihat, adanya hakim pemeriksa pendahuluan lebih dapat diterima secara logika/penalaran hukum demi efektivitas dan efisiensi suatu penegakan hukum. Penyebabnya, penanganan suatu perkara tentu membutuhkan biaya yang perlu dikalkulasi secara ekonomis, termasuk ketepatan waktu penanganan perkara.

Karena itu, revisi KUHAP tidak boleh dilakukan secara serampangan dan emosional. Wallahua’lam bishawab. (*)

*) HERY FIRMANSYAH, Akademisi; advokat

Terpopuler

Artikel Terbaru