PAMERAN Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan telah disiapkan perupa Yos Suprapto sejak tahun lalu. Rencananya, untuk ditampilkan dari kemarin (20/12) hingga 19 Januari mendatang di Galeri Nasional.
Namun, dalam hitungan jam, ekshibisi itu dibatalkan. Dihubungi via telepon kemarin, Yos mengaku kesal, marah, dan kecewa. Sebab, selama seleksi karya, tidak pernah ada masalah.
Seniman asal Jogjakarta itu menyatakan, selama proses pemilihan karya, kurator Suwarno Wisetrotomo dan tim Galeri Nasional berkali-kali datang ke rumahnya untuk meninjau karya. ”Selama mereka datang, nggak ada omongan boleh atau tidak. Yang dipermasalahkan hanya lukisan sepanjang 10 m tentang gambaran kekuasaan, di mana ada gambar figur raja Jawa yang wajahnya mirip Jokowi duduk di atas takhta, yang bagian bawah kakinya mengenai punggung-punggung rakyat,” ujarnya.
Di bawah lukisan besar tersebut, ada gambar-gambar pupuk urea. Hal itu dia dapat berdasar 15 tahun penelitiannya, yang menemukan urea menyebabkan tanah kehilangan mikroorganismenya. Alhasil, tanah menjadi rusak, keras, dan sulit ditanami.
Hasil penelitian tersebut sudah ditata runtut dengan narasi untuk mendukung lukisan-lukisan karyanya. ”Celakanya, narasi itu mau diberedel lima lukisan, tiga jam sebelum pameran dibuka. Itu yang membuat aku dan kurator eyel-eyelan. Karena dia tidak bisa menjawab pertanyaanku yang ilmiah, dia mengundurkan diri, disaksikan direktur Galeri Nasional dan saksi-saksi lain,” ujarnya.
Pameran pun batal. ”Ini seni, tapi kok dilihat dari kacamata politik? Mereka tidak memahami simbol-simbol narasi yang digunakan dalam bahasa seni. Aneh,” katanya.
Dianggap Tak Sesuai Tema
Yos didukung oleh Komnas HAM, yang menyurati direktur Galeri Nasional dan menteri terkait. Komnas HAM merujuk ke pasal-pasal yang menyatakan sikap pembatalan pameran itu sebagai bentuk pelanggaran.
Yos menyatakan, jika pihak Galeri Nasional masih bersikukuh untuk menurunkan lima lukisannya, dia akan segera mengemasi seluruh instalasi dan membawanya pulang ke Jogjakarta. Dia menyatakan, telah ada tawaran dari sejumlah negara –salah satunya Peru– untuk pelaksanaan pameran terkait kedaulatan pangan dan tanah yang digagasnya.
Pembatalan pameran tersebut sempat menjadi perbincangan hangat sejak Kamis (19/12). Kemarin Galeri Nasional merilis pernyataan tertulis sekaligus menghelat konferensi pers pada sore terkait hal tersebut. Dalam rilis resmi, pihak Galeri Nasional menyatakan, ada beberapa karya yang ditampilkan tanpa melalui persetujuan dan kesepakatan antara seniman dan kurator. Setelah dievaluasi, karya-karya itu dianggap tidak sesuai dengan tema yang ditetapkan.
”Berkenaan dengan hal tersebut, kurator pameran menyatakan mundur dari tugasnya. Sebagai langkah untuk menjaga keselarasan kuratorial dan memastikan kualitas pameran, Galeri Nasional Indonesia memutuskan untuk menunda acara ini,” bunyi pernyataan tersebut.
Penanggung Jawab Unit Galeri Nasional Indonesia Jarot Mahendra menilai, langkah itu merupakan perwujudan prinsip good governance. Adapun Suwarno Wisetrotomo selaku kurator juga menyampaikan klarifikasinya secara tertulis.
Dia menyatakan, ada dua karya yang berisi opini praktik kekuasaan yang tidak sesuai dengan tema kuratorial dan berpotensi merusak fokus pesan dari tema pameran.
”Menurut saya, dua karya tersebut ’terdengar’ seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya,” ulasnya.
Selama proses kurasi, yang berjalan intensif sejak Oktober 2024 hingga hari pembukaan, tidak ada kesepahaman. Sehingga, Suwarno memutuskan mundur sebagai kurator, gagasan yang telah dia sampaikan kepada Yos sejak 16 Desember. ”Pernyataan pengunduran diri saya sebagai kurator tidak bermaksud untuk menghentikan pameran,” tegasnya.
Di media sosial, isu tersebut disoroti oleh sejumlah tokoh. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengunggah sorotan layar berisi berita pembatalan dan konfirmasi Galeri Nasional Indonesia. ”GN bilang menunda karena alasan teknis, tapi praktisnya membatalkan. Lukisan adalah ekspresi,” tulisnya di X. Penulis dan pakar sosiologi Okky Madasari pun mempertanyakan pembatalan tersebut. ”Era sensor dan pembungkaman terhadap karya seni di bawah rezim Prabowo resmi dimulai?” tulisnya. (fam/c6/ttg)